NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:462
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33 — Air Berdoa

Setelah kematian mengerikan Nyai Melati, yang segera diyakini penduduk desa sebagai ‘hukuman air’ karena menentang kehendak Pembawa Tenang, rasa hormat mereka terhadap Rendra berubah menjadi kepatuhan buta. Mereka tidak lagi meminta berkat; mereka memohon agar air tidak menghukum mereka.

Rendra kembali ke Balai Desa, membawa serta mayat Nyai Melati. Ia menatap Rani dan Dimas. Rani menangis histeris atas kematian Nyai Melati, sementara Dimas tetap diam, matanya memancarkan ketenangan yang aneh.

Rendra tahu, ia tidak bisa tinggal bersama mereka lagi. Kehadirannya kini adalah magnet bagi malapetaka.

Ia duduk di Balai Desa, dikelilingi oleh persembahan—buah-buahan, bunga, dan mangkuk-mangkuk air murni. Penduduk desa, didorong oleh ketakutan yang mendalam, mulai membangun altar di sekitar Sumur Tua. Mereka menggunakan batu-batu dari reruntuhan dan kayu yang lapuk, menciptakan sebuah monumen pemujaan yang suram.

Rendra mencoba menghentikan mereka. Ia berjalan ke Lapangan Desa.

“Hentikan! Ini bukan yang diinginkan Laras! Hentikan penyembahan ini!” teriak Rendra, suaranya mengandung gema air yang kuat.

Tetapi setiap kali Rendra berbicara, suaranya bergema di seluruh lapangan, dan air di sekitarnya mulai bergerak mengikuti kata-katanya. Mangkuk-mangkuk air di altar bergetar, dan riak air di Sumur Tua merespons.

Penduduk desa justru mengira ia sedang memberkati pekerjaan mereka. Mereka berlutut.

“Ya, Pembawa Tenang! Kami mengerti! Kami akan menghormati air!” teriak seorang tetua.

Rendra merasakan frustrasi yang luar biasa. Ia adalah dewa yang tidak diinginkan, dikunci dalam peran penebusan.

Malam itu, Rendra duduk di altar baru di tepi Sumur Tua. Ia merasakan ratusan arwah di sekitarnya, menuntut, haus, dan mencoba berbicara melalui dirinya.

Dimas mendekatinya. Anak itu kini tidak lagi terlihat seperti anak kecil yang trauma. Ia tampak dewasa sebelum waktunya, tenang, dan sangat dingin.

Dimas duduk di samping Rendra, menatap air sumur yang gelap.

“Kau nggak bisa menghentikannya, Kak,” bisik Dimas, suaranya datar. “Mereka perlu sesuatu untuk disembah, dan kau adalah yang paling jujur dari yang pernah mereka lihat.”

“Aku Pembawa Tenang. Aku harus membawa kedamaian, bukan penyembahan bodoh ini.”

Dimas menoleh ke Rendra. Dari sudut matanya, Rendra melihat sesuatu yang mengerikan: tetasan air bening keluar dari mata Dimas, bukan air mata, tetapi air murni.

“Aku sudah bilang, Kak,” Dimas mengulanginya dengan suara datar. “Kita semua sekarang bagian dari Yang Basah.”

“Aku adalah penjaga, Dimas. Aku yang terikat.”

“Bukan hanya kau,” kata Dimas, tetesan air bening mengalir di pipinya. “Aku adalah Saksi Hidup dari penebusanmu. Aku adalah anak yang nyaris dikorbankan, yang membawa darah yang bersih. Rani… dia adalah Wadah yang Dibebaskan dari Laras. Dan kau… kau adalah Pintu Air. Kita adalah trinitas kutukan baru ini.”

Dimas lalu mengungkapkan penglihatan yang ia dapatkan dari dunia bawah air.

“Laras telah beristirahat, Kak. Tapi dia meninggalkan kita hadiah. Dia meninggalkan kita pengetahuan. Dia meninggalkan kita… Air Berdoa.”

“Air Berdoa?”

Dimas menunjuk ke altar baru. Di sana, seorang penduduk desa yang berlutut, secara diam-diam menuang darah hewan (ayam yang baru disembelih) ke dalam mangkuk persembahan air.

“Lihat,” bisik Dimas. “Mereka percaya air itu haus. Mereka percaya, jika mereka memberi air darah, air akan memberi mereka kehidupan. Itu adalah Ritual Balasan yang baru. Kau adalah dewa yang menerima darah sebagai ganti air kehidupan.”

Rendra merasakan amarah yang dingin mengalirinya. Ia telah menukar kutukan lama dengan penyembahan darah baru.

“Aku harus menghancurkan altar ini! Aku harus mengeringkan sumur ini!”

Dimas menggeleng. Tetesan air murni terus mengalir dari matanya.

“Kau bukan lagi mereka, Kak,” bisik Dimas. “Kau sekarang adalah aku (Laras). Setiap kali kau marah, air akan bergerak. Dan jika kau menghancurkan altar ini, kau akan menghancurkan pengorbanan mereka, dan air akan marah, menenggelamkan mereka, karena kau menolak darah yang mereka berikan.”

Rendra terdiam. Ia menyadari dilemanya: ia adalah entitas yang membutuhkan kepatuhan untuk mengendalikan arwah-arwah yang haus, tetapi kepatuhan itu datang dengan ritual darah yang ia benci.

Ia melihat ke Sumur Tua, dan ia mendengar bisikan Laras di dalam dirinya.

“Tenangkan mereka, Pembawaku. Mereka patuh. Nikmatilah kekuatan ini. Jangan melawan airmu.”

Rendra menatap Dimas, yang kini tampak seperti anak kecil yang kehilangan dirinya dalam kengerian.

“Aku harus pergi, Dimas. Aku harus mencari cara untuk mengendalikan air ini di luar kendali mereka.”

Dimas mengangguk. Ia tidak memohon Rendra untuk tetap tinggal.

“Pergilah, Kak. Tapi ke mana pun kau pergi, air akan mengikutimu. Karena air adalah dirimu sekarang.”

Rendra berdiri. Ia berjalan menjauhi altar yang kini dipenuhi darah dan air.

Saat ia berjalan, ia melihat bayangan Nyai Melati samar-samar di tepi hutan. Bayangan itu menatapnya, tidak dengan amarah, tetapi dengan kesedihan yang tak terhingga.

Rendra tahu, ia telah gagal. Ia telah membawa kedamaian, tetapi harga kedamaian itu adalah jiwanya dan penyembahan baru yang akan segera menuntut korban manusia.

Ia meninggalkan desa itu, berjalan menuju kegelapan hutan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!