Darah Di Tanah Hujan
Rendra sudah terbiasa dengan kebisuan. Sebagai fotografer dokumenter dan pemburu urban legend, kebisuan sering kali menjadi kanvas tempat dia bisa melukis cerita. Namun, kebisuan yang menyambutnya di perjalanan menuju Desa Waringin ini terasa berbeda. Bukan kebisuan karena damai, melainkan karena ketiadaan.
Sudah dua jam terakhir mobil jip sewaan yang dikendarainya, sebuah Suzuki Vitara tua yang bannya sudah dicap lumpur permanen, bergerak perlahan di atas jalan tanah liat. Jalan itu sendiri terasa seperti jejak ingatan yang hampir terhapus; berkelok, curam, dan sesekali ditutupi oleh dahan pohon yang tak terawat. Pohon-pohon pinus di sisi kanan dan kiri tumbuh terlalu rapat, saling memeluk di atas, menyaring cahaya matahari menjadi keremangan konstan.
Di luar, udara dingin menusuk tulang, membawa serta aroma tajam khas hutan pegunungan: daun basah, lumut, dan sesuatu yang pahit—seperti getah yang baru saja terluka. Namun, di balik aroma hutan itu, Rendra mulai mencium bau lain yang lebih aneh. Bau yang samar-samar, seperti… besi tua.
Ia menoleh ke sopir bus tua di sebelahnya, seorang pria dengan jaket laken lusuh dan topi yang menutupi separuh wajahnya, yang ia panggil Pak Jaya. Mata Pak Jaya tampak kosong, seolah tatapannya tidak benar-benar melihat jalan di depannya, melainkan menembus ke dimensi lain.
“Pak Jaya,” Rendra memecah keheningan, suaranya terdengar terlalu lantang. Ia meraih tas kameranya, meremas kamera analog tua milik ayahnya yang terbuat dari logam dingin. Itu adalah kebiasaan yang memberinya rasa aman. “Desa Waringin… ada di peta, kan? Kenapa saya tidak bisa menemukannya di GPS?”
Pak Jaya tidak menoleh. Ia hanya menaikkan bahunya yang kurus dan berlumut. “Peta tidak suka dengan Waringin, Nak. Atau… Waringin yang tidak suka dengan peta.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya, tempat itu punya caranya sendiri untuk menghilang. Kalau tidak ada yang mau kau cari di sana, kau tidak akan pernah menemukannya.” Pak Jaya menjeda, napasnya terdengar berat. “Kau bilang kau mencari adikmu, kan? Rani Adyatma. Gadis yang terlalu banyak membaca buku.”
Rendra mengangguk kaku. “Dia seorang mahasiswi antropologi. Dia datang ke sini sebulan lalu untuk penelitian, untuk meneliti budaya desa terisolasi. Pesan terakhirnya menyebutkan… hujan yang aneh.”
“Hujan memang aneh di sana.”
Saat Pak Jaya menyelesaikan kalimatnya, mereka melewati batas hutan pinus dan memasuki semacam gerbang alam—dua pohon beringin raksasa yang akarnya saling melilit, membentuk terowongan gelap. Tepat saat jip itu meluncur di bawah kanopi beringin, atmosfer berubah secara dramatis.
Hujan turun.
Itu bukan hujan biasa. Bukan rintik atau bahkan badai yang berangin. Itu adalah tirai air yang tebal, padat, dan turun lurus tanpa jeda, seolah langit tumpah. Airnya bukan bening, tapi memiliki rona yang sangat samar, nyaris tak terlihat… seperti kaca buram yang dicuci dengan karat.
Rendra harus menyipitkan mata. Ia mengamati butiran air yang mendarat di kaca depan, yang langsung diusap cepat oleh wiper yang berdecit lelah.
“Hujan ini…” Rendra bergumam, mencium udara yang langsung menyergap masuk melalui celah pintu.
Bau besi tua yang samar kini menjadi bau yang dominan dan tajam. Bau yang membuat perutnya mual, familiar, namun tak ingin ia akui. Itu bukan lagi bau besi tua di udara lembab.
Itu bau darah.
“Jangan dipikirkan,” kata Pak Jaya, nadanya berubah lebih serius, lebih dalam. “Anggap saja bau tanah yang terlalu subur. Sudah tiga puluh tahun, hujan di atas Waringin tidak pernah berhenti. Bahkan, saat musim kemarau terpanjang di Jawa. Waringin tetap basah.”
Rendra mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi sensorik, kelelahan setelah perjalanan panjang. Namun, saat sebuah petir menyambar di kejauhan, menerangi jalanan di depan selama sepersekian detik, ia melihatnya.
Di bawah cahaya kilat yang singkat itu, di kaca mobil, butiran air hujan yang baru saja turun terlihat... merah muda pucat. Seperti darah encer.
Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia menoleh ke Pak Jaya, yang kini memegang kemudi dengan cengkeraman putih di buku-buku jarinya.
“Pak Jaya… airnya. Kenapa warnanya—”
“Di sini, setiap tetes punya cerita, Nak.” Suara sopir itu parau. “Kadang… baunya seperti daging busuk.”
Jip itu melambat, rodanya mencengkeram lumpur dengan bunyi hisapan yang menjijikkan. Mereka berhenti di depan gapura kayu yang reyot, berlumut, dan nyaris roboh. Tidak ada ukiran atau nama di sana. Hanya kehampaan. Di balik gapura itu, terhampar Desa Waringin.
Desa itu sunyi. Rumah-rumah kayu kelapa dan anyaman bambu berjejer, tampak rapuh dan sakit-sakitan. Dindingnya semua berwarna hijau gelap karena jamur dan lumut. Suara yang mendominasi adalah simfoni air: gemericik dari atap yang bocor, tetesan air dari talang yang tak berfungsi, dan deru pelan sungai yang mengalir di kejauhan. Desa ini tenggelam dalam kelembaban.
Tak ada orang di jalan. Tak ada suara tawa, obrolan, atau bahkan lolongan anjing. Hanya air, dan keheningan yang dingin.
“Saya sampai sini saja, Nak.” Pak Jaya mematikan mesin. Suara mesin yang mati terasa seperti organ tubuh yang berhenti bekerja. “Saya tunggu di sini. Dua hari. Kalau sudah selesai, datang lagi sebelum jam enam pagi. Setelah itu… tidak ada yang akan berani menemanimu pulang.”
Rendra membuka pintu mobil. Udara dingin yang membawa bau besi itu langsung menghantamnya. Ia menghela napas, rasa mual kembali menyeruak. Di sepatunya yang tebal, lumpur Waringin terasa lengket dan dingin, seolah tanah itu memang memiliki cengkeraman.
Ia mengeluarkan kamera ayahnya dari tas, menggantungnya di leher. Logam dingin kamera itu memberinya fokus. Ia adalah seorang skeptis yang mencari bukti, bukan seorang yang percaya yang mencari mukjizat.
“Terima kasih, Pak Jaya,” katanya, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.
Sopir itu mengambil uang itu tanpa melihat, matanya tetap terpaku pada jendela jip. Ia menurunkan kacanya sedikit.
“Saya ulangi, Nak Rendra.” Pak Jaya akhirnya menoleh, dan Rendra melihat kekosongan yang nyata di mata pria tua itu—seperti sumur yang sangat dalam. “Di sini, semua yang datang… jarang pulang.”
Rendra hanya mengangguk, memaksakan senyum yang gagal. Ia mulai melangkah, menapaki jalanan tanah yang becek, menuju jantung Desa Waringin yang tampak sakit. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap tetes hujan di atasnya menekan bahunya.
Ia berjalan di antara rumah-rumah yang semuanya gelap, tirai jendelanya tertutup rapat. Ini bukan ketenangan. Ini adalah penyangkalan. Orang-orang di sini tidak hidup; mereka sedang bersembunyi.
Tepat saat Rendra berbelok di tikungan, ia melihatnya. Sosok pertama.
Seorang laki-laki kurus, mungkin berusia sekitar 19 tahun, duduk di teras sebuah rumah kayu, bermain dengan dua batu kecil. Wajahnya polos, tetapi tatapannya—saat ia mengangkat kepala dan menatap Rendra—terlalu tua untuk usianya. Mata itu membawa kesedihan yang tak terkatakan, seperti telah menyaksikan hal-hal yang tidak seharusnya dilihat.
Rendra mendekat, berusaha bersikap ramah. “Halo, Dik. Kamu tahu rumah Kepala Desa, Pak Darmo?”
Anak itu, yang ternyata adalah Dimas, tidak menjawab. Ia hanya terus memutar dua batu di telapak tangannya. Ia menunjuk ke arah Rendra, bukan dengan jari, tapi dengan dagunya.
“Bau kamu… seperti orang luar,” katanya lirih, suaranya hampir hilang ditelan deru hujan. “Banyak yang mencarimu.”
“Aku mencari adikku. Namanya Rani.”
Dimas tidak bergeming. Ia melihat ke arah hujan yang turun di jalanan becek, matanya menyipit, seolah sedang membaca sebuah pesan di dalamnya.
“Bukan Yang Basah yang jahat,” bisik Dimas, kata-katanya penuh kepastian yang mengganggu.
“Lalu?” tanya Rendra, mencondongkan tubuhnya, ingin menangkap setiap bisikan dari anak itu.
Dimas mengalihkan pandangannya dari hujan ke wajah Rendra, tatapannya dingin dan tajam.
“Kalau hujannya merah,” kata Dimas, dengan jeda yang dramatis, "jangan keluar, Kak.”
Rendra berdiri di sana, terdiam. Bau besi dari air hujan terasa semakin kuat di rongga hidungnya, menempel seperti memori yang kotor.
Hujan merah.
Ia menelan ludah, melihat kembali ke arah Dimas yang kini kembali asyik dengan batu-batunya, seolah Rendra tidak pernah ada. Rendra tahu, dari langkah pertamanya di desa ini, ia tidak hanya mencari adiknya yang hilang, tapi juga mencari inti dari teror yang tidak bisa ia jelaskan dengan kamera analognya. Ia telah memasuki neraka kecil yang terapung di atas genangan air mata dan darah yang tidak pernah mengering.
Ia melanjutkan langkahnya, menuju rumah Kepala Desa, dengan pertanyaan yang tak terucap menggantung di udara lembab: Bagaimana jika hujan merah itu sudah turun, dan aku hanya terlalu bodoh untuk melihatnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments