NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tekanan Dari Keluarga Ardi

Rumah itu tampak biasa saja dari luar, tapi setiap langkah Alya mendekat membuat dadanya terasa semakin berat. Angin sore menyapu pelan helai rambutnya, namun bukannya menenangkan justru membuat perutnya mengencang seperti diikat.

Ardi berjalan di sampingnya, memegang kantong plastik berisi buah tangan. “Santai aja, Sayang,” ucapnya pelan, meski suaranya terdengar lebih seperti permohonan daripada keyakinan. “Ibu cuma pengin ketemu.”

Alya tersenyum kecil, tapi hambar. “Iya, aku tahu.”

Yang tidak dia ucapkan adalah: Ia tahu, tapi tetap saja takut.

Sudah beberapa minggu ini, Alya mulai merasakan tekanan yang tak terlihat namun menekan kuat dari segala sisi—terutama dari keluarga Ardi. Sejak pernikahan mereka mendekati usia dua tahun, satu pertanyaan selalu muncul dalam setiap kunjungan, setiap telepon, setiap acara keluarga:

“Kapan kalian punya anak?”

Pada awalnya Alya masih bisa menanggapi dengan senyum bahkan bercanda. Tapi lama-lama, pertanyaan itu berubah menjadi nada mendesak, penuh tuntutan, dan diselipkan komentar-komentar yang menusuk pelan tapi dalam.

Dan setiap kali pertanyaan itu muncul… Alya seperti diingatkan bahwa ia belum bisa hamil.

Padahal ia sudah mencoba. Mereka sudah berusaha. Semua doa, semua harapan. Namun garis dua itu belum juga datang.

Ardi membuka pintu rumah ibunya.

Mertua Alya Bu Ratri muncul dengan senyum lebar. “Akhirnya datang juga kalian! Masuk, masuk!”

Alya ikut tersenyum sopan. “Iya, Bu.”

Begitu masuk, Alya bisa melihat kakak iparnya, Dewi, duduk di sofa sambil menggendong anak keduanya yang baru berusia tiga bulan. Suara tawa bayi itu mengisi ruang tamu.

Sesaat, Alya tertegun. Ada rasa hangat di dadanya… sekaligus perih yang tak bisa ia hentikan.

Dewi melirik Alya, lalu tersenyum tipis. “Alya, mau gendong?”

Alya refleks menggeleng. “Nggak apa-apa, Mbak. Dia lagi nyaman sama ibunya.”

Padahal hatinya ingin. Sangat ingin. Tapi ia tahu, jika ia gendong… itu justru bisa memicu komentar-komentar lain.

Bu Ratri menggamit tangan Alya dan membawanya ke meja makan. “Alya, kamu makan yang banyak, ya? Badan kamu itu kecil banget. Makanya susah hamil.”

Alya terdiam sepersekian detik. Ardi menoleh cepat ke ibunya, tapi tidak berkata apa-apa.

Komentar pertama. Belum lima menit.

Alya tersenyum kecil. “Iya, Bu. Aku usahakan.”

Mereka semua duduk. Suasana makan awalnya normal, tapi semakin lama semakin berubah arah.

“Dewi itu baru melahirkan, tapi lihat… badannya aja masih lebih berisi dari kamu, Ly,” kata Bu Ratri sambil mengaduk sup. “Kamu harus jaga nutrisi. Jangan kebanyakan pikiran.”

Dewi ikut menimpali, seolah merasa punya hak. “Iya, Alya. Kamu tuh jangan terlalu sibuk kerja. Perempuan itu prioritas pertama ya rumah tangga, anak.”

Komentar kedua.... Komentar ketiga.... Alya masih mencoba tersenyum, meski tangannya mulai dingin.

“Alya tuh nggak kerja, Mbak,” Ardi membela pelan. “Dia di rumah terus kok.”

Dewi mendengus. “Ya makin aneh dong. Sudah di rumah terus tapi belum isi juga.” Ia berkata itu sambil tertawa kecil tawa yang menusuk banget.

Alya menunduk. Dadanya mulai ngilu. Bu Ratri mengusap lengan Alya. “Kamu jangan tersinggung, ya. Ibu cuma kasihan. Ibu tiap hari lihat teman-teman sebaya yang sudah gendong cucu. Ibu cuma… ya kepengin.”

Alya tersenyum. “Iya, Bu. Aku paham.”

Padahal hatinya menjerit: Aku juga ingin. Aku juga menunggu. Aku juga berdoa setiap hari. Tapi tentu itu tidak ia ucapkan.

Ardi diam saja. Bukan karena tidak peduli Alya tahu itu tapi karena Ardi tidak pernah berbakat menghadapi keluarganya sendiri.

Setelah makan, Dewi kembali melancarkan serangan sambil menggoyang-goyang bayinya. “Ly, kamu pernah cek ke dokter belum? Jangan-jangan… ya, kamu tahu lah. Masih muda tapi rahimnya lemah.”

Alya tertegun. Bukan hanya sakit… tapi memalukan. Ardi langsung menatap kakaknya. “Mbak Dewi.”

“Apa? Kan aku bilang gini biar dia cepat ikhtiar,” jawab Dewi santai. “Lagipula Ardi juga udah umur segini belum punya anak. Kasihan.”

Itu… benar-benar menusuk Ardi. Alya bisa melihat rahang suaminya mengeras. Namun Ardi hanya menghela napas panjang. Alya berdiri spontan. “Bu, aku ke dapur bantu-bantu, ya.” Ia butuh pergi. Ia butuh bernapas.

 ~~~

Di dapur, Alya bersandar pada meja, menutup wajah dengan kedua tangan.

Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Ia menahan suara sekuat tenaga agar tidak terdengar ke ruang tamu.

Ia tidak ingin dianggap rapuh. Tapi komentar-komentar itu menusuk bertubi-tubi, menghantam titik yang paling sensitif.

Ia tahu tubuhnya belum menerima amanah itu. Ia tahu waktunya mungkin belum tepat. Tapi ketika orang lain terus menginjak sisi terlemahnya itu rasanya seperti ditusuk dari dalam.

Aku kurang apa?

Apa aku nggak cukup baik?

Apa aku bukan perempuan yang sempurna?

Pertanyaan seperti itu terus menghantuinya.

Ardi masuk perlahan. “Sayang…”

Alya buru-buru menyeka air matanya. “Aku nggak apa-apa.”

“Jangan bohong.” Ardi mendekat. “Aku dengar mereka.”

Alya menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku cuma… capek.”

Ardi memegang bahunya, tapi Alya sedikit mundur. Bukan menolak, hanya terlalu penuh dengan perasaan yang tidak tahu harus dikemanakan.

“Aku minta maaf,” ucap Ardi lirih. “Aku nggak tahu harus ngomong apa ke mereka.”

Alya tersenyum kecil palsu. “Nggak apa-apa, Di. Itu kan keluarga kamu.”

Ia berkata begitu, tapi hatinya pecah lagi.

 ~~~

Setelah waktu berjalan cukup lama, mereka pamit pulang.

Di perjalanan, Ardi mencoba menggenggam tangan Alya, tapi Alya tidak merespons banyak. Ia hanya diam, menatap jendela mobil yang dingin, matanya sembab karena menahan tangis.

Lampu-lampu jalan memantul di kaca, seperti bayangan luka yang terus menempel.

“Alya…” Ardi akhirnya bersuara.

“Hm.”

“Kamu jangan masukin ke hati. Mereka itu… ya, kamu tahu sendiri. Mulutnya suka begitu.”

Alya menelan ludah. “Tapi mereka keluarga kamu juga, Di. Aku nggak bisa pura-pura kebal.”

Ardi terdiam. Alya melanjutkan, suaranya sangat pelan: “Semua yang mereka bilang… itu yang paling aku takuti.”

Ardi menoleh cepat. Alya mengusap pipinya sendiri. “Tiap malam aku mikir… gimana kalau aku memang nggak bisa hamil? Gimana kalau kamu nanti kecewa? Gimana kalau keluarga kamu makin benci sama aku?”

“Alya…” Ardi terdengar panik. “Jangan ngomong gitu.”

Alya menutup matanya. “Aku cuma… capek…”

Ardi ingin memeluknya, tapi mobil sedang melaju. Ia hanya berkata: “Aku sama kamu. Mau apa pun kata orang… aku tetap sama kamu.”

Alya mengangguk. Tapi hatinya tetap terasa kosong.

 ~~~

Sesampainya di rumah, Alya langsung masuk kamar mandi dan mengunci pintu. Ardi menunggu di luar tanpa mengetuk.

Di dalam, Alya menatap dirinya di cermin. Wajahnya tampak lelah. Matanya bengkak. Rambutnya kusut. Tubuhnya kurus. Dan untuk pertama kalinya… Ia berkata pelan pada bayangannya sendiri:

“Aku… nggak cukup, ya?”

Suara itu pecah di ujung kalimat. Air matanya kembali jatuh. Dan malam itu, untuk kesekian kalinya, Alya menangis tanpa suara…

Di balik pintu yang tertutup rapat. Rumah itu hening. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, memecah keheningan seperti mengetuk-ngetuk dada Alya yang masih terasa sesak. Ardi duduk di tepi ranjang, memandangi pintu kamar mandi yang tertutup. Ia tak mengetuk, tak memanggil tidak ingin menambah beban tapi wajahnya penuh khawatir.

Ia tahu hari ini terlalu berat untuk istrinya.

Tidak lama kemudian, suara gemericik air berhenti. Pintu kamar mandi terbuka pelan. Alya keluar dengan rambut basah menetes, wajahnya tanpa ekspresi, hanya kelelahan yang meresap sampai ke ujung mata.

“Alya…” Ardi berdiri cepat.

Alya langsung memotongnya lembut, “Aku mau tidur dulu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan ke sisi ranjang dan menarik selimut. Ardi bisa melihat tubuh Alya sedikit bergetar entah karena dingin, lelah, atau menahan tangis yang belum selesai.

Ardi duduk di kursi dekat ranjang, tidak memaksa mendekat. “Sayang… kalau kamu mau cerita, aku di sini.”

Alya memejamkan mata. “Nanti.”

Jawaban itu membuat dada Ardi mengencang. “Oke.”

Ia memutuskan keluar kamar, memberi ruang pada istrinya untuk bernapas.

 ~~~

Beberapa Jam Kemudian Alya terbangun ketika suara pintu kamar terdengar. Ardi masuk membawa secangkir teh hangat. Lampu kamar diredupkan; aroma lavender dari diffuser yang dinyalakan Ardi memenuhi ruangan.

Ardi meletakkan teh itu di meja samping. “Kamu harus minum dulu.”

Alya bangun dengan malas, duduk sambil menyandarkan punggung. Tangannya gemetar halus saat mengambil teh tersebut. Ardi memperhatikannya diam-diam.

“Alya…”

“Hm?”

“Aku tahu kamu tersakiti tadi. Kamu nggak harus pura-pura kuat, tau?” Suara Ardi pelan, tapi mengandung ketegasan yang jarang muncul.

Alya menatap cangkir di tangannya. “Kamu marah sama aku karena aku nangis di rumah ibu?”

Ardi mengerutkan kening. “Tentu nggak. Kenapa kamu mikir gitu?”

Alya menarik napas panjang, suara berat. “Aku cuma… aku ngerasa aku bikin kamu malu di depan keluargamu.”

Ardi mendekat, duduk di sampingnya. “Alya, lihat aku.”

Alya menoleh pelan.

“Tidak ada satu pun hal yang kamu lakukan hari ini yang bikin aku malu. Yang harus malu itu mereka karena mereka ngomong seenaknya tanpa mikir perasaan kamu.”

Alya menunduk, matanya berkaca-kaca lagi.

Ardi melanjutkan dengan suara lirih namun mantap, “Aku tahu kamu sudah berusaha. Aku tahu kamu doa tiap malam. Kamu pikir aku nggak lihat? Kamu pikir aku nggak tahu kamu simpan semua ketakutan itu sendirian?”

Kata-kata itu bagai tamparan lembut di hati Alya perih, tapi menghangatkan.

Ia menggigit bibir. “Aku cuma nggak mau jadi beban buat kamu, Di.”

Ardi memeluk pundaknya, memastikan pegangan tidak terlalu erat. “Kamu istri aku. Rumah aku. Hidup aku. Mana mungkin aku nganggep kamu beban?”

Alya terisak pelan. Untuk pertama kalinya sejak mereka pulang, ia membiarkan dirinya bersandar pada Ardi. Membiarkan tubuhnya lelah dan hatinya rapuh.

Ardi mengusap punggungnya. “Kita belum punya anak bukan salah kamu. Bukan salah siapa pun.”

“Tapi mereka selalu bilangnya ke aku.”

“Itu bukan berarti mereka benar.”

Alya menggeleng pelan. “Aku takut, Di. Aku takut kamu nanti ikut dengerin mereka. Takut kamu nyalahin aku.”

Ardi terdiam beberapa detik.

Lalu ia mengangkat wajah Alya, memastikan istrinya itu melihat sungguh-sungguh apa yang ia ucapkan.

“Aku nggak nikah sama keluarga aku. Aku nikah sama kamu.”

Alya menatapnya, air mata mengalir lagi.

“Aku sayang sama kamu… bukan sama rahimmu.”

Kalimat itu membuat Alya terisak lebih keras. Ardi memeluknya erat—kali ini Alya tidak menjauh.

 ~~~

Namun…

Pelukan itu tidak serta-merta menghapus semua sakit. Luka dari komentar keluarga Ardi terlalu dalam, terlalu sering diulang. Bahkan saat Ardi berusaha menenangkan, ada bagian hati Alya yang tetap retak.

Beberapa saat kemudian, Alya sudah tenang, meski matanya masih merah.

“Terima kasih,” bisiknya.

Ardi mengangguk. “Besok kita nggak usah ke rumah Ibu dulu. Aku butuh waktu tenang buat kamu.”

Alya menatapnya. “Nggak enak, Di…”

“Yang nggak enak itu kalau aku biarin orang nyakitin kamu lagi.”

Alya menghela napas. “Tapi mereka keluargamu. Ibu kamu…”

“Dan kamu istriku.”

Ada jeda lama di antara mereka.

Ardi melanjutkan, “Denger ya, Sayang… aku bakal ngomong sama mereka. Aku bakal bilang supaya nggak ikut campur urusan kita.”

Alya langsung menggeleng cepat. “Jangan! Jangan bikin masalah tambah besar.”

“Alya ..”

“Beneran, jangan…” Alya menunduk. “Nanti mereka makin benci sama aku.”

Ardi terdiam. Ia ingin membela, ingin marah, ingin menegur keluarganya… tapi ia juga mengerti kalau Alya takut menjadi sumber keretakan.

Ia menarik napas, menahan emosi yang menggelegak. “Kalau gitu aku yang atur caranya. Tapi aku janji, kamu nggak akan sendirian lagi.”

Alya mengangguk pelan.

 ~~~

Malam Semakin Larut Alya akhirnya membaringkan diri, Ardi ikut berbaring di sisi lain ranjang. Tapi Alya tidak memunggunginya seperti biasanya jika sedang sedih. Sebaliknya, ia mendekat, menyentuhkan punggung tangannya ke lengan Ardi gestur kecil, tapi bagi Ardi itu seperti sinyal bahwa Alya masih ingin bersamanya.

“Alya…” Ardi memanggil pelan.

“Hm?”

“Aku sayang kamu. Apa pun yang orang bilang… kamu tetap istri yang paling aku banggakan.”

Alya tersenyum kecil. Sedikit getir, tapi tulus. “Aku juga sayang kamu.”

Ardi tersenyum kembali. “Tidur, ya.”

Alya memejamkan mata. Namun alih-alih tenang, ada suara-suara kecil di kepalanya yang belum mau pergi: Bagaimana jika benar aku tidak bisa hamil? Bagaimana jika nantinya Ardi berubah? Bagaimana jika keluarga itu terus menyalahkanku?

Ia mencoba menepis, tapi ketakutan itu seperti bayangan yang mengikuti kemana pun ia pergi.

Alya memeluk gulingnya lebih erat.

Malam itu, Ardi tertidur duluan. Tapi Alya masih terjaga, menatap langit-langit. Dan perlahan, tanpa suara, air matanya kembali turun.

 ~~~

Keesokan Paginya, Alya bangun lebih awal. Ia membuat sarapan sambil berusaha membuat wajahnya tampak segar. Ardi keluar kamar dengan rambut acak, langsung memeluk dari belakang.

“Masak apa?”

Alya tersenyum. “Cuma nasi goreng. Kamu suka kan?”

“Suka. Apalagi kalau yang masak istri sendiri.”

Alya mengangguk sambil mengaduk nasi, tapi Ardi bisa melihat gerakan tangannya sedikit gemetar.

“Sayang…” Ardi memegang pinggangnya lebih lembut. “Kalau kamu masih kepikiran yang kemarin, bilang ke aku.”

Alya terdiam. “Aku cuma… butuh waktu.”

Ardi mencium kepala Alya. “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhin. Aku di sini.”

Alya menelan air liurnya. “Di…”

“Hm?”

“Terima kasih karena nggak marahin aku.”

Ardi tersenyum tipis. “Aku nggak akan pernah marahin kamu karena kamu terluka.”

Alya memejamkan mata sejenak. Kalimat itu justru membuatnya ingin menangis lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!