Mentari Untuk Langit

Sikap Langit yang biasanya kasar pada Mentari kini perlahan mulai melunak, terlebih ketika ia melihat betapa lembutnya wanita itu memperlakukan putrinya.

Seperti saat ini. Langit berdiri tak jauh dari ranjang, memperhatikan Mentari yang dengan sabar menyuapi Mina bubur hangat.

“Tante, sudah kenyang,” ucap Mina sambil menutup mulutnya ketika sendok kembali mendekat.

“Sedikit lagi ya, sayang,” balas Mentari lembut.

“Tapi Mina sudah kenyang.”

Mentari menghembuskan napas pelan, lalu meletakkan mangkuk bubur itu di atas nakas.

“Baiklah, anak cantik. Tapi janji nanti makan lagi, ya.”

Minara mengangguk lirih.

“Tante… rambut Mina nanti bisa dikepang kayak Elsa lagi nggak?” tanyanya polos.

Mentari membeku. Matanya seketika berkaca-kaca saat menatap gadis kecil itu. Mina sudah menyadari perubahan pada tubuhnya,terutama rambutnya yang mulai rontok akibat kemoterapi yang dijalaninya.

“Tentu, sayang,” jawab Mentari dengan suara bergetar yang ia paksa tetap stabil. “Nanti rambut Mina akan tante kepang lebih cantik dari Elsa. Tapi Mina janji harus sembuh dan tetap semangat, ya.”

Mina mengangguk pelan meski tubuhnya tampak lemah.

Langit yang menyaksikan semuanya hanya mampu menahan perih yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Ada sesuatu yang mengaduk perasaannya,sesuatu yang selama ini ia abaikan.

“Sayang, setelah ini istirahat ya,” ucap Langit akhirnya. “Nanti kalau sudah enakan, kita main lagi.”

“Papa janji ya,” bisik Mina lirih, “jagain Tante Tari. Mina nggak mau Tante Tari dijahatin Kakek sama Tante Angela.”

Langit menatap Mentari sejenak, lalu kembali menatap putrinya.

“Papa janji.”

“Baiklah… Mina istirahat.”

Langit dan Mentari tetap berdiri di sana, menunggu hingga napas Mina teratur dan gadis kecil itu benar-benar terlelap, seolah takut mengusik ketenangan rapuh.

"Ayo, kita keluar sebentar,” ucap Langit pelan.

“Tapi aku ingin menjaganya di sini,” balas Mentari, matanya masih tertuju pada Mina yang terlelap.

“Temani aku bicara, Tari,” lanjut Langit lirih. “Aku butuh seseorang untuk berbagi.”

Nada suaranya terdengar begitu rapuh,berbeda dari Langit yang biasa Mentari kenal. Ada kelelahan, ada luka yang tak terucap. Hati Mentari pun melembut, tak tega menolaknya.

Mentari mengangguk pelan.

“Baiklah.”

Kini keduanya sudah berada di kantin rumah sakit, duduk berhadapan sambil menikmati segelas susu hangat dan semangkuk mi instan rebus. Makanan sederhana yang bahkan belum pernah sekalipun Langit rasakan seumur hidupnya.

Namun saat melihat Mentari menyeruput setiap helai mi dengan lahap, tenggorokannya menelan ludah tanpa sadar. Akhirnya, ia pun ikut menyantap pesanannya.

“Aku tidak pernah tahu… ternyata makanan ini sangat lezat,” ucap Langit jujur.

Mentari hanya terkekeh kecil.

“Apa kamu baru mencobanya?” balasnya santai.

Langit mengangguk pelan.

“Kalau begitu, habiskan. Karena kamu akan jarang menemui ini,” ucap Mentari lagi.

“Kenapa?”

“Kamu orang kaya dan mapan. Di rumahmu pasti banyak bahan makanan yang lebih bergizi,” balas Mentari santai.

“Tapi aku menyukainya,” jawab Langit lirih.

“Kalau begitu, suruh pembantu buat stok nanti di rumah.”

Langit kembali mengangguk. Ia lalu melanjutkan makan hingga benar-benar lahap.

Mereka tidak membicarakan sesuatu yang berarti. Mentari hanya menemani pria itu makan, berbincang ala kadarnya. Kini keduanya berjalan menyusuri koridor rumah sakit, hendak kembali menuju ruangan Minara.

“Tari, kamu pulang saja. Supir akan mengantarmu. Biar aku yang jaga di sini,” ucap Langit.

“Enggak apa-apa. Aku saja yang jaga.”

“Tapi kamu juga harus menjaga kesehatan. Ingat apa yang dikatakan dr. Rey sebelum proses pencangkokan sumsum tulang itu?”

Mentari tersenyum kecil.

“Aku tahu. Kamu jangan khawatir,” balasnya lembut.

Wanita itu hendak masuk ke dalam ruangan karena mereka telah tiba. Namun tiba-tiba Langit menggenggam pergelangan tangannya.

“Ada apa?” ucap Mentari, dengan sedikit rasa takut yang menyusup.

Namun yang terjadi justru Langit menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya,erat, seolah tak ingin melepaskan.

“Terima kasih, Tari,” bisiknya lirih.

Kejadian mendadak itu membuat Mentari terkejut. Ia sempat ingin melepaskan diri, namun pelukan Langit terlalu kuat. Ia hanya bisa diam, menahan napas yang terasa sesak.

Anehnya, di dalam pelukan itu, ada ketenangan yang perlahan mengalir.

Namun tiba-tiba seseorang memisahkan tubuh keduanya dengan paksa. Ternyata orang itu adalah Angel.

Angel menatap Mentari dengan tajam. Amarah jelas terpancar di wajahnya.

“Aku sudah menduga. Kamu orang ketiga di antara kami,” ucap Angel dengan napas terengah, suaranya bergetar oleh murka. “Pergi kau dari sini! Jangan dekati suamiku lagi!”

Dengan gerakan cepat, Langit menarik Mentari dan menyembunyikannya di balik tubuhnya.

“Kau tidak berhak mengusir dia,” ucap Langit dingin. “Seharusnya kamu yang pergi. Dan satu lagi, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Hubungan di atas kertas itu sudah aku putuskan sejak lama.”

“Lang, kamu tega mengatakan ini padaku?” Angel menatapnya tak percaya. “Hanya demi wanita ini?”

“Ya.” Langit menatap Angel tanpa ragu. “Lalu apa maumu? Jangan coba-coba kamu mendekati dia. Kalau tidak, kamu akan menanggung akibatnya.”

Angel terkekeh pelan, getir.

“Ternyata aku kembali terkalahkan,” ucapnya.

Langit dan Mentari hanya diam, mendengarkan wanita itu melanjutkan kata-katanya.

“Dulu aku kalah oleh Sila… untuk mendapatkan hatimu.”

Langit memalingkan wajahnya. Tangannya masih menggenggam erat tangan Mentari, seakan menjadi perisai terakhir yang tak akan ia lepaskan

"Kamu bukan terkalahkan, Angel,” balas Langit lirih. “Sejak awal, kamu memang tidak pernah ada di dalam hatiku. Kamu tidak memenuhi syarat untuk itu.”

“Lalu sampai kapan aku akan memenuhi syarat untuk bisa berada di sisimu, Lang?” tanya Angel lagi, kali ini dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Kenapa kamu tidak bisa melihat aku sedikit saja dan mencintaiku seperti Sila maupun Mina?” suaranya bergetar. “Bukankah kami ini sama-sama wanita asing yang baru kamu temui?”

“Lalu kenapa kamu tidak bisa memperlakukanku sama seperti mereka?” Angel menatap Langit penuh luka. “Kenapa, Lang?”

Mentari yang mendengar semua itu hanya bisa mengernyit bingung. Ia tak sepenuhnya mengerti maksud dari ucapan Angel— Mina,tentang posisi dirinya sendiri di dalam hati Langit.

"Kamu mungkin berhasil menceraikanku,” ucap Angel penuh kebencian, “tapi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan hatimu. Aku tidak akan menyerah. Apalagi alasan perceraian kita hanya demi anak sakit-sakitan yang kamu pungut dari penjara itu.”

“Diam kamu, Angel!” hardik Langit.

Amarahnya meledak. Pria itu maju dan mencengkeram leher Angel, membuat wajah wanita itu seketika memerah dan napasnya tersengal.

“Kali ini aku peringatkan,” ucap Langit dingin, penuh ancaman. “Jangan pernah lagi melakukan atau mengatakan sesuatu yang membuatku marah. Karena kamu tidak akan kuat menanggung pembalasanku.”

Mentari refleks menutup mulutnya, matanya melebar. Ia tak menyangka dengan kenyataan yang baru saja ia dengar.

Anak pungut… yang diambil dari penjara?

Jantungnya berdegup kencang.

Mungkinkah…?

Nah lho? Apalagi ini?