ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 13
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamar hotel tempat Clara dan keluarganya menginap. Burung-burung berkicau di luar, tapi hati Clara belum sepenuhnya tenang. Pesta pernikahan ibu memang sudah selesai, tapi pikirannya masih terikat pada satu hal: ucapan Diva semalam.
“Reymon tidak seperti yang kamu pikir, Clara. Dia punya rahasia.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Clara seperti gema yang tak mau berhenti. Ia menatap ponselnya yang tergeletak di meja rias, berharap ada pesan baru dari Reymon — tapi tak ada apa pun selain notifikasi grup kelasnya.
Clara menarik napas panjang, mencoba menepis rasa cemasnya.
“Kenapa sih Diva harus bilang kayak gitu?” gumamnya pelan.
Hari itu, setelah sarapan bersama keluarga, Clara duduk di balkon hotel sambil menatap langit biru. Tiba-tiba ponselnya berdering — sebuah pesan dari Diva.
Diva: “Clara, kamu udah balik ke rumah belum?”
Clara: “Belum, Div. Masih di hotel, nanti sore baru pulang.”
Diva: “Oke, nanti kalau udah di rumah kabarin ya. Aku pengen ngomong sesuatu, penting.”
Clara mengerutkan kening.
“Ngomong sesuatu lagi? Tentang Reymon lagi, jangan-jangan?” pikirnya.
Namun ia tak menjawab lagi. Ia hanya mengetik singkat:
Clara: “Iya, nanti aku kabarin.”
Sore harinya, setelah perjalanan pulang yang melelahkan, Clara akhirnya tiba di rumah. Ia langsung masuk ke kamar, melemparkan tasnya ke kasur, lalu menatap langit senja di luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya tentang Reymon.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar.
Reymon: “Clara, kamu udah sampai rumah?”
Clara: “Udah, Rey. Capek banget tapi seneng juga. Acaranya lancar.”
Reymon: “Syukurlah. Aku lihat dari story adikmu, kamu kelihatan cantik banget kemarin.”
Clara: “Hehe, makasih ya. Kamu liat juga ternyata.”
Clara tersenyum kecil. Tapi senyum itu tak bertahan lama, karena ia teringat lagi dengan ucapan Diva. Ia ingin bertanya, tapi takut merusak suasana. Ia menulis lalu menghapus pesan beberapa kali sebelum akhirnya membiarkannya begitu saja.
Malam itu, Diva mengirim pesan lagi.
Diva: “Clara, besok sore kita ketemu ya. Di cafe biasa. Aku bakal kasih tau semuanya.”
Clara hanya menjawab singkat,
“Oke, Div.”
Ia mencoba tidur malam itu, tapi matanya tak mau terpejam. Pikirannya bercampur antara rasa penasaran, takut, dan juga rindu pada Reymon.
Keesokan harinya, setelah pulang dari membantu ibu membereskan sisa barang dari pernikahan, Clara berangkat menuju cafe tempat mereka biasa nongkrong.
Diva sudah duduk di sana, dengan wajah serius.
“Clara, makasih udah datang,” katanya pelan.
“Iya, Div. Jadi... apa yang mau kamu omongin sebenarnya?”
Diva menatap Clara dalam-dalam. “Aku cuma nggak mau kamu terluka lagi.”
Clara menatapnya bingung. “Terluka? Maksudmu apa?”
Diva menarik napas. “Reymon... dia... sebenarnya udah dekat sama cewek lain di kota tempat dia sekolah sekarang”
Clara tertegun. “Apa? Siapa?”
Diva menunduk, berpura-pura bersalah. “Namanya Nisa. Aku tahu dari temenku yang satu sekolah sama dia. Katanya, mereka sering jalan bareng, bahkan katanya mereka udah kayak pacaran.”
Clara merasakan dadanya sesak. Ia tidak langsung menjawab.
“Diva... kamu yakin?”
“Aku gak akan ngomong kalau aku gak yakin, Cla. Aku cuma nggak mau kamu dibohongi.”
Clara menatap tanah. Suara angin terdengar seperti bisikan yang menyayat hati. Ia tahu jarak membuat segalanya sulit, tapi mendengar kata-kata itu tetap menyakitkan.
Setelah beberapa saat, Clara hanya berkata pelan, “Terima kasih, Div. Aku... aku butuh waktu.”
Malamnya, Clara tidak bisa menahan diri. Ia membuka ponselnya dan mengetik pesan kepada Reymon.
Clara: “Rey, aku cuma mau tanya sesuatu. Jujur ya...”
Reymon: “Tentu, Clara. Ada apa?”
Clara: “Kamu kenal cewek namanya Nisa?”
Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Clara menatap layar ponselnya dengan jantung berdetak cepat.
Akhirnya, notifikasi muncul.
Reymon: “Iya, aku kenal. Dia teman sekelas aku. Kenapa?”
Clara: “Diva bilang kamu dekat sama dia. Apa itu benar?”
Reymon tak langsung membalas. Tapi setelah beberapa saat, pesannya masuk.
Reymon: “Clara... aku nggak tahu kenapa Diva bisa bilang gitu. Aku emang sering satu kelompok sama Nisa di tugas sekolah, tapi cuma sebatas itu. Aku nggak ada perasaan apa-apa. Kamu percaya aku, kan?”
Clara membaca pesan itu berkali-kali. Hatinya ingin percaya, tapi bayangan ucapan Diva terus menghantui.
Clara: “Aku... aku gak tahu, Rey. Aku butuh waktu.”
Reymon menjawab pelan,
“Aku ngerti. Tapi tolong jangan langsung percaya omongan orang tanpa denger dari aku dulu. Aku gak pernah mainin perasaanmu, Clara.”
Clara menatap layar, dan air mata mulai mengalir di pipinya. Ia mematikan ponsel dan menatap langit malam di luar jendela. “Apa benar, Reymon?” bisiknya pelan.
Keesokan harinya di sekolah, Diva terlihat ceria seperti biasa. Tapi Clara merasakan sesuatu yang aneh. Saat di kantin, ia mendengar dua teman sekelasnya — Rani dan Fitri — sedang berbicara.
“Eh, tau gak, si Diva kemarin aku liat ngechat Nisa di Instagram,” kata Rani.
“Iya, katanya dia pura-pura selalu dukung Clara, buat nyari tau tentang Reymon. Padahal Nisa tuh cuma temen kelompok Reymon doang.”
Clara yang duduk tak jauh dari situ langsung terdiam. Ia menatap ke arah Diva yang sedang tertawa dengan temannya di ujung meja. Jantungnya berdetak kencang.
“Jadi... Diva yang nyebarin itu semua?”
Setelah jam pelajaran usai, Clara menghampiri Diva di depan gerbang sekolah.
“Div, aku mau ngomong.”
Diva menoleh dengan senyum kecil. “Tentang apa, Cla?”
“Jangan pura-pura gak tahu!” suara Clara meninggi. “Aku tahu kamu yang nyebarin gosip tentang Reymon. Kamu bahkan chat Nisa, pura-pura jadi orang lain!”
Wajah Diva langsung pucat. “Kamu... kamu denger dari siapa?”
“Itu gak penting! Kenapa kamu lakuin itu, Div? Kenapa kamu bohong?”
Diva menggigit bibirnya. “Karena aku suka sama Reymon, Clara! Aku udah suka sama dia dari dulu, sebelum kamu!”
Clara terdiam. Suara kendaraan di jalan terdengar samar, tapi hatinya terasa sepi.
“Jadi semua yang kamu bilang tentang ‘aku gak mau kamu terluka’ itu cuma alasan?”
Diva menunduk, air matanya menetes. “Aku cuma pengen kamu jauh dari dia. Aku tahu dia masih sayang kamu, dan itu bikin aku sakit.”
Clara menatapnya lama, antara marah dan iba. “Kamu udah salah, Div. Kamu gak cuma nyakitin aku, tapi juga dia.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Clara berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Diva yang terisak di bawah pohon besar dekat gerbang sekolah.
Malamnya, Clara mengirim pesan kepada Reymon.
Clara: “Rey, aku minta maaf. Aku udah salah paham. Ternyata Diva yang nyebarin gosip itu. Aku baru tahu tadi.”
Reymon: “Aku udah duga, Clara. Aku cuma nunggu kamu percaya sama aku.”
Clara: “Maaf banget, Rey. Aku sempat ragu sama kamu.”
Reymon: “Gak apa-apa, Clara. Yang penting sekarang kamu tahu kebenarannya.”
Clara menatap layar ponselnya sambil tersenyum kecil, perasaannya campur aduk antara lega dan malu.
Clara: “Rey... kamu masih mau temenan sama aku?”
Reymon: “Temenan aja? Aku gak pernah berhenti berharap lebih dari itu.”
Clara membalas dengan emoji senyum malu.
Clara: “Kamu gak berubah ya.”
Reymon: “Dan aku gak akan berubah, Clara. Meski kita di kota berbeda, aku tetep bakal nunggu kamu.”
Clara menatap pesan itu lama, matanya berkaca-kaca. “Aku juga, Rey...” bisiknya pelan.
Ia menatap ke luar jendela, di mana langit malam bersinar dengan bintang-bintang kecil. Hatinya terasa hangat. Namun jauh di dalam sana, ia tahu cerita mereka belum selesai. Masih banyak yang harus mereka hadapi — jarak, masa depan, dan mungkin, perasaan yang akan diuji waktu.
Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Clara merasa tenang. Ia tahu satu hal dengan pasti — cinta yang jujur akan selalu menemukan jalannya, meskipun terhalang jarak dan kebohongan.
BERSAMBUNG...