"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Semilir angin meniup dedaunan dan ranting. Ada yang patah dan jatuh karena kering ada juga yang masih bertahan dan hanya bergoyang mengikuti arah angin. Sepasang tangan mungil mengusap batu nisan yang bertuliskan nama dan keterangan lengkap pemiliknya yang sudah tenang disana sedari lima tahun lalu.
"Mami, aku sama kakak datang tapi kakak malah nangis. Bisakah mami keluar sebentar? lihat kakak air matanya sudah keluar banyak." Celotehnya sambil memutar leher menoleh ke samping dimana kakaknya Mentari yang tengah menyusupkan wajah pada sang eyang.
"Kakak sini! Kan kata papi kalau ke makam mami kita harus baca do'a dan habis itu baru boleh ngobrol." Serunya sambil melambaikan tangan.
"Iya sebentar sayang." Bu Rahmi menoleh pada Mentari kemudian ia merangkum wajah Embun, cucunya yang satu itu berbeda dengan Mentari. Mungkin karena Embun sudah mengerti saat kepergian sang mami.
"Kakak, lihat eyang! Kakak sayang mami?" Tanya nya dengan suara yang sedikit bergetar menahan tangis, kehilangan putri satu-satunya meski sudah 5 tahun berlalu tak serta merta bisa menghapus kenangan dan rindunya. Terlebih melihat Embun yang selalu menangis tersedu di atas pusara Stefany setiap kali datang kesini.
Embun menganggukkan kepala sembari mengusap airmata yang sedari tadi luruh tak terbendung, remaja dua belas tahun itu kembali menunduk. Meski sudah lima tahun berlalu namun bayangan kebersamaan dengan sang mami masih terekam jelas di memorinya. Masa indah itu hanya tinggal kenangan, tak ada lagi peluk dan rengkuh untuknya dari sosok ibu sebagaimana yang dimiliki teman-temannya.
"Ayo do'akan mami biar mami bahagia di sana, mami pasti bangga lihat kakak sudah besar dan bisa jaga adik." Paruh baya itu menggandeng Embun mendekati Mentari yang sudah menaburkan kelopak bunga dibimbing oleh Bayu.
Beberapa doa dilantunkan oleh Bu Rahmi diikuti oleh Embun dan Mentari yang sedari tadi terlihat riang. Kata Aamiin mengakhiri doa mereka. Bu Rahmi beringsut mencium batu nisan putrinya. Ia menunduk menopangkan wajahnya pada tangan yang masih setia mengusap tulisan nama yang sangat ia rindukan.
"Sayang, ibu datang sama anak-anak, Alhamdulillah mereka sudah besar, sehat, dan cantik-cantik seperti kamu. Tenanglah disana tidak usah khawatir nak, Sony merawat dan membesarkan Embun juga Mentari dengan sangat baik. Dia ayah yang bertanggung jawab dan hebat." Tuturnya dengan suara yang tercekat di tenggorokan.
Airmata yang sedari tadi ditahannya tetap berkhianat, merembes keluar membasahi pipi. Merasakan rindu pada sang putri adalah hal yang paling menyakitkan sebab tak bisa ditemuinya, hanya bisa dicurahkan lewat doa.
"Bu," Bayu mengusap lembut punggung sang ibu, "Ayo pulang keburu sore, nanti keburu macet kasihan anak-anak." Tuturnya lembut mengajak sang ibu untuk segera pulang.
"Kakak, adek! Ayo pulang sekarang. Mau mampir jalan-jalan dulu enggak?"
"Mau, mau om!" Seru Mentari sembari bergelayut manja dileher Bayu.
"Pamit dulu sama mami! Bilang adek mau pulang dulu terus salam ya." Bayu mengusap puncak kepala Mentari penuh kasih, setiap kali melihat Mentari ia seperti kembali bertemu dengan sang adik.
"Mami, adek pulang dulu ya. Eyang sama om dan kakak juga mau pulang, mami baik-baik disini nanti kalau papi libur kita kesini lagi, ya kan kak?" Gadis kecil itu memutar leher menoleh kearah Embun yang hanya mengangguk.
"Mami, kakak pulang dulu. Kakak sayang mami selalu, Assalamualaikum." Perlahan Embun bangkit mendekatkan wajahnya pada batu nisan kemudian menciumnya dengan takzim. Dulu ia hanya nangis kebingungan saat melihat sang mami yang terbungkus kain putih dimasukkan ke liang lahat, tak pernah terpikirkan olehnya kalau itu membuat dirinya dengan perempuan yang melahirkannya takkan pernah bertemu lagi di alam fana ini.
Yang terpikirkan dan ditangisi waktu itu bukanlah kehilangan tetapi hanya kasihan, takut sang mami nangis dan kesakitan tertindih tanah. Tapi ternyata sekarang ia baru sadar yang kesakitan dan menangis setiap saat kala mengingatnya adalah dirinya sendiri karena kehilangan untuk selama-lamanya.
"Ayo kak, duluan sama eyang. Adek biar di gendong om saja, ayo sini!" Bayu mengangkat tubuh Mentari, lalu menggenggam tangan Embun mengikuti Bu Rahmi yang lebih dulu melangkah meninggalkan peristirahatan Stefany.
Sepanjang jalan menuju mobil yang terparkir di area khusus pengunjung, mereka melewati jejeran makam yang tertata rapi dengan rumput hijau di sekelilingnya, Mentari tak henti-hentinya berceloteh. Suara imut dan celotehannya mengalihkan kesedihan yang selalu hadir dan terulang setiap kali mendatangi tempat itu. Bukan tak ikhlas menerima takdir melepas orang yang dicintai, namun rasa rindu terlalu menguasai bahkan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata hingga akhirnya tangisan lah yang bercerita mengungkapkan semua rasa.
Sesampainya di parkiran Bayu langsung menurunkan Mentari, ia membuka pintu mobil belakang untuk sang ibu dan dua ponakannya.
"Eyang, enggak apa-apa kalau aku duduk di depan sama om?" Embun berdiri disamping pintu mobil sebelah kiri sambil menatap sang eyang yang membawa Mentari masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian paruh baya itu melongokkan kepala sambil tersenyum.
"Iya enggak apa-apa." Ucapnya sambil mengangguk.
"Ayo kak masuk!" Bayu membukakan pintu mobil buat Embun kemudian ia menutupnya lagi. Setelah memastikan semuanya masuk Bayu memutar leher menoleh kearah hamparan luas pemakaman diakhiri helaan napas. Dek Abang pulang dulu, ucapnya dalam hati lalu masuk ke kursi pengemudi, menyalakan mesin mobil membawa pergi tiga perempuan yang sangat disayanginya itu meninggalkan komplek pemakaman.
.
.
.
Siang berlalu berganti senja sebagai penanda terang akan segera berganti gelap yang disebut malam. Menyisakan lelah dan kenangan yang akan membawa pada sebuah harapan pada hari esok, semoga lebih baik dari hari ini.
Renata yang baru selesai melaksanakan sholat Maghrib kembali mengecek ponsel berharap sudah ada kabar dari sang suami. Tetapi lagi-lagi masih tetap sama, ponselnya hanya rame di grup saja, akhirnya tanpa melepas mukena ia memilih duduk di depan jendela. Menatap kearah luar memperhatikan burung-burung yang beterbangan berlomba mencari tempat pulang. Tapi apa kabar dengan suaminya yang bahkan sampai saat ini tidak mengangkat telponnya bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum berubah warna masih centang a-bu.
Rindu dan khawatir bercampur menjadi satu, namun ia harus menghubungi siapa. Suaminya itu berangkat ke Surabaya hanya seorang diri. Apa mas Zan sibuk? Atau ponselnya ketinggalan di hotel? Ya Allah lindungi suami hamba dimana pun keberadaannya. Lagi-lagi ia kembali mengulang do'a yang sama untuk suaminya.
"Re, ayo makan sekarang nduk!" Panggilan Bu Rohmah dari balik pintu menyudahi racauan hati Renata. Ia segera berdiri dan menutup jendela, kemudian berayun menuju kearah pintu dimana ibunya berada. "Iya Bu bentar." Sahutnya saat membuka pintu sambil memegang ujung mukena yang masih ia kenakan.
Bu Rohmah tersenyum menatap Renata, "ibu tunggu dibawah ya, jangan lama-lama."
"Iya Bu."
Renata kembali meninggalkan pintu tanpa menutupnya, ia melepaskan mukena disaat bersamaan pula vibra ponselnya memekik diatas meja rias. Dengan cepat ia meraihnya dan segera menggeser layarnya.
"Mas"
"Sayang, maaf mas baru bisa ngasih kabar. Dari sepulang meeting tadi lelah banget, ibu nelepon sebentar mas langsung tidur. Maaf ya, kamu sudah makan belum?"
"Syukurlah kalau cuma ketiduran, aku dari tadi khawatir mas enggak ada kabar." Ucap Renata seraya menghembuskan napas leganya.
"Maafin mas ya sudah bikin kamu khawatir, dan maaf sekarang gak bisa lama-lama neleponnya mas lapar mau cari makan dulu. Nanti setelah mas selesai makan kita sambung lagi, enggak apa-apa kan?"
"Iya mas enggak apa-apa, aku juga mau makan sudah ditunggu ibu. Mas hati-hati disana ya, Assalamualaikum." Setelah mendapatkan jawaban salam dari Fauzan Renata mematikan sambungan teleponnya. Ia tersenyum kecut teringat pengakuan Fauzan yang masih sempat bertukar kabar dengan ibunya di Bandung sedangkan dirinya harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan kabar.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌