Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Keesokan paginya, Malika sudah terlihat jauh lebih baik. Setelah mendapatkan tidur nyenyak pertama dalam waktu yang lama, keceriaan mulai terpancar dari wajahnya, seolah sembuh dari mimpi buruk yang menghantuinya semalam.
Albert tersenyum lega melihat perubahan itu. Ia lalu mengajak Malika untuk menemui para pelayan lain yang sedang memiliki waktu luang.
“Malika, ayo, Paman kenalkan dengan teman-teman Paman di sini,” ajak Albert ramah.
“Mereka semua orang baik. Kau akan aman.”
Albert memperkenalkan Malika sebagai keponakannya yang baru datang dari desa. Para pelayan menyambut Malika dengan hangat dan antusias.
Mereka semua terpesona dengan keramahan dan kesopanan gadis itu.
“Wah, keponakan Paman Albert cantik sekali,” celetuk salah seorang pelayan wanita, Bibi Nina. “Pasti pintar juga, ya?”
Malika tersipu malu. “Terima kasih, Bi. Lika masih banyak belajar,” jawabnya rendah hati.
Setelah perkenalan yang menyenangkan itu, Albert menyampaikan niatnya untuk menyekolahkan Malika di salah satu kampus ternama di Milan.
“Bagaimana, apa kau mau?” tanya Albert.
Malika sontak terkejut mendengar rencana itu.
“Paman, maaf, bukannya Lika menolak,” ucap Malika dengan nada hati-hati. “Lika hanya tidak ingin membuat Paman repot. Apalagi kuliah itu pasti butuh biaya yang mahal.”
Albert tersenyum lembut. “Bicara apa, Lika? Paman senang bisa membantu kamu meraih cita-citamu. Soal biaya, jangan khawatir. Paman akan usahakan.”
“Bukankah Paman punya keluarga yang harus Paman biayai selain Lika?”
Albert menggeleng pelan. “Sayangnya, Paman tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, Lika. Istri dan anak Paman meninggal karena wabah saat anak Paman masih bayi,” ujarnya dengan nada sendu. Kenangan pahit itu kembali menghantuinya.
Melihat kesedihan di mata Albert, hati Malika terenyuh. Ia merasa iba dan kasihan dengan nasib paman yang baru dikenalnya itu. Tanpa ragu, Malika memeluk Albert erat.
“Maaf, Paman. Lika tidak bermaksud membuat Paman teringat kenangan pahit itu,” bisik Malika tulus.
“Tidak apa-apa, Lika. Paman senang kamu ada di sini. Kamu adalah keluarga Paman sekarang,” ucap Albert membalas pelukan Malika, merasa hangat dan nyaman.
Malika melepaskan pelukannya dan menatap Albert dengan mata berkaca-kaca.
“Lika juga sama, Paman. Lika tidak tahu siapa orang tua Lika. Paman Jhon bilang, mereka menemukan Lika di tempat pembuangan sampah saat masih bayi. Lika juga tidak pernah berharap bertemu keluarga Lika yang tega membuang Lika tanpa mencari keberadaan Lika sampai sekarang. Mereka semua jahat,” gumam Malika dalam hati, meski bibirnya tetap tersenyum di depan Albert.
Selesai berkenalan dengan para pelayan, Albert menemani Malika mempersiapkan segala keperluan untuk kuliahnya.
Mereka duduk berdua di meja belajar, dikelilingi buku-buku dan perlengkapan tulis baru.
“Paman bekerja untuk siapa?” tanya Malika tiba-tiba.
Albert menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Paman bekerja untuk Tuan Diego Frederick,” jawabnya singkat.
“Kenapa bertanya begitu? Apa kamu meragukan pekerjaan pamanmu ini, hm?” tanya Albert dengan nada khawatir.
Malika menggeleng cepat. “Bukan begitu, Paman. Lika hanya penasaran saja,” ujarnya sambil tersenyum manis. “Tuan Diego itu orangnya seperti apa?”
Albert tersenyum lega. Ia pikir Malika mengira pekerjaannya itu tidak baik.
“Tuan Diego itu orang yang sangat baik. Dia juga sangat dermawan dan tidak pernah memandang status siapapun. Dia memperlakukan kami seperti keluarganya sendiri,” jawab Albert. “Besok, Paman akan mengajakmu ke Mansion utama dan memperkenalkanmu pada pemilik rumah. Kau mau?”
“Bertemu pemilik rumah? Apa mereka mau menerima Lika?”
Albert tertawa pelan. “Tentu saja mereka mau, Lika. Mereka orang baik. Sayangnya, Tuan Diego dan istrinya sedang berada di luar kota dan baru akan kembali lusa. Tapi kamu bisa bertemu dengan tuan dan nona muda yang lain,” jelas Albert.
“Baik, Paman. Lika mau,” jawab Malika dengan semangat. Ia tersenyum lebar, membayangkan betapa bahagianya ia bisa bertemu dengan orang-orang baik yang telah memberikan kesempatan baginya untuk mengubah hidupnya.
“Semoga saja mereka menyukai Lika,” gumam Malika dalam hati, sambil memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya.
Gadis tidak tahu saja kalau tuan muda yang akan ia temui nanti, adalah pria yang ia tendang.
*
*
Pintu kamar Alexander di Mansion diketuk oleh seseorang. Leana Frederick, adik Alex, masuk dengan langkah tergesa-gesa dan membangunkan kakaknya itu.
“Alex, cepat bangun! Ayo antar aku ke kampus,” rengek Leana sembari menarik lengan sang kakak.
Mafia dingin itu tak menghiraukan ucapan adiknya dan malah tidur dengan posisi tengkurap. Ia berusaha keras mengusir memori panas dan rasa sakit dari tendangan semalam.
“Alex, kau dengar tidak?! Kalau kau masih tidak bangun, aku akan naik ke punggungmu!” ancam Leana.
Alex tetap tidak bangun, dan itu membuat Leana semakin kesal. Leana pun bersiap naik ke atas tempat tidur Alex.
“Berani kau naik ke punggungku, aku tarik semua fasilitasmu detik ini juga!” ancam Alex dengan mata masih terpejam. “Lalu panggil aku Kakak, Lea! Aku kakakmu, sopanlah sedikit!” imbuh Alex membuat Lea mencebik kesal.
“Iya, iya, Kakak Alex yang terhormat! Sekarang bangun!” Leana mengguncang-guncang tubuh kakaknya.
“Berisik! Aku masih mengantuk.”
“Ayolah, Kak. Aku sudah telat. Nanti aku dihukum dosen,” bujuk Leana dengan nada memelas.
Alexander membuka sebelah matanya. “Salah sendiri bangun kesiangan.”
“Itu karena semalam aku begadang mengerjakan tugas. Kakak, sekali ini saja, please,” pinta Leana dengan puppy eyes-nya.
Alex mendengus kesal. Adik perempuannya ini memang pandai sekali berbohong. Padahal, semalam Leana pergi ke klub malam bersama teman-temannya dan membuat Jimmy kewalahan mengurus keributan yang ia buat.
“Ck! Kenapa semua wanita selalu saja berbohong untuk menutupi kebohongan lain?” gerutu Alex dalam hatinya, teringat pada gadis yang mengaku bernama Lucy.
Dan anehnya saat ini, gadis itu menghilang bak ditelan bumi.
malika dan Leon cm korban😄🤣