Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.
Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.
Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Bukan Garis Halusinasi Kan?
Xion lalu mengangkat kepala, menatap istrinya. “Gimana kalau kita cek aja?” ucapnya tenang. “Biar nggak nebak-nebak. Pakai testpack.”
Tiny menoleh cepat. Alisnya terangkat sedikit. “Hah? Kok kamu mikirnya ke sana sih?”
Xion tidak langsung jawab. Ia hanya menatap wajah istrinya—wajah yang meski heran, tidak sepenuhnya menyangkal.
“Karena… kamu pakai hoodie aku,” jawab Xion akhirnya. “Karena kamu mual, mendadak, terus nyari pelukan.”
Ia menghela napas kecil. “Aku nggak bilang pasti. Tapi kalau iya… lebih baik tahu sekarang.”
Tiny terdiam. Bukan karena malu. Bukan karena takut. Tapi karena dalam satu kalimat itu, Xion seperti membacanya… terlalu tepat.
Ia menatap suaminya lama. Lalu bergumam pelan, “Kalau… iya, gimana?”
Xion menatap dalam mata Tiny. Ia tak buru-buru menjawab. Ia biarkan pertanyaan itu menggantung sebentar—mungkin untuk memastikan bahwa istrinya benar-benar siap mendengar jawabannya.
Lalu, perlahan… ia bicara. “Kalau iya…” nadanya tenang. Tegas, tapi tak menekan. “…kita jaga bareng-bareng.”
Tiny tak berkedip, matanya masih menatap Xion. Sorotnya seperti mencari celah—mencari tanda, apakah Xion benar-benar serius.
Xion melanjutkan. “Kalau iya… aku temani kamu ke dokter, beli semua vitamin yang perlu.”
“Kalau iya…” Xion menggeser duduknya sedikit lebih dekat. “…aku nggak akan ninggalin. Bukan karena kasihan. Tapi karena aku… milih kamu.”
Ia mengangguk kecil, seolah menegaskan ucapannya. “Kalau memang ini jalannya… aku ikut. Dari awal sampe akhir.”
Tiny menunduk, napasnya berat. Satu tetes air mata jatuh di punggung tangannya. “Aku takut…” gumamnya. “Kalau kamu nggak suka anaknya nanti. Kalau kamu malah makin jauhin aku.”
Xion menarik napas dalam. “Aku nggak tahu cara jadi ayah yang baik. Tapi aku tahu satu hal.” ia menatap mata Tiny. “Kalau anak itu dari kamu… aku nggak akan benci dia.”
Tiny mengusap pipinya yang basah, lalu menarik napas panjang. Ia mencoba tersenyum di sela-sela kekhawatirannya. “Tapi…” katanya pelan, matanya melirik ke arah Xion, “…emang ada ya yang jual testpack malam-malam gini?”
Xion ikut tersenyum kecil, senyuman yang samar tapi tulus. “Minimarket masih buka. Kalau niat, pasti ketemu,” ucapnya sambil berdiri perlahan. “Aku cari sekarang ya?”
Tiny menahan tangannya sebentar, lalu menggeleng. “Nggak usah sekarang… besok pagi aja,” katanya.
Lalu, seolah tak bisa menahan perasaannya, ia menambahkan sambil memeluk bantal kecil di sebelahnya, “Tapi aku juga penasaran, ih…”
Nada suaranya berubah. Lebih ringan. Lebih hangat. Matanya berbinar, pipinya masih agak merah, tapi bukan karena mual—karena antusias.
Tiny memang begitu. Ia bisa berpindah dari ketakutan ke harapan hanya dalam satu tarikan napas. Dulu waktu menanti keponakan lahir saja, ia bisa cerita berhari-hari soal nama, warna baju, dan pilihan stroller.
Apalagi sekarang… ini tentang anaknya sendiri.
Tangannya pelan menyentuh perutnya yang masih rata. “Lucu ya, kalau ternyata beneran… ada dia di sini,” bisiknya.
Xion menatap Tiny yang kini memeluk bantal kecil itu, seolah sudah membayangkan bayi mungil yang akan ia dekap suatu hari nanti. Tatapan itu membuat hati Xion hangat—tapi sekaligus cemas.
“Jangan berharap dulu,” ucapnya pelan, duduk sejenak di tepi kasur lagi. “Kalau ternyata nggak… nanti kamu kecewa.”
Tiny menoleh, lalu menyengir kecil. “Ya udah, kamu mau nggak beli sekarang aja? Tapi kalau nggak mau, besok juga boleh kok.”
Xion menghela napas, mengusap pelan wajahnya yang letih. Tapi melihat binar mata Tiny yang antusias… ia akhirnya berdiri lagi. “Sekarang aja deh. Nanti kamu nggak bisa tidur,” katanya.
Tiny mengangguk senang. “Hati-hati ya di jalan.”
Xion tersenyum kecil, lalu mendekat untuk merapikan selimut yang menutupi bahu Tiny. “Iya. Aku pergi dulu, ya.”
Tiny hanya mengangguk, memandangi punggung Xion yang perlahan menjauh. Langkahnya mantap, tapi tenang.
Pintu pun tertutup pelan.
Tiny nyengir-nyengir sendiri di dalam kamar, padahal tak ada siapa-siapa. Ia memeluk bantal mungil itu seperti bayi sungguhan—diusap, dipeluk, bahkan sempat ia bisikkan, “Kamu cewek atau cowok sih?”
Lalu tertawa sendiri. Wajahnya masih pucat, tapi rona bahagia mulai merekah pelan di pipinya. Meski belum pasti, walau belum diuji, harapan itu sudah telanjur tumbuh… dan menghangatkan dadanya.
Ia mulai membayangkan nama-nama lucu. Mulai dari huruf A, B, sampai Z.
Terus menimbang: kalau cowok, kayak Xion—kalem, tenang. Kalau cewek, kayak aku pasti.
Puluhan menit kemudian, pintu kamar terbuka pelan.
Xion muncul dengan hoodie yang masih terpasang rapi, dan satu kantong plastik dari minimarket di tangannya.
Tiny langsung duduk tegak di kasur. “Cepet banget!” serunya, mata berbinar.
Xion menutup pintu, lalu mendekat dengan langkah tenang. “Untung abang Ind*maretnya nggak banyak nanya,” gumamnya sambil mengangkat plastik transparan itu. Di dalamnya, dua kotak testpack. Dua. Bukan satu.
Tiny langsung menunjuk, “Kamu beli dua?!”
Xion meletakkan plastik itu di meja kecil dekat kasur, lalu duduk. “Kalau gagal yang pertama, masih ada satu lagi buat mastiin,” ucapnya singkat, tapi masuk akal.
Tiny nyengir lebar. “Strategi bagus.”
Tiny mengambil salah satu testpack dari plastik itu dengan penuh rasa ingin tahu. Ia bolak-balik kotaknya, membaca tulisan petunjuk yang sebenarnya sudah sangat umum: celup 5 detik, tunggu 5 menit.
“Kayak ujian ya…” gumamnya, lalu terkikik. “Hasilnya dua garis apa satu garis…”
Xion hanya mengamati dari samping. Tangannya bersedekap, tapi wajahnya menunjukkan ketegangan kecil yang tak ia sembunyikan. Ia mencoba bersikap tenang, tapi jantungnya berdetak agak lebih cepat.
Tiny bangkit perlahan dari kasur. “Nggak usah nunggu besok pagi kan? Aku kebelet tahu sekarang.”
Xion mengangguk. “Kalau udah bisa, ya coba sekarang aja.”
Tiny pun berjalan ke kamar mandi. Sebelum masuk, ia menoleh sebentar, masih dengan senyum lebar.
“Doain dua garis ya…” ucapnya pelan.
Xion mengangguk lagi, kali ini disertai senyuman samar.
Pintu kamar mandi tertutup.
Xion duduk diam. Sunyi. Matanya menatap kosong ke lantai—tapi pikirannya sibuk. Bagaimana nanti? Apa kata kedua orang tuanya? Mertuanya? Saudara dan ipar-iparnya? Kalau memang ada bayi? Apakah Tiny siap? Apakah dirinya sendiri sudah siap?
Tapi kemudian, ia mengingat kalimat yang ia ucapkan sendiri. “Kalau anak itu dari kamu… aku nggak akan benci dia.”
Dan itu cukup menenangkan.
Beberapa menit berlalu. Klik. Pintu kamar mandi terbuka pelan.
Tiny keluar perlahan, wajahnya sedikit tegang—tapi matanya berbinar aneh. Di tangannya, testpack yang sudah digunakan.
Xion langsung berdiri. “Gimana?”
Tiny masih diam. Lalu dengan pelan, ia ulurkan testpack itu ke arah Xion. Xion menatap… dan diam.
Dua garis.
Dua garis tipis tapi jelas. Hasilnya… positif.
Tiny menggigit bibir. “Itu… bukan garis halusinasi kan?”
Xion tak langsung menjawab. Matanya menatap testpack itu… seolah ingin memastikannya sekali lagi. Tapi dua garis itu tetap di sana, tak kabur, tak berubah.
Dan detik berikutnya—tanpa aba-aba—ia menarik Tiny ke dalam pelukan. Rapat. Hangat. Hampir putus napas.
Tiny kaget. Tangannya masih menggenggam testpack, bahkan belum sempat diletakkan. Tapi tubuh Xion memeluknya terlalu erat, terlalu dalam.
Yang mengejutkan, bukan hanya pelukannya… Tapi isak kecil yang terdengar pelan di dekat telinganya.