The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sambutan Dingin di Iceland City
Raungan terakhir Ghuls es telah memudar, digantikan oleh keheningan beku yang menyesakkan. Pecahan-pecahan es dari tubuh mereka kini tersebar di lautan, beriak pelan seiring ombak kecil. Tim The Vault, meskipun kelelahan, merasakan gelombang lega yang luar biasa. Solara, dengan napas terengah-engah, kembali ke geladak, aura birunya meredup, tapi matanya memancarkan kebanggaan.
"Kita berhasil," bisik Rivani, menyeka keringat dingin di dahinya. Ia menyeringai, lalu menepuk punggung Solara. "Kerja bagus, Putri Kosmik Biru! Kau benar-benar menyelamatkan pantat kita."
Solara tersenyum tipis, kelelahan masih terasa di seluruh tubuhnya. "Aku… aku hanya mencoba."
Dira mengamati sekeliling. Lautan es itu memang berhasil mereka taklukkan, tapi perjalanan mereka baru saja dimulai. "Bagus sekali, semuanya. Solara, kau hebat. Sekarang, mari kita pastikan kapal aman."
Bagas segera melangkah ke panel kontrol. Jari-jarinya menari di atas tombol-tombol holografik. "Mengaktifkan mode kamuflase FX Vault Tank 805." Sebuah dengungan halus terdengar, dan perlahan, siluet kapal mulai memudar, berbaur sempurna dengan hamparan es di sekelilingnya, hingga tak terlihat lagi oleh mata telanjang. "Kapal aman. Tidak ada yang bisa menemukannya sekarang."
"Baiklah, saatnya kita menghadapi es betulan," kata Intan, suaranya tenang. Ia sudah mengenakan jaket tebal berteknologi tinggi dari persediaan kapal, yang dirancang untuk suhu ekstrem.
Yang lain mengikuti. Bagas mengenakan jaket tebal berwarna abu-abu gelap, Noval dengan jaket biru cerah, Rendi dengan jaket hitam yang modis, Rivani dengan jaket merah marun yang membuatnya tampak lebih berani, dan Yuni dengan jaket putih salju yang melengkapi aura tenangnya. Hanya Solara yang tampak santai dengan kostum sleek-nya.
"Kau tidak butuh jaket, Solara?" tanya Noval, menggigil saat hawa dingin menusuknya begitu mereka keluar dari kapal. Angin dingin itu terasa seperti ribuan jarum es yang menusuk kulit.
Solara menggeleng, senyum tipis terukir di bibirnya. "Energi kosmikku menjaga tubuhku tetap hangat." Faktanya, ia merasa nyaman, bahkan sedikit terlalu hangat di balik kostumnya. Untung kostum ini anti-api dan bisa menyesuaikan suhu.
Mereka mulai berjalan menembus hamparan es yang luas. Setiap langkah terasa berat, karena lapisan es yang tebal dan angin kencang yang membawa serpihan salju tajam. Suhu di sini memang jauh lebih ekstrem dari Antartika yang pernah mereka lalui. Napas mereka langsung membeku di udara, membentuk gumpalan uap putih.
"Ini bukan dingin biasa," gumam Rivani, menggosok-gosokkan tangannya. "Ini dingin yang bisa membekukan harapanmu."
"Setidaknya kita tidak perlu khawatir soal bau badan," Noval mencoba mencairkan suasana, sambil menggosok hidungnya yang merah. "Mungkin itu efek sampingnya."
Rendi terkekeh. "Benar juga. Bisa jadi ini keunggulan genetik mereka."
Dira berjalan di depan, memimpin jalan. Matanya memindai lanskap es yang membentang tanpa batas, mencari tanda-tanda kehidupan atau peradaban. Ia bersyukur memiliki Solara. Tanpa sang putri, mereka akan tersesat di lautan es ini.
Berjam-jam berlalu. Kaki mereka terasa kebas, otot-otot menegang karena dingin. Meskipun mengenakan pakaian super canggih, hawa dingin yang menusuk masih bisa mereka rasakan. Dira tahu mereka tidak bisa terus berjalan tanpa henti.
"Solara," panggil Dira, "apakah masih jauh?"
Solara menunjuk ke kejauhan, ke arah sebuah titik di balik kabut salju yang tebal. "Di sana. Kota Es."
Saat mereka mendekat, kabut salju perlahan menyingkap sebuah pemandangan yang membuat mereka semua ternganga.
Di tengah hamparan es putih yang monoton, menjulanglah sebuah kota yang seluruhnya terbuat dari es! Bangunan-bangunan berkilauan di bawah cahaya redup matahari, menara-menara es raksasa menembus langit, dan jembatan-jembatan transparan menghubungkan bangunan satu sama lain. Arsitekturnya rumit dan detail, dengan ukiran-ukiran halus yang tampak seperti pahatan kristal. Cahaya biru dan putih samar terpancar dari dalam bangunan, membuat kota itu tampak bagai permata raksasa yang dingin.
"Astaga…" Noval berbisik, matanya tak berkedip. "Ini… ini lebih keren dari Atlantis di film-film!"
"Iceland City," bisik Solara, matanya dipenuhi nostalgia dan sedikit kesedihan. "Begitu kami menyebutnya."
Bagas mengamati kota itu dengan takjub. "Bagaimana bisa mereka membangun kota seperti ini? Ini melampaui teknologi bumi kita."
Saat mereka melangkah lebih dekat, pintu gerbang kota yang terbuat dari es raksasa perlahan terbuka. Beberapa warga keluar, siluet mereka samar di tengah pendar es. Mereka mengenakan pakaian tebal berwarna putih dan biru pucat, kulit mereka pucat, dan mata mereka memancarkan warna biru cerah yang aneh.
Namun, alih-alih menyambut, warga itu mundur selangkah, ekspresi wajah mereka menunjukkan ketakutan yang jelas. Mereka saling berbisik, menatap tim The Vault dengan tatapan curiga dan waspada. Beberapa dari mereka bahkan menarik anak-anak mereka ke belakang tubuh mereka, seolah melindungi dari sesuatu yang berbahaya.
Dira melangkah maju, mencoba menunjukkan niat baik. Ia mengangkat tangannya yang bersarung tangan tebal. "Jangan takut," katanya, suaranya berusaha ramah dan menenangkan, "kami datang dengan damai. Kami… kami adalah pengelana dari jauh. Kami datang untuk mencari kebenaran."
Seorang pria tua dengan janggut es panjang, yang tampak seperti pemimpin mereka, maju selangkah, namun matanya masih memancarkan keraguan. "Pengelana? Dari mana kalian berasal? Belum pernah ada orang luar yang bisa menembus batas beku Hyperborea Zenith."
Solara melangkah maju, menyingkirkan tudung jaketnya. "Aku Solara, Putri Arcadia Terra. Aku datang bersama mereka."
Mendengar nama Solara, raut wajah warga berubah. Ketakutan bercampur keheranan. Pria tua itu terkejut. "Putri… Solara? Tapi… kenapa Anda bersama mereka? Kami mendengar Anda menghilang dari istana."
"Ini adalah perjalanan yang panjang, Penjaga Es," jawab Solara, menggunakan sapaan formal. "Aku mencari kebenaran tentang dunia ini, tentang masa lalu kita yang disembunyikan. Dan mereka adalah temanku."
Dira melihat kelegaan samar di mata pria tua itu saat Solara berbicara. Ia melanjutkan, "Kami tahu tentang Zwarte Sol. Kami tahu mereka telah mengganggu dunia ini. Kami datang untuk membantu."
Mendengar nama Zwarte Sol, ketakutan kembali melintas di wajah warga. Beberapa dari mereka bahkan mundur lagi, gemetar.
Pria tua itu menghela napas panjang, tatapannya menyapu tim The Vault. "Zwarte Sol… mereka adalah bayangan yang selalu mengintai di balik badai salju. Mereka tidak suka kedatangan orang luar. Mereka telah menyebarkan cerita tentang 'pembawa kekacauan' yang akan datang untuk menghancurkan perdamaian kami." Ia menatap Dira. "Kalian adalah 'pembawa kekacauan' yang mereka bicarakan?"
Rivani melangkah maju, menghela napas. "Kami? Pembawa kekacauan? Kami hanya sekelompok manusia yang sedang mencari jawaban, Pak Tua. Percayalah, kami lebih suka berlibur di pantai daripada terjebak di tempat sedingin ini. Tapi masalahnya, ada makhluk jahat yang mencoba menguasai dunia, dan kami kebetulan harus menghentikan mereka." Ia tersenyum tipis. "Mungkin kami memang membawa kekacauan, tapi itu demi kebaikan bersama, kok."
Noval mencondongkan tubuh ke Rendi. "Rivani bisa jadi duta besar kita, ya. Pembawa kekacauan yang humoris."
Pria tua itu menatap Rivani, sedikit kebingungan, lalu melirik Solara. Ia tampaknya sedang mempertimbangkan sesuatu. "Jika sang Putri bersama kalian… berarti ada sesuatu yang tidak kami ketahui. Masuklah. Tetapi… berhati-hatilah. Dinding es punya telinga."
Ia memberi isyarat kepada warga lain untuk memberi jalan. Tim The Vault melangkah masuk ke dalam Iceland City, melewati gerbang es yang megah. Mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi arsitektur bangunan-bangunan di kota ini. Dinding-dindingnya transparan, memperlihatkan lorong-lorong bercahaya di dalamnya, ukiran-ukiran kristal yang begitu detail, dan bahkan perabotan yang terbuat dari es murni.
"Ini seperti istana es dari cerita dongeng!" seru Noval, matanya berbinar. "Tapi dengan pendingin ruangan yang kelewatan!"
"Dan tidak ada biaya listrik," gumam Bagas, mengamati kristal-kristal yang memancarkan cahaya di dinding. "Ini sungguh efisien."
Solara tersenyum melihat kekaguman mereka. "Kota kami memang dibangun untuk beradaptasi dengan lingkungan. Setiap kristal es di sini adalah sumber energi dan penerangan alami."
Mereka berjalan menyusuri jalanan es yang mulus, melewati rumah-rumah es dan toko-toko es. Warga Iceland City terus menatap mereka dengan campuran rasa takut, keingintahuan, dan sedikit harapan. Mereka bisa merasakan tatapan itu, bisikan-bisikan samar yang mengikuti setiap langkah mereka.
Dira tahu, mereka tidak hanya masuk ke sebuah kota, tetapi juga ke dalam sarang misteri dan intrik. Zwarte Sol sudah menanamkan ketakutan dan kebohongan di sini. Dan tugas mereka tidak hanya menemukan artefak, tetapi juga membangun kepercayaan di tempat yang begitu asing ini.
Bersambung...