Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21_Kembali melanggar batas.
Dari seberang jalan, lampu kamar lantai dua rumah Lauren menyala lebih terang dari biasanya.
Asher berdiri di balik tirai kamarnya sendiri, jendela terbuka setengah. Ia tidak berniat mengintip—tidak pernah berniat—namun cahaya itu menarik perhatiannya seperti luka yang terbuka di kegelapan. Udara malam dingin, menempel di kulitnya yang masih lembap setelah mandi. Ia hendak menutup tirai, lalu berhenti.
Jendela rumah itu terbuka.
Satu.
Lalu yang lain.
Pintu balkon menyusul.
Asher menegang.
Sosok Lauren muncul di balkon lantai dua. Rambutnya tergerai, bahunya naik turun tak beraturan. Ia mencengkeram pagar besi, tubuhnya condong ke depan, seolah udara di hadapannya terlalu jauh untuk diraih.
Asher merasakan sesuatu mengeras di dadanya.
Lauren menarik napas—gagal. Mengulanginya—gagal lagi.
Asher menghela napasnya sendiri, dalam, terkendali. Tangannya mengepal tanpa sadar. Ia tahu seperti apa wajah seseorang yang kehabisan udara bukan karena fisik, melainkan karena beban. Ia tahu bentuk bahu yang gemetar ketika rasa sakit datang dari dalam.
“Bernapas,” gumamnya pelan, tanpa suara, seolah kata itu bisa menyeberangi jarak.
Lauren berbalik masuk.
Ia tidak menutup apa pun. Jendela-jendela tetap menganga, pintu balkon dibiarkan terbuka. Dan beberapa detik kemudian—waktu terasa melar—Lauren jatuh.
Asher melihatnya terduduk di lantai kamar.
Melihat bahunya runtuh.
Melihat tangannya memukul dada sendiri, lalu memeluk tubuhnya, keras—terlalu keras untuk seseorang yang sudah rapuh. Tangisnya tak terdengar dari jarak itu, namun Asher tahu. Ia tahu dari cara tubuh itu bergetar, dari cara kepala itu menunduk, dari cara dunia seolah menyusut di sekelilingnya.
Sesuatu di dalam diri Asher terlepas.
Ia melangkah mundur satu langkah, lalu dua, menahan dorongan yang terlalu cepat, terlalu berbahaya. Otot rahangnya mengencang. Napasnya memendek, bukan karena panik—melainkan amarah yang dingin dan fokus.
Ia tidak tahu apa yang terjadi.
Namun ia tahu satu hal:
tidak ada seorang pun yang menangis seperti itu tanpa alasan yang menghancurkan.
Asher menatap lebih lama dari yang seharusnya, memastikan Lauren tidak jatuh lebih jauh, memastikan tubuh itu tetap bergerak, tetap bernapas—meski tersengal. Baru setelah itu ia menutup tirai perlahan, seakan menutup luka dengan perban yang terlalu tipis.
Di dalam kamarnya sendiri, Asher bersandar pada dinding.
Matanya tertutup sesaat.
Pikiran-pikiran berbaris rapi, dingin, tajam. Tentang siapa yang membuatnya seperti itu. Tentang alasan di balik cahaya yang terlalu terang dan jendela yang dibuka paksa. Tentang tangan yang seharusnya melindungi, tapi justru menjadi sebab.
“Aku lihat,” bisiknya, hampir seperti sumpah. “Aku lihat semuanya.”
Dan malam itu, ketika rumah di seberang kembali sunyi oleh tangis yang kelelahan, Asher tetap terjaga.
Tidak untuk mengawasi.
Melainkan untuk memastikan—
bahwa mulai sekarang, ada mata yang tidak akan berpaling.
__
Lauren meraih ponselnya dengan tangan gemetar.
Layarnya masih menyala redup, foto itu masih ada di sana—seperti luka yang sengaja dibiarkan terbuka. Ia menelan ludah dengan susah payah, lalu menekan nama yang sudah ia hafal di luar kepala.
Arga.
Nada sambung terdengar.
Satu dering.
Dua dering.
Tiga.
Lauren berdiri, mondar-mandir di kamar yang masih terbuka, jendela dan pintu balkon membiarkan angin malam masuk tanpa permisi. Napasnya masih belum sepenuhnya stabil.
Dering berhenti.
Panggilan tidak terjawab.
“Tidak… tidak…” gumamnya panik. Ia langsung menekan ulang.
Sekali lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Setiap dering seperti menghantam sarafnya sendiri. Setiap detik yang berlalu terasa seperti ejekan. Lauren memeluk perutnya yang masih sakit, tubuhnya membungkuk sedikit saat kram kembali datang.
“Ayo, angkat,” bisiknya. “Tolong… cuma angkat.”
Panggilan ketiga berakhir sama.
Tidak dijawab.
Lauren tertawa kecil—tawa yang pecah, nyaris seperti isak. Matanya panas, dadanya kembali sesak. Ia menggeser layar dengan gerakan kasar, menekan tombol panggil sekali lagi, lebih keras seolah tekanan jarinya bisa memaksa panggilan itu tersambung.
Nada sambung kembali terdengar.
Dan ketika kembali tak ada jawaban—
“ANGKAT!”
Lauren berteriak.
Suara itu memantul di dinding kamar, memecah keheningan malam. Tangannya mencengkeram ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
“ARGA, TOLONG ANGKAT!” teriaknya lagi, suaranya serak, putus asa. “Aku mohon… cuma jawab…”
Air matanya jatuh lagi, deras, tanpa bisa ia cegah. Panggilan itu kembali terputus. Layar ponselnya redup, meninggalkan nama Arga tanpa balasan.
Lauren menjatuhkan dirinya ke sisi ranjang.
Ia mencoba menelepon lagi—kali ini sambil menangis, jempolnya bergetar hebat, penglihatannya kabur. Panggilan keempat. Kelima. Keenam.
Tidak ada yang diangkat.
Tidak ada pesan balik.
Tidak ada penjelasan.
Tidak ada rasa bersalah yang cukup untuk sekadar menekan tombol hijau.
Lauren menatap ponselnya lama sekali, seolah benda itu akan berubah pikiran jika ia menatap cukup lama.
“Jadi begini,” bisiknya lirih, nyaris tak bersuara. “Begini caranya kamu menghilang…”
Ia menekan ponsel itu ke dadanya, memeluknya seperti benda terakhir yang menghubungkannya pada seseorang yang kini terasa asing. Tangisnya kembali naik, lebih sunyi kali ini—lebih dalam.
Panggilan itu terputus lagi.
Di dalam kamar yang masih terbuka, Lauren terduduk di tepi ranjang, punggungnya membungkuk, ponsel terlepas dari genggamannya dan jatuh ke seprai. Tangisnya berubah pelan—tersengal, rapuh, seperti sisa-sisa napas yang dipaksa bertahan. Bahunya naik turun tak beraturan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, seolah dunia di luar sana terlalu kejam untuk ditatap.
Di seberang jalan, di balik jendela yang gelap, Asher berdiri kaku.
Ia tidak lagi berada di balik tirai. Ia sudah lama melangkah menjauh dari jendela, mondar-mandir di kamarnya sendiri, mencoba meyakinkan diri bahwa ini bukan urusannya. Bahwa ia seharusnya kembali ke ranjang, menutup mata, mengubur semuanya seperti yang selalu ia lakukan.
Namun suara itu—
teriakan yang patah—
permohonan yang tak dijawab—
semuanya menembus dinding yang selama ini ia bangun rapat-rapat.
Asher berhenti melangkah.
Rahangnya mengeras. Otot di lehernya menegang. Napasnya tertahan, lalu keluar perlahan, terkendali—terlalu terkendali untuk seseorang yang sedang bergolak. Ia memejamkan mata sejenak.
ANGKAT!
Kata itu masih menggema di kepalanya.
Asher mengambil jaket tipis dari sandaran kursi. Gerakannya cepat, efisien. Ia menyambar kunci rumah, lalu berhenti sejenak di depan pintu. Ada jeda yang singkat—detik di mana ia tahu, begitu ia melangkah keluar, ada batas yang akan ia langgar. Batas yang selama ini ia jaga dengan disiplin dingin.
Ia membuka pintu.
Udara malam menyambutnya, dingin dan lembap. Asher melangkah ke luar, menutup pintu dengan hati-hati, lalu menyeberang jalan. Lampu teras rumah Lauren menyala redup. Semua jendela lantai dua masih terbuka. Pintu balkon juga.
Asher mendongak.
Ia bisa melihat bayangan Lauren bergerak samar di balik cahaya kamar—terlalu kecil, terlalu rapuh untuk menanggung apa pun sendirian.
Ia menaiki tangga teras. Langkahnya pelan, nyaris tak bersuara. Tangan terangkat—ragu—di depan bel pintu. Untuk sesaat, ia hampir membalikkan badan. Hampir.
Lalu terdengar isak kecil dari dalam.
Asher menekan bel.
Bunyi itu terdengar terlalu keras di keheningan malam.
Tidak ada jawaban.
Ia menunggu beberapa detik, lalu mengetuk—pelan, terukur. Bukan ketukan yang memerintah. Bukan pula yang ragu. Ketukan seseorang yang memilih hadir.
“Lauren,” panggilnya, suaranya rendah, terkendali. “Ini aku.”
Di lantai dua, Lauren tersentak. Tangisnya tertahan di tenggorokan. Ia mengangkat kepala, bingung, seolah ragu apakah suara itu nyata atau hanya bagian dari pikirannya yang kelelahan.
Ketukan terdengar lagi.
“Lauren,” ulang Asher, lebih dekat kali ini. “Buka pintunya.”
Ada jeda. Lalu langkah kaki—terseret, tak seimbang—menuruni tangga. Lauren muncul di ambang pintu dengan mata bengkak, pipi basah, rambut berantakan. Tangannya gemetar saat memutar kenop.
Pintu terbuka.
Asher berdiri di hadapannya.
Untuk sesaat, mereka hanya saling menatap. Lauren terkejut—lalu malu—lalu runtuh. Bahunya turun, napasnya goyah. Ia membuka mulut, hendak berkata apa pun, tapi tidak ada suara yang keluar.
Asher tidak menunggu.
Ia melangkah masuk satu langkah—cukup dekat untuk memastikan Lauren tidak jatuh, cukup jauh untuk tidak memaksanya. Matanya cepat menyapu: jendela terbuka, pintu balkon menganga, udara dingin masuk tanpa ampun.
“Kau tidak bernapas dengan benar,” katanya pelan, tegas. “Lihat aku.”
Lauren menggeleng lemah. Air mata jatuh lagi.
“Lauren,” ulang Asher, suaranya tetap rendah namun kini lebih dekat. “Dengar. Tarik napas. Pelan.”
Ia mengangkat tangannya—berhenti di udara—memberi Lauren pilihan. Ketika Lauren tak menolak, Asher menyentuh pergelangan tangannya dengan tekanan ringan, menuntunnya duduk di sofa terdekat.
“Tarik,” katanya. Ia menarik napas perlahan, memperagakan. “Sekarang lepas.”
Lauren mencoba. Gagal. Lalu mencoba lagi.
Asher tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya duduk di depannya, menjadi titik fokus. Wajahnya tenang—terlalu tenang—seperti seseorang yang sudah lama belajar mengendalikan kekacauan.
Beberapa tarikan napas kemudian, isak Lauren mereda menjadi getar kecil.
“Aku meneleponnya,” bisik Lauren akhirnya, suaranya nyaris tak ada. “Aku menelepon berkali-kali… dia tidak mengangkat.”
Asher mengangguk sekali. Rahangnya mengeras, tapi suaranya tetap datar. “Aku tahu.”
Lauren menatapnya, kaget. “Kau… tahu?”
“Aku dengar,” jawabnya jujur. “Aku dengar semuanya.”
Hening jatuh di antara mereka. Bukan hening yang canggung—melainkan hening yang menahan banyak hal. Asher berdiri, berjalan ke jendela terdekat, menutupnya perlahan. Satu per satu. Ia menutup pintu balkon terakhir, memastikan udara dingin tak lagi menyerbu.
Ketika ia kembali, Lauren masih duduk dengan bahu melengkung, tangannya memeluk diri sendiri.
“Kau tidak sendirian malam ini,” kata Asher, pelan namun pasti. “Tidak lagi.”
Lauren menelan ludah. Tangisnya kembali mengancam, tapi kali ini—ia tidak jatuh sendirian.
Dan di rumah yang semula sunyi oleh panggilan tak terjawab, akhirnya ada seseorang yang memilih bergerak.
Anyway, semangat Kak.👍