Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman tanpa kesalahan
Kevin mengunjungi rumah sakit karena Nathan tak henti mengeluh. Ia datang membawa beberapa kotak makanan sehat—sayur rebus, sup bening, dan buah potong. Padahal Nathan jelas-jelas memesan junk food. Tapi Kevin tetap Kevin. Ia tidak peduli sekeras apa Nathan protes; Kevin punya aturan sendiri.
“Lo gimana sih?” gerutu Nathan. “Gue minta apa, beliannya apa…”
“Dimakan,” potong Kevin singkat, tanpa ekspresi.
Nathan mendecak kesal. Namun perutnya memang sudah lapar. Mau tak mau ia menyantap makanan itu, bukan karena takut pada Kevin, tapi karena sejak tadi ia bahkan tak menyentuh makanan yang diantar suster.
“Kapan sih gue pulang?” keluh Nathan sambil menyuap. “Gue bosan.”
“Kalau lo sembuh, ya boleh pulang.”
“Tapi gue udah gapapa,” bantah Nathan cepat. “Lo bisa lihat kan?”
Kevin melirik kepalanya sekilas. “Itu perban aja masih nyangkut di kepala lo.”
Nathan mendengus. Perban sialan itu memang masih melilit kepalanya. Dan mau sekeras apa pun ia membantah, dokter jelas lebih tahu mana pasien yang sudah sembuh dan mana yang belum.
Entah berapa lama lagi ia harus bertahan di rumah sakit ini. Nathan merindukan kamarnya—ruang satu-satunya yang benar-benar terasa miliknya. Ia takut kamarnya dikuasai orang asing, takut ada yang menyentuh barang-barangnya, mengubah posisinya, menghilangkan jejak keberadaannya di sana.
Rumah sakit membuatnya sesak. Bukan karena luka di tubuhnya, tapi karena rasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
***
Jema tengah mengerjakan beberapa tugas di meja belajarnya. Pensilnya bergerak cepat, kepalanya sedikit menunduk, berusaha fokus. Baru beberapa menit suasana tenang, pintu kamarnya diketuk.
Tok. Tok.
Jema mendengus kesal. Ia menegakkan badan, lalu bangkit dengan langkah berat dan membuka pintu.
Susan dan Selin berdiri di hadapannya, wajah mereka santai—terlalu santai untuk tamu yang tahu diri.
Belum sempat Jema bertanya, keduanya sudah nyelonong masuk ke dalam kamar, duduk seenaknya di tepi ranjang.
“Kalian mau ngapain sih?” Jema menahan nada kesalnya. “Gue lagi ngerjain tugas.”
“Justru itu kami ke sini,” jawab Susan enteng.
“What?” Jema menoleh cepat.
“Kerjain tugas kita,” sambung Selin sambil menyilangkan tangan, “kayak biasa.”
Jema terkekeh. Bukan geli—lebih ke tidak percaya.
“Kok lo ketawa, Jem?” Susan mengernyit. “Apa yang lucu?”
“Lo berdua yang lucu,” Jema menyandarkan pinggul ke meja. “Gue heran banget sama kalian. Tugas-tugas siapa, yang ngerjain siapa?” Ia menatap mereka tajam. “Gue bukan babu. Pergi kalian.”
Susan mendengus. “Seharusnya lo tau diri, Jem. Karena mama, lo bisa ada di sini. Jadi lo juga hutang budi sama kita.”
Jema tertawa kecil, dingin. “Mau gue ludahi muka lo berdua?”
Selin langsung berdiri. “Backingan lo siapa sih? Kok jadi sombong gini?” Nada suaranya meninggi. “Kalau dari dulu di bawah, ya di bawah aja.”
Tatapan Jema mengeras. “Kalau masih tolol, mending nggak usah lanjutin sekolah aja,” katanya datar tapi menusuk. “Kasihan Om Chandra buang-buang uang buat monyet kayak kalian.”
Susan melangkah maju. “Berani banget lo ngomong gitu!”
“Kapan sih gue nggak berani?” Jema mendongak menantang. “Hah? Gue capek. Kalian keluar sekarang, atau gue yang teriak.”
Selin menggertakkan gigi. “Lo beneran udah nggak mau lagi dengerin apa kata gue, Jem?”
“Sejak kapan sih gue pernah dengerin lo pada?” balas Jema tanpa ragu.
Susan tersenyum tipis—senyum yang jelas bukan pertanda baik. “Lo tunggu aja ya,” ucapnya pelan. “Nanti lihat apa yang mama bakal lakuin ke lo.”
Jema tak menjawab. Ia hanya berdiri tegak di tengah kamarnya, menatap punggung Susan dan Selin saat mereka pergi—dengan dada naik turun, amarah dan kelelahan bercampur jadi satu.
Sudah biasa Jema diperlakukan seperti itu—bahkan jauh lebih parah dari sekadar ancaman dan kata-kata menyakitkan. Semua yang barusan terjadi hanyalah potongan kecil dari hidup yang sudah lama ia jalani.
Dulu, setiap kali Jema menolak melakukan apa yang Susan dan Selin perintahkan, Sarah tak pernah ragu meluapkan amarahnya. Bentakan berubah menjadi makian, makian berubah menjadi pukulan. Hanya karena Jema tidak mau mengerjakan PR mereka, Sarah pernah menarik rambutnya dengan kasar, menjambaknya tanpa peduli air mata yang jatuh. Tubuh Jema gemetar, bukan karena sakit saja, tapi karena takut.
Ada hari-hari ketika Jema dikurung dalam kamar. Tidak diberi makan. Tidak diberi kesempatan membela diri. Perutnya kosong, tenggorokannya kering, dan satu-satunya yang ia miliki hanyalah rasa lapar serta pertanyaan yang terus berputar di kepalanya—apa salahnya menolak? Apa salahnya ingin diperlakukan seperti manusia?
Semua itu masih membekas. Luka-luka yang tak terlihat, tapi perihnya tak pernah benar-benar hilang.
Dan sekarang, setelah ancaman Susan dan Selin barusan, ketakutan itu kembali merayap pelan. Jema duduk terdiam di ujung ranjangnya, menatap kosong ke lantai. Tangannya mengepal tanpa sadar, napasnya sedikit bergetar.
Apakah Sarah akan melakukan hal yang sama lagi?
Pertanyaan itu menggantung di kepalanya, berat dan menyesakkan. Ia tahu, meski rumah ini terlihat lebih besar, lebih mewah, dan lebih ramai, posisinya tetap sama—sendirian. Dan jika sejarah kembali berulang, Jema tak yakin dirinya sekuat dulu untuk menahannya.
Pagi itu Jema sudah siap sepenuhnya. Seragamnya rapi, rambutnya terikat sederhana tanpa helaian yang terlepas, almamater melekat di bahunya. Ia mengecek kembali buku-buku di dalam tas—lengkap, tidak ada yang tertinggal. Napasnya dihembuskan lega. Semuanya beres. Saatnya berangkat sekolah.
Namun begitu pintu kamarnya terbuka, langkah Jema langsung terhenti.
Sarah sudah berdiri tepat di depan pintu.
“Ma…?” suara Jema nyaris tak terdengar.
Tatapan Sarah tajam, dingin, menusuk. Tanpa aba-aba, satu jarinya menekan bahu Jema dengan keras, mendorongnya mundur. Tubuh Jema oleng, hampir terjatuh. Ia refleks melangkah ke belakang, belum sempat bertanya—
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya. Panas dan perihnya langsung menjalar. Jema terdiam, tangannya refleks menutup pipi yang terasa terbakar.
“Kayaknya nggak perlu mama jelasin lagi sama kamu, Jema,” suara Sarah datar tapi penuh amarah. “Kamu pasti udah tau maksud tamparan itu.”
Air mata Jema mulai menggenang. “Kenapa selalu aku sih yang salah, Ma? Kenapa selalu aku?”
“Ya emang kamu yang salah,” balas Sarah cepat. “Jadi harus nyalahin siapa?”
“Aku nggak ngapa-ngapain, Ma…”
“Nggak ngapa-ngapain?” Sarah mendengus. “Kamu kalau emang nggak mau bantu kerjaannya Susan, bilang aja. Nggak usah pakai ngerobek buku dia.”
Jema terperanjat. “Aku? Robek bukunya? Aku nyentuh aja nggak, Ma. Robek gimana?”
“Banyak alasan kamu, Jema,” suara Sarah meninggi. “Nggak pernah ngaku salah.”
“Sumpah demi Tuhan aku nggak tau apa-apa,” suara Jema bergetar. “Aku cuma nolak bantu ngerjain tugas dia. Aku nggak nyentuh barang-barangnya sama sekali…”
“Memang ya,” potong Sarah sinis, “kalau keturunan penipu, sampai kapan pun bakal terus kayak gitu.”
“Ma…” Jema menangis. “Demi Tuhan aku nggak tau apa-apa…”
“Jangan bawa-bawa Tuhan!” bentak Sarah. “Kamu nggak usah sekolah. Renungi kesalahan kamu di sini.”
“Aku nggak salah…”
Kalimat itu seolah menyulut api. Sarah maju lagi, tangannya mencengkeram rambut Jema dan menjambaknya keras. Jema menjerit tertahan, air mata jatuh membasahi pipinya.
“Aku nggak salah… kenapa aku yang dihukum?” Jema meronta lemah. “Lepasin, Ma… sakit…”
Sarah tak berniat melepaskan—sampai tiba-tiba tangannya ditahan.
Cengkeraman kuat mencengkam lengan Sarah.
Sarah tersentak dan menoleh.
Nathan.
“Kamu?” suaranya tercekat.
Tanpa sepatah kata pun, Nathan menurunkan tangan Sarah yang menjambak rambut Jema. Jema terhuyung kecil, menangis terisak. Bekas cakaran Sarah terlihat jelas di pipinya.
“Nathan… kamu udah pulang?” Sarah mencoba bicara.
Nathan tak menjawab. Tatapannya dingin, tajam, membuat udara di sekitarnya seolah membeku. Dengan satu dorongan pelan tapi tegas, ia menjauhkan Sarah dari Jema.
Nathan lalu menoleh pada Jema, mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Jema dengan hati-hati.
“Aw…” Jema meringis kecil.
“Tante beneran seorang ibu?” tanya Nathan datar, namun penuh tekanan.
“Itu karena dia nggak baik sama adik-adiknya,” Sarah mencoba membela diri.
“Terus?” Nathan menatapnya lurus. “Sampai kayak gini?”
Sarah terdiam, bibirnya bergetar.
“Kalau seandainya Jema yang dijahatin,” lanjut Nathan pelan tapi menusuk, “Tante juga bakal jambak mereka? Cakar mereka juga?”
“Nathan—”
Sarah tak mampu melanjutkan. Kata-kata itu seperti memukulnya balik.
Nathan beralih lagi pada Jema. Dengan hati-hati ia merapikan rambut Jema yang berantakan, jari-jarinya lembut, kontras dengan kekerasan barusan.
“Gue bisa sendiri,” ucap Jema lirih sambil menarik napas. “Thanks…”
Ia merapikan rambutnya sendiri, berusaha menenangkan diri.
Sarah, tanpa berkata apa-apa lagi, perlahan melangkah pergi keluar dari kamar Jema.
Sarah sedikit gemetar. Rasa takut dan panik bercampur jadi satu, dadanya naik turun tidak teratur. Ia sadar barusan benar-benar lepas kendali. Namun amarah itu telanjur meledak, dipicu oleh cerita Susan dan Selin yang ia dengar semalam—tentang Jema yang katanya sekarang angkuh, semena-mena, tak lagi tahu diri.
Sejak dulu, Sarah memang tidak pernah suka melihat Jema bersinar.
Ada rasa iri yang tak pernah mau ia akui. Dulu, setiap kali Jema pulang membawa piala—entah juara lomba, penghargaan akademik, atau prestasi lain—wajah Sarah selalu mengeras. Senyum yang dipaksakan, lalu amarah yang disimpan.
Tak jarang piala-piala itu berakhir di tempat sampah. Atau dibanting begitu saja hingga patah.
Uang hasil kerja keras Jema? Dirampas tanpa rasa bersalah.
Sarah tidak pernah mau Jema terlihat lebih unggul dibanding Susan dan Selin.
Tidak pernah.
Langkahnya melambat ketika pikirannya masih dipenuhi bayangan wajah Jema yang menangis, pipi memerah, dan tatapan Nathan yang dingin menusuk. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Saat itulah ia berpapasan dengan Jefran.
“Jefran?” sapa Sarah, suaranya berusaha terdengar biasa. “Selamat pagi. Kamu mau sarapan?”
Jefran berhenti sejenak. Tatapannya mengarah ke Sarah—dingin, kosong, nyaris tanpa emosi. Tidak ada senyum, tidak ada anggukan, bahkan tidak ada sepatah kata pun.
Tanpa menjawab, Jefran melangkah melewatinya dan menuruni anak tangga dengan cepat. Langkahnya tergesa, seolah ingin segera menjauh.
Sarah berdiri terpaku.
“Jefran?” panggilnya lagi, tapi anak itu sudah terlalu jauh untuk mendengar.
Ia menoleh ke arah tangga, perasaan tidak nyaman menjalar di dadanya.