Dia.. anak, Kakak, saudara dan kekasih yang keras, tegas dengan tatapannya yang menusuk. Perubahan ekspresi dapat ia mainkan dengan lihai. Marcelline.. pengendali segalanya!
Dan.. terlalu banyak benang merah yang saling menyatu di sini.
Happy reading 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S.Lintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. -
"Aku mulai takut," katanya pelan.
Wajah Ervan juga berubah serius. "Why?" tanyanya lembut tanpa menuntut.
"Azri.. dia mulai menjauh dariku dan itu membuatku takut."
"Kenapa harus takut hm? Dia tidak akan bisa jauh dari Kakaknya ini," ujar Ervan tersenyum sambil mencubit pelan pipi Marcelline.
Marcelline menggeleng. "Sejak kejadian kemarin, dia mulai beda.. dia berani ungkit tentang dia yang bukan keturunan asli keluarga Hart, dan dia mulai berani membantah, Van," katanya jujur dan takut.
"Memangnya kejadian apa kemarin?" tanya Ervan lembut dan sedikit waspada.
"Seperti biasa, masih banyak yang nyinggung tentang identitas aslinya, dan masih banyak orang yang menjelekkan keluarga yang buat emosinya nggak stabil. Dan seperti biasa juga caraku menghukum, tapi kemarin dia keliatan marah," ujar Marcelline menatap Ervan.
"Hukuman seperti apa?"
"Menjahit mulut pemuda itu, ringan kan? Aku bahkan tidak memenggal kepalanya atau membunuhnya dengan tragis seperti biasanya. Tapi kenapa kali ini Azri marah?"
"Sudah bicarakan ini dengannya?"
Ervan mengelus-elus punggung tangan Marcelline agar gadis itu merasa aman dan tenang.
"Menatapku saja dia enggan." Marcelline menghela napasnya.
"Aku yang akan bicara kalau gitu," kata Ervan tersenyum.
"No! Mama lagi sakit, jangan ditinggal," tolak Marcelline menggeleng.
"Tapi kamu gelisah."
"Wajar kan? Aku cuma takut dia tiba-tiba pergi dan kamu tau kalau aku nggak bisa kalau tanpa dia," ucap Marcelline di angguki Ervan.
Ervan membawa Marcelline ke pelukannya. "Percaya sama aku, kalau Azri nggak akan pergi dari kamu. Mungkin sekarang dia cuma lagi butuh waktu, ada sesuatu yang ganjal kemungkinan, makanya dia sedikit ngejauh dari kamu," ucapnya menenangkan.
"Kamu selalu punya kata yang sedikit bisa buat jauh lebih tenang. Makasih."
"For you."
Berbeda dengan Delano yang sekarang ada di teras mansion. Dengan ponsel yang menempel di telinganya.
Terlihat ia sedang menahan amarah tapi masih tetap bersikap lembut.
"Azalea, please," lirih Delano memohon.
"Mau sampe kapan Aza harus nunggu sih, Bang?" tanya Azalea terdengar muak.
"Ini bahkan baru beberapa jam Dek, belum ada hitungan hari. Sabar okay. Abang lagi ada urusan penting dengan Nona Hart!" ucap Delano mempertegas.
Azalea langsung menutup teleponnya begitu saja, membuat Delano menghela napas berat.
"Kalau sudah ingin, sulit sekali untuk menunda," gumam Delano berkomentar.
"Dan aku harap, kamu bisa sabar dan nggak ngelakuin tindakan apa-apa yang bisa memicu kemarahan dia, Za."
Eropa, Swiss
Azalea hendak membanting ponselnya, tapi ia urung.
"Okey tenang Aza, dia nggak akan suka sama kamu yang pemarah kayak gini. Kamu harus tumbuh jadi gadis lemah lembut, yang penurut," gumam Azalea memejamkan mata.
"But no!" Azalea memberi tatapan tajamnya walau wajahnya terlihat polos.
"Untuk kali ini aja, aku cuma mau pulang," ucapnya pelan dan berdesis.
Azalea duduk di sofa, kepalanya berisik dengan semua kemungkinan atas perencanaan yang ia susun sendiri.
"Aku harus punya cara sendiri untuk bisa pulang, tanpa bantuan siapa pun termasuk Bang Delan. Dan tanpa di ketahui sama dia. Ya, aku harus pikirin itu sebelum berganti hari."
"Pemberontakan kecil harusnya nggak jadi masalah. Aku bebas karena ini hidupku, harusnya aku nggak di larang untuk pulang ke tanah kelahiranku sendiri. Ya, harusnya begitu!"
Wajahnya polos, tapi otaknya pintar dan cerdik.