Mengisahkan seorang crazy rich, Ditya Halim Hadinata yang memperjuangakan cinta seorang gadis dari keluarga biasa, Frolline Gunawan yang tidak lain adalah kekasih keponakannya sendiri, Firstan Samudra.
Ikuti terus ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Mengurus perusahaan
Frolline duduk di sisi ranjang rumah sakit tempat mamanya terbaring, saat Ditya tiba-tiba masuk dan menyapa mamanya.
“Selamat pagi, Tante,” sapa Ditya, tersenyum dan sedikit membungkuk untuk menjaga sopannya.
Nyonya Gunawan yang terlihat jauh lebih sehat, hanya tersenyum tipis.
“Terimakasih, selama ini banyak membantu.”
Nyonya Gunawan melirik anak muda yang berdiri tegak dengan tangan menggengam di depan perut. Tampilan mewahnya tidak lepas dari pengamatan mata wanita itu. Beralih menatap Frolline yang menunduk, sedikit cemberut.
“Tidak masalah, Tante. Kalau tidak keberatan, aku akan mengantar tante pulang ke rumah hari ini,” tawar Ditya dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Tante terserah Fro,” ucap Nyonya Gunawan.
Sebagai orang tua, dia tidak bisa memaksa. Tidak juga berkeinginan mendorong putrinya. Semua keputusan saat ini ada di tangan Frolline. Meskipun jauh di lubuk hatinya ada rasa sungkan dan malu saat bertatapan dengan pria mapan di depannya.
Frolline mengangkat kepalanya. Baik Ditya dan mamanya sedang menunggu jawabannya.
“Aku tidak keberatan.” Frolline membuka suara.
Senyum tipis itu menunjukan bagaimana perasaan Ditya saat ini. Berjalan perlahan mendekat ke arah Frolline yang berdiri tepat di samping mamanya.
“Tante tidak perlu sungkan, aku akan membantu sebisa mungkin,” ucap Ditya. Matanya melirik ke arah gadis yang diam seribu bahasa dengan wajah tertunduk.
Nyonya Gunawan sedikit melunak, meskipun dalam hatinya masih ada seberkas ketidakrelaan tersembunyi. Namun, saat ini mereka tidak memiliki siapa-siapa. Angella sedang hamil dan dia tidak berhak menganggu putri tertuanya yang sudah menikah.
Dia hanya ibu rumah tangga biasa, yang sekarang kehilangan suami di saat keluarga mereka belum seutuhnya sempurna. Bagai kapal di tengah lautan luas yang terombang ambing, kehilangan nahkodanya. Bersusah payah dia menyembunyikan ketakutan akan hari esok, khawatir akan ombak yang datang menghantam kapal mereka.
Dan tiba-tiba, datang seseorang yang bersedia mengambil alih kemudi. Namun, dia tidak bisa begitu saja setuju, meskipun Nyonya Gunawan tahu jelas tujuan dan maksud pria di hadapannya
Sejak awal melihat, dia sudah bisa membaca niat hati Ditya. Sebagai seorang ibu, tentu dia menolak dengan keras. Dia tahu bagaimana sepak terjang Ditya dengan para kaum hawa, dia tahu bagaimana kehidupan mewahnya.
Kalau bisa memilih, dia akan menyetujui pria sederhana dari keluarga biasa. Cerita sahabatnya sekaligus kakak sang laki-laki, Marisa membuat trauma tersendiri untuknya. Bagaimana mungkin dia menyerahkan putri bungsunya masuk ke keluarga yang begitu mementingkan bibit bebet dan bobot.
Wanita itu menatap dan menggengam tangan putrinya, berusaha menguatkan. Sekaligus memohon maaf. Sebagi orang yang melahirkan Frolline, tentu dia tahu jelas bagaimana hati putrinya yang masih tertambat pada cinta pertamanya, Firstan.
“Aku seperti menjual putriku sendiri. Kalau Firstan tidak berulah, nasib Fro tidak akan seburuk ini,” batinnya.
***
Dua bulan berlalu.
Angella dan Firstan yang diam-diam sudah menyelesaikan proses perceraiannya tanpa sepengetahuan orang tua mereka, memutuskan kembali ke rumah masing-masing. Untuk Firstan, tidak sulit membuka kebenarannya pada kedua orang tuanya, tetapi berbeda dengan Angella. Sampai sejauh ini, dia masih menutup rapat-rapat perihal keguguran dan perpisahan dari sang mama. Penyakit jantung Nyonya Gunawan, membuatnya bungkam sambil mencari waktu yang tepat untuk berterus terang.
Hubungan Ditya dan Frolline, juga tidak bisa dibilang baik. Tidak ada perkembangan yang berarti. Frolline masih dengan keputusannya, belum mau menikah secepatnya. Dengan alasan, tidak mau meninggalkan mamanya yang sendirian, belum lagi kuburan papanya saja belum mengering.
Sore itu, mobil Angella masuk ke halaman rumah mereka. Baru tiga hari dia kembali ke rumah, dengan alasan merindukan sosok mamanya.
“Ma,” sapa Angella. Nyonya Gunawan masih sibuk di dapur, menyiapkan makan malam mereka.
“Kamu sudah pulang?” tanya sang mama masih dengan celemeknya.
“Sudah Ma. Fro mana?” tanya Angella, mengedar pandangan ke sekitarnya. Mencari sosok sang adik yang biasanya paling sering berkutat di dapur.
“Di kamarnya. Fro baru pulang kerja,” sahut Nyonya Gunawan.
Tanpa memperpanjang pembicaraan, Angella sudah melenggang pergi. Bergegas naik ke lantai dua, menuju kamar Frolline. Dia harus berbicara serius dengan Frolline mengenai kelanjutan perusahaan mereka yang ditinggal sang papa.
Angella masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk. Tampak Frolline baru selesasi mandi dengan rambut masih digelung handuk,
“Fro, kita harus bicara,” ucao Angella membuka pembicaraan. Menghempaskan tubuh lelahnya di atas tempat tidur.
Frolline yang masih duduk di depan cermin, menatap sang kakak keheranan. Tidak biasanya Angella bicara serius.
“Ada apa?” tanya Frolline, mengoles bedak di wajah mulusnya. Sebentar lagi Ditya akan menjemputnya untuk makan malam.
“Aku sudah bercerai dengan First. Kembalilah padanya. Biarkan dia mengurus perusahaan papa. Aku harus melanjutkan S2 ke luar negri,” ucap Angella tiba-tiba.
Frolline terperanjat. Dia mengira Angella sudah membatalkan niatnya melanjutkan pendidikannya dan akan fokus dengan perusahaan mereka yang memang sejak dulu diurusnya berdua dengan sang papa.
“Tidak bisa seperti itu. Mau dibuang kemana Ditya,” celetuk Frolline.
Hampir dua bulan mereka berhubungan, meskipun jalan di tempat, tetapi tidak mungkin dia membuang lelaki itu tanpa alasan.
“Kalau begitu kembali ke perusahaan. Berhenti dari pekerjaanmu. Sekarang saatnya kamu juga menunjukan baktimu pada orang tua. Bukan hanya bermain-main di luar sana. Bukannya aku tidak tahu, pekerjaanmu itu hanya kedok. Kamu tidak benar-benar bekerja dengan Ditya,” sindir Angella.
“Aku bukannya menolak, tetapi Kak Angell kan tahu kalau aku tidak tahu sama sekali mengenai perusahaan kita,” ucap Frolline beralasan.
“First akan membantumu. Dia sudah setuju,” jelas Angella.
“Tidak bisa begitu juga, Kak.”
“Selama ini juga First yang membantu di perusahaan. Bahkan sejak masih ada papa. Aku tidak bisa menunda lagi. Selama ini aku sudah berkorban dengan membantu papa di perusahaan, sekarang kesempatanmu, Fro,” bujuk Angella.
Lama tertegun, akhirnya Frolline menjawab. “Aku akan bicarakan dengan Ditya nanti,” ucap Froline.
Pembicaraan keduanya terputus saat ketukan halus diiringi suara lembut Nyonya Gunawan. Tiba-tiba sudah muncul di balik pintu, mengejutkan keduanya.
“Fro, Ditya menunggumu di bawah,” jelas sang mama.
Kedua saudari itu terpaku, saling melempar pandangan dan menyembunyikan kegugupan. Khawatir pembicaraan mereka terdengar sang mama yang sampai sejauh ini tidak tahu apa-apa.
“Kalian berdua disini?” tanyanya heran, menatap kedua putrinya bergantian.
“Eh.. iya Ma. Tolong katakan pada Ditya, aku akan segera menemuinya," ujar Frolline, melanjutkan acara memoles wajahnya dengan make-up tipis.
“Kak Angell, tolong tinggalkan aku. Aku mau berganti pakaian,” pinta Frolline, mengedipkan matanya pada Angella.
Keduanya bisa bernafas lega, mamanya tidak mendengar apapun. Mereka baru saja kehilangan sosok papa, belum siap kalau terjadi sesuatu yang buru pada mamanya.
***
Tidak lama Frolline menyusul. Turun dari lantai dua rumahnya dengan gaun biru selutut nan sederhana dan rambut bergelombang tergerai.
"Cantik!" ucap Ditya pelan, tanpa malu-malu.
“Ma, aku pergi dulu,” pamit Frolline begitu menginjakan kaki di ruang tamu. Ditya masih mengenakan setelan kerja lengkap. Pria itu pulang dari kantor dan langsung mampir ke rumahnya.
Ditya tersenyum melihat tampilan Frolline sore ini. Tanpa menunggu, keduanya berpamitan.
Angella yang sejak awal kedatangan hanya bisa menatap Ditya diam-diam, tidak bersuara. Sesekali melempar senyuman, kala pria itu tanpa sengaja memandang ke arahnya. Sudut mata mantan istri Firstan itu tidak lepas dari pria tampan yang bahkan tidak menganggap keberadaannya.
Sampai di luar rumah, terlihat Matt dan kedua bodyguard Ditya sudah siap di dekat pintu mobil. Ketiga orang ini tidak pernah jauh dari bos mereka. Selalu mengekor kemana pun Ditya berada. Apalagi Matt, asisten itu seringkali menemani Ditya saat berduaan dengan Frolline.
“Dit, aku mau mengundurkan diri dari perusahaan,” ucap Frolline tiba-tiba, saat sudah duduk di dalam mobil. Keduanya duduk di kursi belakang, dengan Matt dan Han mengisi kursi depan.
Pria yang sedang sibuk dengan ponsel di tangan itu, menoleh. Memastikan kalau Frolline tidak sedang bercanda dengannya.
“Aku tidak mengizinkan,” tolak Ditya akhirnya, kembali fokus dengan ponsel. Dia sedang membaca email yang dikirim dari kantor pusat.
“Kak Angell ingin melanjutkan kuliahnya, aku harus menggantikannya di perusahaan,” jelas Frolline lagi.
“Tetap disisiku, Matt akan mengurus perusahaan itu untukmu,” sahut Ditya dengan santai.
“Aku serius, Dit!”
Senyuman manis muncul tiba-tiba di wajah tampan itu. Menyimpan kembali ponselnya dan meraih tangan Frolline, menautkan jemarinya pada jemari lentik berkutek merah.
“Kita menikah dan aku akan mengurus perusahaan itu untukmu,” tawar Ditya menggoda seperti biasanya.
“Ayolah Fro, kapan kamu menemui mamaku. Setiap hari mama menanyakan tentangmu. Aku lelah menjawabnya,” lanjut Ditya, memijat pelipisnya yang pusing tiap kali membahas hubungannya yang tanpa kejelasan.
“Aku belum siap meninggalkan mamaku. Apalagi Kak Angell sebentar lagi akan meninggalkan kami,” ucap Frolline pelan.
“Mamamu bisa tinggal bersama kita. Aku tidak keberatan. Jangan menggunakan alasan ini terus menerus untuk menolakku.” Ditya tersenyum setelah menekan Frolline dan membuat gadis itu bungkam.
Frolline menyudahi pembicaraannya. Seperti biasa, tidak akan pernah ada titik temu setiap membahas masalah pernikahan. Dua bulan berhubungan, Ditya selalu menekannya untuk hal yang sama. Rasanya lelah, tetapi dia sudah terlanjur menerima pria tangguh yang tidak pernah bisa dibantah semua ucapannya.
***
Acara makan malam di sebuah restoran bintang lima yang sengaja dibooking Ditya khusus uuntuk mereka berdua itu pun selesai. Tidak ada pembahasan serius, mereka memilih berbincang santai sembari menikmati makan malam romantis.
Tepat pukul sembilan malam, iringan mobil sedan Mercedes Benz E-class itu masuk ke dalam halaman rumah Frolline. Ditya terlihat menahan tangan Frolline saat gadis itu akan membuka pintu mobil.
“Matt, Han, bisa tinggalkan kami sebentar” perintah Ditya.
Kedua bawahan itu menurut, keluar mobil tanpa banyak bertanya. Tepat saat pintu mobil itu tertutup kembali, Ditya bersuara.
“Schatzi, bisakah menurut padaku kali ini,” ucap Ditya memecahkan keheningan. Menarik tubuh mungil Frolline dan mendekapnya dengan mesra. Sesekali mengecup pipi mulus bak porselin yang malam ini tidak diberi sapuan blush on.
“Biarkan aku bicara dengan kakakmu," bisik Ditya lagi.
“Sebenarnya aku tidak mau ikut campur urusan keluarga kalian, tetapi ini menyangkut masa depanku juga, masa depan kita. Setelah papamu meninggal dan mamamu yang tidak bisa diajak bicara. Aku merasa perlu membahas masa depan kita dengan Angella,” lanjut Ditya.
“Maksudmu?” Frolline bertanya.
“Tidak. Kamu pulang saja,” tolak Frolline. Gadis itu langsung membuka pintu mobil dan bergegas keluar tanpa permisi. Apalagi dia melihat sosok Angella yang berdiri di depan pintu menyambut mereka.
Ditya tersenyum, berlari menyusul. Saat akan sampai di teras rumah, pria itu meraih tangan kekasihnya dari belakang.
“Angell, bisakah kita bicara?” tanya Ditya. Sudah berdiri dengan bergandengan tangan di depan Angella.
Sang kakak tentu saja terkejut. Selama ini, Ditya belum pernah mengajaknya bicara. Kalau bertemu hanya sebatas menyapa. Itu pun sekedar basa-basi.
Tentu saja permintaan Ditya disambutnya dengan senang hati. Tanpa berpikir dua kali, dia mengangguk.
“Tidak, ini sudah malam. Besok saja, Dit,” tolak Frolline, mendorong tubuh Ditya untuk segera kembali ke mobil.
“Ada mama. Aku tahu kamu mau membahas apa!” todong Frolline, berbisik.
“Tidak masalah. Mama sudah tidur. Fro.” Angella berusaha menahan Ditya, dan mempersilahkan pria itu masuk ke dalam rumah.
“Kak, apa tidak bisa besok saja.”
“Kekasihmu sepertinya ingin membahas masalah serius, Fro,” tebak Angella, menatap ke arah Ditya.
Ketiganya sudah duduk di ruang tamu. Frolline tidak bisa menahan pembahasan ini untuk tidak terjadi. Sesekali masih menatap ke arah tangga, khawatir kalau mamanya turun mendadak dan ikut mendengar pembicaraan mereka.
“Baiklah, aku akan langsung ke intinya.” Ditya terlihat duduk di sofa dengan kaki sedikit terbuka, kedua tangan saling menaut bertumpu di pahanya.
“Aku tidak setuju dengan pengunduran diri Frolline dari perusahaan,” ujar Ditya, menatap Angella dengan serius. Pandangan itu menghujam tepat di bola mata, membuat siapa pun yang beradu pandang akan memilih mengalah.
“Kalau kamu setuju, aku bisa membeli perusahaan keluargamu dan meminta orangku untuk mengelolanya. Dan tentunya, aku akan menghadiahkan perusahaan itu untuk Frolline. Jadi perusahaan keluarga kalian tidak akan jatuh ke tangan orang luar,” ucap Ditya, membuat kedua kakak beradik itu terperanjat.
“Kamu bebas melanjutkan kuliahmu. Bahkan aku tidak keberatan untuk membiayai pendidikanmu,” lanjut Ditya lagi.
Kejutan kedua yang menghantam kakak beradik itu. Frolline sampai melotot, menatap tidak percaya dengan pria yang terlihat santai duduk disebelahnya. Ucapannya tanpa beban, tanpa memikirkan biaya yang harus dikeluarkan dari koceknya yang terbilang tidak sedikit.
“Aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan sebenarnya, tetapi aku tidak bisa terima seseorang mengacaukan apa yang aku dan Frolline rencanakan ke depannya,” tuduh Ditya.
“Dit!!” pekik Frolline tertahan, saat menyadari bisa saja mamanya terbangun dengan suara berisik dari mulutnya.
“Sssttt, Schatzi. Biarkan aku yang bicara. Kamu cukup diam saja,” ucap Ditya, menempelkan telunjuknya di bibir.
“Apa maksudmu?” tanya Angella, tersinggung.
Ditya tersenyum.
“Aku berharap semua ini tidak ada hubungan dengan keponakanku. Jangan katakan setelah peristiwa keguguranmu dan perceraian kalian, kamu ingin menyodorkan duda tidak berguna itu pada calon istriku,” tegas Ditya.
“Meskipun dia keponakanku, aku tidak bisa menilainya lebih baik dari itu.” Ditya berkata, menatap tajam pada gadis di sampingnya.
Angella terpancing emosi kali ini. Nafasnya naik turun saat mendengar tuduhan Ditya yang ditujukan padanya. Baru saja dia berdiri, hendak menyerang balik, tetapi suara sesuatu terjatuh di ujung tangga membuat ketiganya menoleh ke arah yang sama.
“Mamaaaaaaa!!!” teriak Frolline, segera menghambur ke arah mamanya yang sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri.
***
T b c
Terima kasih
Love you all
ngulang baca lagi