Zyan, seorang agen yang sering mengemban misi rahasia negara. Namun misi terakhirnya gagal, dan menyebabkan kematian anggota timnya. Kegagalan misi membuat status dirinya dan sisa anggota timnya di non-aktifkan. Bukan hanya itu, mereka juga diburu dan dimusnahkan demi menutupi kebenaran.
Sebagai satu-satunya penyintas, Zyan diungsikan ke luar pulau, jauh dari Ibu Kota. Namun peristiwa naas kembali terjadi dan memaksa dirinya kembali terjun ke lapangan. Statusnya sebagai agen rahasia kembali diaktifkan. Bersama anggota baru, dia berusaha menguak misteri yang selama ini belum terpecahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Pertama
Muara Elok
Desa Muara Elok berjarak dua jam dari Desa Pagar Anam. Hana pergi ke Muara Elok untuk mencari tiga orang santri yang bersekongkol menuduh Amma atas kasus pelecehan seksual. Berdasarkan penelusuran Armin, ketiganya sempat tertangkap kamera di sebuah mini mart yang ada di Muara Elok. Sejak pukul sembilan pagi Hana sudah berada di Desa itu bersama dengan Tina.
Selama dua jam lamanya mereka berkeliling mencari orang yang mengenali ketiganya. Namun hampir semua orang yang mereka temui belum pernah melihat ketiga gadis itu. Pegawai mini market yang didatangi ketiganya belum masuk kerja. Jadi Hana dan Tina harus menunggu sampai pegawai tersebut tiba.
Sambil menunggu pegawai itu, keduanya memesan kopi dan camilan lalu menikmatinya di meja yang ada di bagian depan mini market. Selama menikmati camilan dan kopinya, mata mereka tak lepas memperhatikan orang-orang yang melintas di depan keduanya.
“Tina, apa kamu yakin tidak ada keraguan bergabung bersama kami?”
“Yakin.”
“Apa kamu tidak takut? Pekerjaan yang kami lakukan berbahaya. Kamu bisa saja terluka bahkan terbunuh.”
“Sudah pasti aku takut. Tapi hidup dan mati kita sudah ditentukan oleh Tuhan. Kalau sebelum mati aku bisa melakukan hal yang berguna untukku dan orang banyak, aku tidak akan menyesalinya.”
“Kamu benar-benar hebat, Tina. Di usia semuda ini kamu sudah berani mengambil keputusan besar dalam hidupmu.”
“Kakak juga hebat. Aku tahu menjadi agen rahasia itu tidak mudah. Banyak hal yang harus Kakak hadapi dan pelajari.”
“Sebenarnya aku iri padamu, Agam dan Febri.”
“Iri kenapa?”
“Karena kalian dilatih dan dibimbing langsung oleh salah satu agen terbaik di kesatuan kami.”
“Apa Pak Reza, maksudku Pak Zyan sehebat itu?”
“Ya.. dia sangat hebat. The best agent I’ve ever seen.”
“Kenapa aku mencium aroma mencurigakan. Apa Kakak menyukainya? Maksudku secara pribadi.”
Tidak ada jawaban dari Hana, hanya senyuman saja yang diberikan wanita itu. Tina tidak bertanya lagi. Dengan melihat senyuman Hana, dia sudah tahu kalau tebakannya tidak salah. Tatapan Hana pada Zyan sama seperti tatapan Nisa pada pria itu.
Perbincangan mereka terhenti ketika melihat sebuah sepeda motor mendekat. Sang pengemudi menghentikan motor di depan mini market, lalu dia segera masuk ke dalamnya seraya menenteng helm. Hana dan Tina terus mengawasi pergerakan pria tersebut sampai akhirnya dia berdiri di belakang meja kasir. Melihat itu, keduanya yakin kalau orang yang baru saja datang adalah orang yang mereka tunggu. Keduanya pun segera masuk ke dalam mini market.
“Selamat datang,” sapa sang pegawai.
“Maaf Bang, saya mau tanya, apa Abang pernah lihat orang ini sebelumnya?”
Tina memperlihatkan foto Weni, Dina dan Dahlia bergantian. Mata pria itu memandangi lekat foto yang ditunjukkan Tina. setelah terdiam sebentar, akhirnya dia menganggukkan kepalanya.
“Maaf saya agak lama mengenali, soalnya penampilan mereka berbeda waktu saya bertemu.”
“Berbeda bagaimana?”
“Mereka semua tidak mengenakan hijab.”
“Apa mereka sering ke sini?”
“Ngga sering, mungkin hanya sekitar tiga hari sekali. Itu juga keluarnya malam. Saya tiga kali bertemu mereka. Kebetulan saya yang jaga shift waktu mereka belanja.”
“Apa kamu tahu di mana mereka tinggal?” tanya Hana.
“Kalau dilihat dari arah perginya, sepertinya mereka tinggal di vila yang ada di atas bukit sana.”
Tangan pria itu menunjuk sebuah bukit yang jaraknya tidak terlalu jauh. Setelah mengucapkan terima kasih, Hana dan Tina segera meninggalkan mini market tersebut. Hana segera menjalankan kendaraan roda empatnya. Mobil Hana bergerak menyusuri jalanan yang tidak terlalu lebar. Mereka bisa melihat sebuah vila di tempat yang ditunjuk pegawai itu tadi. Hana menghentikan mobilnya beberapa meter dari vila. Wanita itu mengeluarkan teropong monocular yang biasa digunakan untuk mengintai.
Dari hasil teropongannya terlihat ada enam orang pria yang berjaga di dekat vila. Sepertinya Barly sengaja menyembunyikan mereka di sini. Selain melihat para penjaga, Hana juga mengobservasi keadaan di sekitar vila. Di sekitar vila tidak ada bangunan lain, hanya pepohonan saja.
“Ada enam orang yang berjaga. Dan dua di antaranya adalah polisi yang sedang kita cari,” ujar Hana.
Karena penasaran, Tina mengambil teropong lalu melihat ke arah vila. Ada perasaan senang menelusup di hati Tina. Ternyata seperti ini rasanya melakukan pengintaian. Hal yang dulu hanya bisa dilihat di film-film saja.
“Apa kita akan menyerang sekarang?”
“Nanti saja, kita tunggu saat hari sudah gelap.”
Kepala Tina mengangguk setuju. Hana mengambil ponselnya lalu menghubungi Putra. Dia akan mengatakan hasil temuannya pada rekannya itu.
***
Bandar Baru
Anwar segera keluar dari ruangannya begitu mendapat kabar kalau rumahnya dibobol orang tidak dikenal. Alarm di rumahnya terus berbunyi dan keluarganya langsung menghubungi. Bersama dengan tiga orang petugas, Anwar bergegas kembali ke rumahnya.
Melihat kepergian Anwar, Putra memanfaatkan hal tersebut untuk memasuki ruangan pria itu. Pasti Zyan yang sudah berpura-pura masuk ke kediaman Anwar dan membuat alarm rumah pria itu mengalami 21mala fungsi. Sebelum bergerak, lebih dulu dia meminta Armin untuk meretas cctv agar pergerakannya tidak diketahui oleh petugas control room.
Kepala Putra menoleh ke kanan dan kiri. Setelah situasi dirasa aman, dengan cepat pria itu memasuki ruangan Anwar. Dia memasang kamera kecil di lemari yang ada di belakang meja kerja Anwar. Kemudian menaruh alat penyadap di bawah sofa. Usai melakukan tugasnya, Putra menggeledah ruang kerja Anwar. Dibukanya laci meja kerja atasannya itu satu per satu.
Sementara Anwar sedang menggeledah, Agam pun siap menjalankan tugasnya. Pria itu siap memasuki kantor polisi untuk mencari keberadaan polisi yang menjadi target mereka. Kepala botak pemuda itu sudah tertutup wig dengan rambut keriting dan kacamata tebal yang menghiasi wajahnya. Sambil memeluk tasnya, dia masuk ke kantor polisi. Dia langsung mendekati salah satu petugas yang duduk di belakang meja.
“Siang, Pak.”
“Siang.”
“Saya mau melaporkan pencopetan, Pak. Dompet saya dicopet saat di angkot.”
“Duduk dulu.”
Agam menarik kursi lalu mendaratkan bokongnya di sana. Sang petugas segera mengetik laporan yang disampaikan oleh Agam.
“Hilangnya kapan?”
“Barusan, Pak. Saya lagi naik angkot. Saya duduk diapit dua orang laki-laki. Mereka bawa ransel yang digendong di bagian depan. Karena tidak curiga, saya duduk aja di antara mereka. Karena semalam saya begadang, jadi saya ngantuk terus tidur. Begitu bangun saya sadar kalau dompet saya udah ngga ada. Dua orang yang di samping saya juga udah ngga ada.”
“Apa kamu masih ingat ciri-ciri orangnya?”
“Duh, saya ngga perhatiin, Pak.”
Sang petugas terus mengetik apa yang disampaikan oleh Agam. Mata Agam memandang sekeliling ruangan, mencoba mencari sosok polisi yang pernah datang ke pondok untuk mengamankan Amma. Namun pemuda itu belum bisa menemukannya.
“Apa saja yang hilang?”
“Uang, KTP sama ATM, Pak.”
“Uangnya berapa?”
Agam memperlihatkan lima jarinya pada sang petugas.
“Lima ratus ribu?”
“Bukan.”
“Lima puluh ribu?”
“Bukan juga. Lima ribu maksudnya.”
“Di ATM ada saldonya?”
“Cuma sepuluh ribu, Pak. Hehehe..”
Petugas itu menghembuskan nafas panjang. Entah siapa yang sial di sini. Apakah Agam yang kehilangan dompetnya, atau kedua pencopet itu? Ongkos mereka naik angkot lebih besar dibanding penghasilan mereka mencopet.
“Ehm.. Pak, apa di sini ada petugas yang bernama Safri?”
“Kenapa tanya-tanya?”
“Cuma tanya aja, Pak. Dia udah dua kali nolong saya. Katanya dia bertugas di kantor polisi ini. Waktu itu saya ketemu pas Pak Safri sedang patroli dengan rekannya. Yang kepalanya botak itu loh, Pak.”
“Maksudnya Idham?”
“Iya kali, Pak.”
“Ada apa kamu tanya-tanya mereka?”
“Saya mau kasih voucher makan gratis di cafe teman saya yang baru aja buka.”
Agam mengeluarkan voucher makan gratis dari dalam tasnya, lalu memberikannya pada petugas tersebut.
“Mereka berdua lagi cuti. Mungkin semingguan.”
“Kalau gitu, vouchernya buat Bapak aja.”
“Ini tanda tangani dulu suratnya.”
Agam segera menandatangani surat laporan yang sudah selesai dibuat. Usai menandatangani surat tersebut, Agam segera meninggalkan kantor polisi. Putra sudah memberikan kode padanya untuk keluar dari kantor. Sesampainya di luar, mereka segera menuju mini market yang ada di seberang kantor polisi.
“Kata petugas tadi, Safri dan Idham sedang cuti.”
“Mereka ada di Muara Elok, menjaga tiga santri. Wahyu dan Bakri juga sedang cuti. Kita cari keberadaan mereka sekarang.”
“Siap, Pak.”
***
Masih di kota yang sama, hanya berbeda area saja, nampak Yunan tengah duduk di sebuah kedai kopi. Pria itu sedang membuntuti Anaya. Sekembalinya dari kantor pengadilan agama, wanita itu tidak langsung kembali ke apartemen atau kantornya. Melainkan menenangkan diri sejenak di cafe. Setelah apa yang terjadi di pengadilan tadi, Anaya perlu mengambil waktu sejenak untuk menenangkan hati dan pikirannya. Menghadapi Barly sebagai kliennya sangat menguras otak dan tenaganya.
Meja yang diambil Yunan sengaja dekat dengan meja yang ditempati Anaya. Pria itu segera mengambil ponselnya yang berdering. Dengan suara yang agak kencang, dia menjawab panggilan tersebut.
“Bagaimana?”
“...”
“Apa kamu tidak bisa membantuku menyelesaikannya? Aku rugi banyak.”
“...”
“Pengacara? Di mana aku bisa menemukan pengacara? Aku baru di kota ini. Aku baru datang dua minggu yang lalu kalau kamu lupa.”
“...”
“Kalau begitu kamu saja yang carikan pengacara untukku. Aku mau uangku kembali!”
Dengan kesal Yunan mengakhiri panggilannya. Anaya langsung tertarik ketika mendengar kata pengacara keluar dari mulut Yunan. Dia perlu mengambil pekerjaan lain sebagai sampingan. Setidaknya itu bisa menjadikan refreshing untuknya di tengah kepenatannya membantu masalah Barly dan Marwan.
“Apa kamu butuh jasa pengacara?”tanya Anaya dan sukses membuat kepala Yunan menoleh.
“Maaf, aku tidak bermaksud menguping. Hanya saja suaramu cukup keras dan terdengar olehku,” lanjut Anaya.
“Apa kamu kenal seorang pengacara?”
“Actually, I’m a lawyer.”
Mendengar itu wajah Yunan langsung sumringah. Dia bangun dari duduknya lalu berpindah ke meja Anaya. Dia mengulurkan tangannya seraya menyebutkan nama.
“Rian.”
“Anaya.”
Dengan gerakan tangan Anaya mempersilakan Yunan untuk duduk. Setelah mendaratkan bokongnya di kursi depan Anaya, perbincangan di antara mereka langsung terjadi. Yunan menceritakan permasalahan yang menimpanya. Anaya nampak serius mendengarkan cerita Yunan sampai perhatiannya teralihkan ketika ponselnya berdering. Wanita itu meminta ijin pada Yunan untuk menjawab panggilan. Ternyata hanya panggilan spam saja yang masuk ke ponselnya. Dia menaruh ponselnya di atas meja.
“Bagaimana kalau pesan minuman dulu?” tawar Yunan.
Tangan Yunan terangkat memanggil pelayan. Salah seorang pelayan datang menghampiri. Saat Anaya sedang memesan minuman, dengan gerakan pelan Yunan mendorong ponselnya agar dekat dengan ponsel Anaya. Ponsel milik Yunan segera bekerja mengkloning ponsel Anaya.
***
Pagar Anam
Setelah membuat kekacauan di kediaman Anwar, Zyan bermaksud kembali ke markas. Pria itu memacu kendaraan roda duanya. Hanya tingga sedikit lagi jarak yang ditempuh untuk sampai ke markas ketika ponsel pria itu bergetar. Dia menepikan kendaraannya lalu menekan bagian samping helmnya. Helm yang dikenakan Zyan memang memiliki koneksi bluetooth yang tersambung ke ponselnya.
“Halo.”
“Aku sudah mendapatkan alamat di mana Ihsan berada,” terdengar suara Armin dari seberang.
“Dia ada di mana?”
“Di Desa Karang Tanjung, tepatnya di perbatasan antara Karang Tanjung dengan Muara Elok.”
“Kirimkan lokasinya, aku ke sana sekarang.”
Zyan mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Armin sudah mengirimkan lokasi di mana Ihsan, Kakak dari Asma berada. Zyan pun memutar balik kendaraannya. Pria itu kembali memacu motornya menuju lokasi yang dimaksud.
Armin merentangkan kedua tangannya sambil menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri untuk menghilangkan rasa pegalnya. Febri datang membawakan dua gelas minuman dingin. Sambil meneguk minumannya, Armin melihat pada layar komputer. Dia sedang memantau pergerakan Barly dan Marwan.
Nampak Barly baru saja masuk ke dalam ruangan kerjanya. Pria itu menghempaskan bokongnya di kursi kebesarannya. Wajah pria itu nampak kesal karena yang terjadi di ruang sidang. Dia mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang. Dengan cepat Armin dan Febri mengenakan headphone untuk mendengarkan percakapan pria itu.
“Datangi Asma di rumahnya dan habisi dia!”
Sontak Armin dan Febri saling berpandangan. Armin segera mengecek keberadaan rekan-rekannya. Semuanya sedang berada di luar Pagar Anam. Zyan juga sudah menjauh dari Pagar Anam. Namun begitu Armin tetap menghubungi Yunan dan Putra lalu menceritakan soal rencana pembunuhan Asma. Yunan meminta Armin segera menuju rumah Asma, pria itu akan menyusul secepatnya. Usai berbicara dengan Yunan, Armin segera berdiri, membuat Febri ikut berdiri.
“Kita harus menyelamatkan Asma. Dia saksi penting untuk membersihkan nama Amma.”
Febri mengangguk setuju. Keduanya bergegas meninggalkan markas. Armin menyambar kunci mobil yang tergantung di pintu. Mereka harus secepatnya menolong Asma sebelum terlambat.
***
Besok aku libur🤗
Jackson tamat km. riwayatnya sm gomgom/Facepalm//Facepalm//Facepalm/utang kok ga mau byr bgt saat duit
Ezt ora sabar nunggu anwar hancuur