Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengubah Kesialan Menjadi Keberuntungan
Seketika, Elias langsung menggeleng keras, ekspresinya berubah tegang.
“Tidak mungkin!” suaranya berat dan penuh penolakan. “Ragnar memiliki prestasi bagus, dia berpengalaman memimpin regu, dan kariernya masih panjang. Aku sudah menyiapkan jalur kepangkatan untuknya. Mana mungkin dia hanya menjadi ajudanmu, Seruni.”
Mata Elias menyipit, nadanya penuh tuduhan.
“Dan satu lagi… apa alasanmu ingin mengganti Victor? Apa karena kau menganggap dia suka mengadu padaku?”
Nateya tersenyum tipis, begitu santai seolah-olah tidak terguncang oleh nada keras Elias.
“Bukan karena itu. Victor memang tidak cocok untukku. Lagipula, bukan aku yang memilihnya bukan?” balas Nateya, balik bertanya.
Elias terdiam sepersekian detik, alisnya terangkat. Ia tahu, kalimat itu bernada sindiran. Sindiran yang jelas menyinggung Amara, yang dulu merekomendasikan Victor padanya.
Perlahan, Nateya berjalan mendekat, membuat Elias spontan menegakkan tubuhnya.
“Apa lagi yang kau mau, Seruni?” tanyanya curiga.
Tiba-tiba, Nateya mengulurkan tangan. Ia berjinjit sedikit, lalu membetulkan letak kerah kemeja yang dipakai Elias.
Gerakan Nateya begitu sederhana, tetapi justru membuat Elias terperangah. Ekspresi wajahnya yang dingin sempat pecah oleh keterkejutan, dan Nateya senang melihat perubahan itu.
“Seruni…” suara Elias tertahan, nyaris seperti peringatan. “Mau apa kau?”
Nateya tersenyum, matanya berbinar nakal.
“Tidak usah gugup, Jenderal. Yang menyentuhmu adalah istrimu sendiri," bisik Nateya lembut.
"Lagi pula, aku hanya merapikan kerah kemejamu, tidak ada niat lain. Tapi aku paham, kau memang tidak terbiasa denganku."
Elias memalingkan wajah, jelas tak nyaman dengan permainan kecil itu. Namun Nateya dengan cepat melanjutkan, suaranya kini terdengar tegas.
“Soal Ragnar, mau tidak mau, biarlah dia sendiri yang memilih. Besok, aku akan menjenguknya ke barak pengobatan. Aku akan bertanya langsung padanya, apakah dia bersedia menjadi ajudanku," pungkas Nateya.
"Bila Ragnar setuju, maka kau harus mengikhlaskannya. Ingat, seorang Jenderal sepertimu tidak boleh ingkar janji.”
Ucapan Nateya membuat Elias tak bisa menyangkal. Tak disangka, Seruni mampu mengunci kata-kata yang sulit ia bantah.
Nateya kemudian pura-pura menguap kecil, mengangkat tangannya dengan anggun.
“Ah, aku mau tidur sebentar,” katanya ringan, seolah seluruh ketegangan barusan hanyalah obrolan santai. Ia sempat berbalik, lalu teringat sesuatu.
“Oh ya… malam ini ada acara makan malam perayaan kesembuhan Papa. Lebih baik kau segera menyelesaikan pekerjaanmu dan berdandan rapi. Di sana akan ada Amara.”
Setelah berkata demikian, Nateya melenggang anggun menuju kamar. Meninggalkan Elias yang berdiri diam dengan wajah kaku, penuh pikiran yang bergolak.
Dalam hati, Nateya yakin Elias pasti akan menyusul. Dan, benar saja langkah berat sepatu bot sang Jenderal terdengar menapak di belakang.
Begitu pintu kamar terbuka, Nateya tidak menoleh. Ia hanya tersenyum miring, pura-pura tak peduli.
Dengan langkah pelan, Nateya menuju meja rias, dan mengeluarkan selembar kertas undangan dari laci.
Ia berbalik, langsung menyodorkan kertas itu ke tangan Elias.
“Ini undangan dari Amara. Supaya Jenderal percaya, bacalah sendiri. Sebenarnya, aku ingin memberikannya kemarin, tapi karena kau tidak pulang, baru hari ini kutunjukkan.”
Elias menerima undangan itu. Kertas dengan cap lilin merah dan tulisan formal gaya Hindia Belanda terbentang:
“Undangan Resmi Makan Malam Perayaan Kesembuhan Jenderal Adrian van der Meer — pukul tujuh malam, di Rumah Besar Loji Gedung Kuning.”
Nama besar Adrian, sang pensiunan jenderal Belanda yang disegani baik oleh militer maupun kalangan bangsawan Jawa, langsung menegaskan bobot acara itu.
Mata Elias menyipit. “Kau sungguh berniat datang?”
“Tentu saja," sahut Nateya menegakkan tubuhnya.
"Aku putri tunggal dari Jenderal Adrian dan mendiang Nyonya Sulastri. Mana mungkin aku melewatkan pesta kesembuhan ayahku sendiri? Kalau aku tidak datang, artinya aku anak durhaka.”
Elias menghela napas pendek. “Kalau begitu, jangan mempermalukan dirimu sendiri di sana. Kau harus bisa menahan diri, dan jangan makan berlebihan.”
Nateya menyeringai sinis. “Jenderal terlalu cemas. Itu rumahku. Aku jauh lebih paham aturan di sana ketimbang kau.”
Ia lalu mengibaskan tangannya ke arah pintu. “Sampai jumpa jam enam nanti. Sekarang aku ingin beristirahat.”
Elias menggertakkan rahang, tetapi memilih pergi.
Nateya segera mengunci pintu, lalu merebahkan diri di ranjang. Tubuh Seruni yang biasanya hanya dimanjakan tidur dan makan, kini terasa remuk menghadapi hari yang berat.
Sambil memejamkan mata, Nateya teringat akan kisah makan malam Seruni yang menyedihkan.
Di dalam novel, digambarkan bagaimana ruang makan besar Loji Gedung Kuning diterangi lampu gantung kristal, penuh dengan keluarga dan kerabat bangsawan.
Di ujung meja duduk Jenderal Adrian, sang ayah. Sosok tinggi dengan rambut memutih yang masih memancarkan wibawa, meski sudah pensiun. Di sampingnya, istrinya sekarang, Nyonya Cornelia, memandang Seruni dengan senyum sinis penuh perhitungan.
Malam itu meja dipenuhi hidangan. Anehnya, semua adalah makanan favorit Seruni: gudeg manis, opor ayam, serabi, kroket daging, dan kue-kue manis.
Tentu saja itu bukan kebetulan. Menu tersebut rancangan Cornelia.
Seruni tak kuasa menahan diri. Ia melahap dengan lahap, sendok garpu beradu keras, kuah menetes di bajunya.
Beberapa saudara tiri Belanda-nya saling berbisik sambil tertawa kecil. “Kijk eens… rakus sekali. Tidak tahu sopan santun.”
Amara duduk manis di sisi Elias, sengaja merapat. Tangannya menempel di lengan Elias, bahkan sesekali menyuapi Julian dengan manja.
Bagi tamu-tamu Belanda yang hadir, pemandangan itu seolah menunjukkan keluarga kecil yang serasi: Elias, Amara, Julian. Sungguh, ayah, ibu, dan anak yang serasi.
Seruni geram. Ia berdiri tiba-tiba, menunjuk Amara.
"Wanita murahan! Jauhi suami dan anakku!” teriaknya. Ia hendak menjambak rambut Amara, tetapi Elias menahan tangannya.
Pergumulan itu membuat siku Seruni menyenggol meja.
BRAK!
Piring dan gelas jatuh, bunyi pecahan memekakkan ruangan. Sup panas dan minuman merah tumpah membasahi gaunnya.
Semua orang terdiam, lalu menoleh ke arah Jenderal Adrian.
Sang ayah terperanjat, wajahnya memerah, tangannya mencengkeram dada. “Mon dieu… mijn hart…!” serunya parau.
Jenderal Adrian roboh di kursinya. Panik langsung melanda ruangan, tetapi tatapan semua orang jatuh pada Seruni.
Cornelia melangkah maju, menunjuknya dengan nada dingin penuh tuduhan.
“Ini ulahmu, Seruni. Kau penyebab ayahmu hampir mati untuk kedua kalinya. Rakus, cemburu, memalukan!”
Dan sejak malam itu, Seruni dicap sebagai aib keluarga. Istri rakus, anak durhaka, pengacau rumah besar keluarga Van der Meer.
***
Nateya pun terbangun dari lamunannya, menghela napas panjang. Wajahnya berubah dingin dengan tekad yang membara.
Tidak. Itu tidak akan terjadi malam ini.
Dengan mata berkilat, Nateya bergumam, “Malam ini… giliran Amara dan Mama Cornelia yang akan dipermalukan. Aku akan membalik keadaan, dan menjadikan perjamuan itu keberuntunganku.”
Senyum tipis penuh strategi terukir di bibir Nateya, sebelum ia memejamkan mata untuk benar-benar beristirahat.
Notes Author : Ditunggu like, hadiah, dan komennya ya.