"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menginginkanmu
Suara kunci diputar terdengar pelan, menyusul langkah kaki Rada dan Indira yang baru saja tiba usai insiden di taman tadi. Tak ada suara di antara mereka sepanjang perjalanan pulang. Keduanya seolah sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Keheningan itu menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan pergi.
Indira segera menuju dapur untuk mencari kotak P3K di lemari kecil. Tangannya sempat bergetar saat membuka laci, sisa emosi tadi masih berbekas. Sementara Rada langsung duduk di sofa panjang ruang tengah. Ia bersandar pelan, menghela napas panjang seakan ingin mengeluarkan semua sisa amarah dan kelelahan yang mengendap di dadanya. Rasanya seperti baru saja keluar dari medan perang.
"Buka bajunya," ucap Indira begitu kembali dengan kotak obat di tangan. Suaranya tenang, tapi mata wanita itu masih memerah.
Seketika Rada mengangkat alisnya tinggi. "Serius? Di sini?"
"Ck! Apaan, sih! Aku cuma mau liat ada luka apa enggak di badan kamu, Rada. Gak usah geer, deh!" ketus Indira, sudah kembali ke mode biasa.
Anehnya, Rada malah senang sang istri bersikap seperti itu. Ia terkekeh, kemudian melepas kaos dari tubuhnya dengan senang hati.
Sementara kini malah tubuh Indira yang panas dingin melihat dada bidang sang suami. Wanita itu jadi menelan ludahnya sendiri.
"Dira?" panggil Rada. Namun, tak ada respon dari istrinya.
"Sayang?" Kali ini Rada mengguncang lengan wanita itu pelan hingga tersadar.
Buru-buru Indira menormalkan ekspresi sembari menahan debaran di dada yang makin menggila.
"Ekhem!" Ia berdeham sejenak, lalu segera memeriksa tubuh sang suami, takut ada yang terluka.
"Syukurlah gak ada yang luka," gumam wanita itu yang masih sampai ke telinga Rada.
Rada hanya tersenyum. Meskipun Indira tak menyebutkan secara gamblang, tapi apa yang dilakukan wanita itu sudah bisa diartikan lebih dari sebuah perhatian.
"Si Adnan cuma tonjok mukaku, Sayang. Gak sampai ke badan."
"Tapi perut kamu sempet kena tendang, kan? Takutnya ada yang memar. Syukurnya gak ada."
Senyum Rada makin mengembang mendengar hal itu. Ia biarkan saja kini Indira menelisik setiap jengkal wajahnya sembari diusap perlahan menggunakan kapas. Namun, saat wanita itu menambah alkohol ke permukaan kapas dan mengenai lukanya, ia tak kuasa untuk tidak meringis pelan.
"Aws ...."
"Duh ... sakit, ya? Aku gak sengaja. Maaf." Indira jadi ikut meringis melihat sang suami kesakitan. Ia bahkan sampai menghentikan gerakan tangannya sebentar.
Rada mengukir senyum. Hanya sebentar karena setelah itu di kepalanya terlintas sesuatu.
Hm, bukankah ini bisa menjadi kesempatannya untuk bermanja pada Indira? Maka dari itu, Rada harus berpura-pura. Ia segera menutup mata sambil berteriak, "Akh! Aduh, sakit banget, Sayang. Ini perih banget. Sialan emang si Adnan!"
"Ya ampun ...."
Seketika Indira panik. Ia menundukkan wajahnya, lalu meniup lembut permukaan kulit wajah Rada. Terutama sudut bibir pria itu yang terluka paling parah.
Sungguh embusan napas itu membuat hati Rada berbunga-bunga.
"Masih sakit gak?"
"Sakit banget, Sayang. Aws ...."
Uh, Rada sangat merasa bangga atas kemampuan aktingnya. Indira sampai benar-benar percaya dan makin menunduk agar embusan napasnya kian dekat pada permukaan kulit yang luka.
Akan tetapi, hanya begini saja jelas tak cukup bagi Rada. Pria itu membuka mata yang langsung berselobok dengan mata Indira.
Tatapan keduanya terkunci cukup lama. Hingga Rada benar-benar tak bisa menahan lagi saat gejolak di dalam sana membuat tubuhnya terasa panas. Tanpa aba-aba, ia menarik lembut tengkuk Indira dan memberi kecupan lembut pada bibir wanita itu. Cukup lama.
"Aku menginginkanmu, Sayang ...."
***
Rada dan Indira terengah di bawah selimut yang sama. Keringat yang masih bercucuran di pelipis menjadi saksi bahwa keduanya baru saja melewati sesuatu mendebarkan sekaligus menyenangkan. Baik Indira atau pun Rada sama-sama tak bisa menahan gejolak yang hadir di tubuh masing-masing. Mereka pasrah melebur dalam kenikmatan dunia yang bernilai ibadah.
Sudah 10 menit kejadian itu selesai, tapi Indira masih terdiam. Ia menyamping menghadap Rada. Tatapannya lurus ke mata pria itu, seolah tengah meresapi sesuatu. Benaknya penuh oleh pertanyaan yang tak mudah dijawab.
Tangan Rada terangkat, menyelipkan helai rambut Indira yang menutupi sebagian pipi dan pelipis ke belakang telinga.
"Makasih, Sayang," bisiknya pelan, sangat penuh perasaan.
Indira tidak menjawab. Sorot matanya masih mengambang. Sejujurnya, ia sendiri tengah bingung dengan semua rasa yang berkecamuk di dadanya.
Kenapa tadi ia tidak menolak? Padahal saat pertama mereka melakukannya di malam pernikahan, Indira-lah yang memulai. Itu pun karena merasa terpaksa. Saat itu, ia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak kalah berani dari Dita. Namun sekarang, saat semua terjadi atas dasar dorongan yang alami, Indira justru membiarkannya mengalir. Bahkan ... turut menikmati.
Apakah kini hatinya sudah kembali menyimpan rasa cinta untuk Rada?
Melihat sang istri yang tak merespon, Rada tersenyum kecil. Ia membawa wajah kian dekat dengan wajah cantik itu. Kemudian tanpa aba-aba, bibirnya menyentuh sudut bibir Indira untuk mencuri ciuman kecil.
Akan tetapi ....
"Aws!" Rada langsung meringis. Ia lupa jika sudut bibirnya masih terluka. Bahkan mungkin makin terluka karena tadi terlalu terlena oleh kenikmatan bibir Indira.
Seketika Indira tersadar. Ia menatap sang suami heran. "Kenapa?" tanyanya.
"Perih ...." Rada mengeluh dengan gaya paling manja versinya.
Bukannya merasa iba, Indira malah tertawa hingga suaranya memenuhi kamar. Membuat Rada berdecak kesal.
"Makanya jangan macem-macem! Udah tahu bibirnya lagi luka, juga!" omelnya ringan.
Sekali lagi Rada berdecak. Namun, bibirnya mengukir seringaian misterius. Tanpa peringatan, ia langsung menyambar pinggang Indira dan mulai menggelitiki tanpa ampun.
"Kyaaa! Rada! Jangan! Ampun! Ampuuuun!" Wanita itu terus menjerit sambil tertawa keras. Tubuhnya menggeliat di atas kasur, mencoba menghindari serangan tangan jahil Rada yang makin menjadi dan tak bisa dihindari.
Akan tetapi, Rada tak peduli. Semakin Indira meminta ampun, semakin ia menikmati menggoda wanita itu.
"Rada, ampun! Udaaah!"
Rada tetap tak mendengarkan. Ia masih menggelitiki pinggang sang istri hingga kini tubuhnya pun ikut berubah posisi. Sayang, hal itu malah membuat selimut yang menutupi tubuhnya pun tersibak. Menyisakan pemandangan tubuh polos yang tak bisa terhindar dari mata wanita yang kini berada di bawah kungkungannya.
"Aaaaaa!" Indira berteriak nyaring dengan wajah merah padam. Spontan ia menutup mata dengan kedua tangan sambil membalikkan badan jadi memunggungi sang suami.
"Jangan deket-deket! Geli ...," pekik wanita itu yang malah membuat Rada tertawa puas.
Pria itu sengaja merapatkan tubuh polosnya dengan punggung mulus Indira. Kemudian, mendekatkan wajah ke leher wanita itu sambil berbisik dengan suara menggoda.
"Ck! Gak usah pura-pura, Sayang. Bukannya tadi kamu udah lihat? Kamu elusin malah."
"Radaaa!"
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'