Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Ketegangan di meja itu semakin menebal, seakan udara di kafe menolak untuk bergerak. Gallen mengerutkan kening, jelas tidak nyaman dengan arah pembicaraan. Ia tahu Fia sengaja menusuk Gio dengan pertanyaan itu untuk menguji reaksi adiknya, tapi tetap saja kalimatnya terlalu tajam apa lagi di ungkapkan di depan umum yang bisa menimbulkan kecurigaan bagi orang yang mendengarnya.
"Fia, cukup," suara Gallen akhirnya terdengar, berat dan dingin. "Lo jangan asal ngomong pake kata-kata kayak gitu. Kita lagi di tempat umum."
Namun Fia hanya menatapnya balik dengan tatapan menantang. "Kenapa? Gue cuma tanya doang kok. Kan kalian semua keliatan pada bela-bela Deva. Gue cuma pengen tau… sejauh apa keberanian kalian kalo beneran gosip itu nyata."
Haikal dan Dito saling melempar pandang. Keduanya merasakan ada sesuatu yang aneh dari sikap Fia, seolah ia tahu lebih dari sekadar gosip.
"Perasaan kita nggak pernah bela Deva deh?" Bisik Haikal pada Dito.
Elliot yang dari tadi hanya diam, akhirnya membuka suara. "Lo dapet gosip itu dari mana, Fia?"
Fia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memainkan helai rambut panjangnya sambil tersenyum samar. "Rahasia, El. Tapi kalo lo mau, gue bisa kasih tau nanti… empat mata."
Gio langsung menepuk meja, membuat beberapa gelas di atasnya berguncang. "Lo jangan main-main, Fia! Ini serius!"
Suasana makin panas, sampai pelayan kafe datang menghampiri dengan wajah gugup. "Maaf, bisa tolong agak pelan? Ada pelanggan lain yang terganggu."
Haikal buru-buru mengangkat tangannya. "Iya, iya, maaf. Kita bakal tenang, kok."
Setelah pelayan itu pergi, Gallen menarik napas panjang. Ia lalu menatap Gio dengan tajam. "Lo kenapa sih sampai segitunya? Gue ngerti kalo lo nggak suka Deva dijelekin, tapi… reaksi lo barusan tuh aneh."
Gio terdiam, rahangnya mengeras. Semua mata kembali menatapnya menunggu penjelasan.
Namun sebelum Gio sempat menjawab, Fia menyelipkan kalimatnya dengan nada manis penuh racun. "Gue jadi makin penasaran, sebenernya siapa sih Deva buat lo, Gio? Apa jangan-jangan lo masih anggap Deva adik lo?"
Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk tepat di tengah meja, membuat semua orang terpaku. Bahkan Haikal yang biasanya santai kini terdiam serius.
Gio menatap Fia tajam, lalu mengalihkan pandangan ke arah Gallen yang memperhatikan dengan wajah penuh tanya. Ada sesuatu yang jelas ingin ia sembunyikan, tapi kata-kata Fia tadi sudah membuat semuanya nyaris terbongkar.
Bibirnya bergerak pelan, hampir tak terdengar. "Dia… bukan siapa-siapa."
Tapi nada suaranya justru terdengar ragu, membuat kecurigaan di mata semua orang semakin menjadi-jadi.
"Syukur deh, kalo lo berubah pikiran gue pasti kecewa sama lo." Sahur Dito tiba-tiba.
Gio terkekeh. "Nggak mungkin lah, gue masih tetep benci sama dia."
Suasana yang tadinya tegang berubah menjadi lebih hangat, kecurigaan yang tadinya muncul di gantikan oleh tawa dari mereka.
***
Di ruang keluarga yang hangat, cahaya matahari sore menembus tirai jendela, menciptakan suasana yang tenang. Deva, duduk di lantai dengan bantal di pangkuannya serta buku novel yang tengah ia baca, sementara ayahnya duduk di sofa, sambil membaca buku.
Suara halaman yang di balikkan dan bunyi jam dinding yang berdetak menciptakan melodi yang menenangkan.
Tiba-tiba, Deva mengangkat kepalanya dan menatap ayahnya dengan mata penuh rasa ingin tahu.
"Daddy," tanyanya dengan suara lembut, "Seperti apa sosok mommy?"
Deva terpikirkan sosok ibunya lebih tepatnya sosok ibu tubuh barunya, sebab ada satu komentar di salah satu forum yang menyebut jika ibu antagonis meninggal setelah menyelamatkan putrinya.
Banyak komen jahat yang terus menyudutkan sosok Deva, dan menyalahkan atas kejahatan yang ia lakukan pada Sera. Novel itu hanya menceritakan sudut pandang Sera, bagaimana ia di tindas dan di siksa oleh antagonis wanita.
'Kalo komen itu benar, apa mungkin alasan kebencian kakak gue ada sangkut pautnya sama kejadian tersebut?' batin Deva bertanya-tanya.
Ayahnya menutup buku dan menatap Deva, merasakan ketulusan dalam pertanyaan itu. Ia menarik napas dalam-dalam, mengenang sosok istrinya yang telah pergi.
"Mommy kamu adalah wanita yang sangat baik, Sayang," jawabnya dengan lembut, senyumnya penuh kasih. "Dia selalu tahu bagaimana membuat orang lain merasa bahagia. Rambutnya panjang dan hitam, seperti malam yang berbintang dan warna matanya sama sepertimu."
Deva menggigit bibirnya, membayangkan sosok yang belum pernah ia temui pasti sangan cantik sebab tubuh barunya juga cantik.
"Apakah mommy sering menghabiskan waktu bersama Daddy?" tanyanya lagi, semakin tertarik.
"Ya, tentu saja, Sayang." Jawab ayahnya dengan ceria.
Mata Deva berbinar, membayangkan momen indah itu. Namun, ada rasa penasaran lain yang tidak bisa ia sembunyikan lagi.
"Dad, boleh aku tahu kenapa mommy meninggal?" tanya Deva menatap intens ke arah ayahnya.
Dion meraih tangan putrinya, menggenggamnya erat. "Sayang, kejadian itu sudah lama. Kita sudah mengikhlaskan mommy pergi, kamu nggak perlu tahu bagaimana kejadiannya, intinya kamu adalah berkah terakhir yang mommy titipkan pada Daddy."
Senyum hangat terlihat di wajah ayahnya, "Tapi meskipun mommy nggak ada di sini lagi, dia selalu ada di hati kita semua."
Mendengar jawaban seperti itu, semakin membuat Deva penasaran. Alasan di balik kematian ibunya, apakah benar jika itu semua karena salahnya?
Di tengah perbincangan tersebut, kemunculan Gio yang langsung ikut menimpali perbincangan mereka membuat Deva kesal.
"Buat apa lo nanyain mommy? lo mau caper, kan?" tuduh Gio begitu tiba di ruang keluarga.
"Dih, siapa juga yang mau caper sama modelan knalpot kayak lo?" Deva menatap malas ke arah kakak keduanya yang kini duduk di hadapannya.
Gio tak terima di samakan dengan knalpot. Ia menatap tajam wajah Deva yang sama sekali tidak memperdulikan keberadaannya. "Mulut lo nggak bisa di jaga, hah?"
"Nggak!"
"Sialan! dasar pembunuh!" teriak Gio dengan lantang.
Sontak, raut wajah Deva langsung berubah kaku. Sel-sel dalam dirinya seakan membeku, dadanya berdenyut nyeri seakan kata-kata Gio baru saja membangkitkan rasa sakit yang sudah lama ia pendam.
Tiba-tiba rasa sakit di kepalanya kembali muncul, ia melihat memori asing yang baru pertama kali ia lihat. Deva mengepalkan kedua tangannya, sambil menutup mata. Bentakan, cacian dan amarah dari memori itu muncul di kepalanya hingga membuatnya terasa mau pecah, suara bising di sampingnya seakan memudar seiring rasa sakit di kepalanya kian menjadi.
Dion terkejut mendengar tuduhan yang di lontarkan putra sulungnya. Ia menatap tajam ke arah Dafi dan menegurnya.
"Gio, jaga bicaramu! Daddy nggak pernah mengajarkan kamu untuk bersikap keterlaluan seperti ini pada adikmu!"
Namun, teguran itu justru semakin membuat Gio tak bisa menahan amarahnya.
"Kenapa, Daddy belain dia? Daddy juga tahu kan, gara-gara dia, Mommy meninggal." Gio tak memperdulikan tatapan ayahnya yang sudah sangat marah.
TAK!
Deva meletakkan buku novel dengan kasar ke lantai dan menatap wajah Gio dengan datar. Ia baru saja menerima ingatan pemilik tubuh, dimana ibunya meninggal tepat setelah kelahirannya.
Perlakuan kejam dari kedua kakaknya, sudah terjadi sejak Deva masih kecil. Kini ia tahu alasan kebencian mereka bukan mulus karena ia menindas Sera, melainkan karena kematian ibunya juga.
"Kalau gue tahu kelahiran gue bakal bikin Mommy pergi, gue juga nggak mau lahir ke dunia ini, Gi!" napas Deva naik turun dengn cepat, jantungnya berdegup kencang tidak seperti biasanya.
Sorot matanya menunjukan seberapa besar luka yang selama ini ia terima, perlakuan tidak adil dan label pembunuh yang melekat pada dirinya sejak kecil, ternyata memberikan efek trauma pada tubuh yang ia tempati.
"Tapi gue nggak bisa menghentikan takdir yang sudah di tetapkan! lo kira gampang berada di posisi gue, hm? nggak sama sekali." Imbuh Deva sendu.
Kedua mata Deva berkaca-kaca, hatinya sakit, namun ia tidak akan menangis di depan mereka.
"Makanya, lebih baik lo mati! udah beban! nyusahin lagi, coba lo nggak lahir pasti sekarang mommy masih hidup!" ucap Gio tanpa perasaan.
Bagaikan pisau yang menusuk ulu hatinya, ucapan Gio semakin menggores luka yang selama ini sudah mati-matin Deva pendam.
"Apa dengan kematian gue sekarang, mommy bakal balik? kalau iya, dengan senang hati gue bakal nukar nyawa gue buat mommy." Sahut Deva tanpa ada keraguan sedikit pun dari ucapannya.