Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Menjadi Kekasih Pria Populer
"Sedikit lagi, dan... sempurna.", gumam Nina yang sedang berdiri di depan cermin di sudut kamar asrama kami—tampak fokus merapikan eyelinernya yang bagiku sudah terlihat sempurna sejak tadi.
Sementara aku duduk di ujung tempat tidur—sudah siap dengan dress casual polos berwarna biru muda dan jaket denim yang menempel di tubuhku. Tidak lupa sepasang sepatu sneakers yang nyaman sudah terpasang sempurna di kedua kakiku.
"Ayo!", ajak Nina, setelah selesai dengan ritual berpakaian dan berdandannya.
Kami melangkahkan kaki melewati lorong asrama yang mulai ramai, dipenuhi para mahasiswa yang juga sedang bersiap untuk memulai kelas mereka. Kelas pertama kami hari ini akan berlangsung mulai pukul setengah sembilan pagi. Dan saat ini waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi–kami memang sengaja berangkat lebih awal agar bisa mampir membeli kopi dan bersantai di taman dekat fakultas sambil mengobrol.
Begitu kami keluar asrama, aku langsung melihat sosok yang tak asing, sedang berdiri di dekat mobil sedannya–Nick. Dengan kemeja biru yang lengannya digulung setengah dan celana jeans gelap, ia tampak begitu mempesona.
"Bukankah itu Nick?", tanya Nina.
Di tengah keterkejutanku karena tiba-tiba saja Nick muncul di depan asrama, tanpa memberitahuku sebelumnya, aku menjawab pertanyaan Nina. "Sepertinya begitu."
"Kamu tidak bilang kalau Nick akan menjemputmu?", tanyanya heran.
Aku pun sama herannya dengan Nina. "Kami tidak membuat janji apapun dengan Nick pagi ini, Nina. Aku bahkan tidak menyangka melihatnya disini."
"Kalau begitu pergilah dengannya, Nora!", seru Nina setengah berbisik.
"Tapi, kita sudah berencana untuk membeli kopi bersama.", kataku, merasa sedikit tidak enak pada Nina.
"Hei! Jangan mengkhawatirkan itu, Nora. Aku masih bisa melakukannya...dengan James.", jawab Nina sambil tersenyum menggoda.
"Hmm, baiklah.", jawabku, ikut tersenyum.
"Hai! Hai, Nina!", sapa Nick begitu kami tiba di hadapannya.
"Hai!", balasku, tak kuasa menahan senyum.
"Hai, Nick!", balas Nina.
"Ehm. Boleh kupinjam temanmu yang cantik itu, Nina?", tanya Nick, setengah merayu. Sontak membuatku terkejut. Tidak menyangka ia akan merayuku di depan Nina seperti itu.
Nina pun tertawa lebar. "Dengan senang hati, Nick. Selama kamu mengembalikannya dalam keadaan utuh.", guraunya.
Aku mendengus pelan. "Hei! Memangnya aku barang?", protesku.
Nick hanya terkekeh sambil membukakan pintu mobil. "Sudah sarapan?", tanyanya, saat kami sudah duduk di dalam mobil.
"Ehm, belum."
"Bagus. Kita akan membeli sarapan di kantin kampus. Kamu pasti belum pernah mencoba Eggs Benny mereka.", kata Nick, dan aku pun refleks menggelengkan kepala.
"Baiklah, Ayo! Aku tidak pernah meragukan rekomendasimu soal makanan di kantin kampus, Nick.", kataku, membuat Nick tertawa.
Begitu tiba di tempat parkir dekat kantin, aku mulai merasa aneh. Mungkin karena hampir semua mahasiswi yang berlalu lalang atau berada di sekitar kami menatap dan melirik ke arah kami. Beberapa bahkan tampak membisikkan sesuatu pada temannya, sambil melirik lagi.
Aku mencoba melangkahkan kaki lebih cepat, tapi Nick malah berjalan santai di sampingku. Ia mencondongkan badan sedikit, berbisik ke telingaku. "Abaikan saja! Sepertinya mereka hanya penasaran."
Penasaran? Dengan apa? Oh, mungkin dengan fakta bahwa Nick—seorang pria populer di kampus—sedang berjalan berdua dengan seoarang mahasiswi yang sangat tidak populer sepertiku.
Setelah memesan menu sarapan, kami bergegas membawa nampan berisi makanan, menuju meja di sudut—agak jauh dari keramaian. Aku sengaja memilihnya, agar kami, terutama diriku, bisa menikmati sarapan dengan tenang dan nyaman. Namun, baru saja aku menyeruput jus jeruk, tiba-tiba seorang mahasiswi muncul entah dari mana, dan langsung duduk di kursi sebelah Nick.
"Hai, Nick!", sapanya ceria, tanpa sekalipun melirik ke arahku. "Nanti sore kamu datang kan?"
Nick meletakkan garpunya, lalu tersenyum ramah. "Ya. Aku pasti datang. Jangan khawatir!", katanya.
Mahasiswi itu tersenyum lebar. "Baiklah. Pukul lima sore, di tempat biasa. Jangan lupa!"
"Baiklah, Alice."
Aku berpura-pura fokus pada makananku, sepanjang Nick dan mahasiswi yang ternyata bernama Alice itu mengobrol. Padahal telinga dan hatiku rasanya panas mendengar kedekatan mereka. Apalagi melihat sikap Alice yang secara terang-terangan tidak menganggapku ada, juga senyumannya yang sepertinya berusaha menggoda Nick. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Yang jelas, mahasiswi bernama Alice itu ingin memastikan kedatangan Nick nanti sore. Entah apa yang akan mereka lakukan...pukul lima sore di tempat biasa? Nick tidak bercerita apapun tentang itu padaku.
Setelah kepergian Alice, aku menjadi lebih diam. Bukan hanya karena kesal melihat Alice mengabaikanku, tapi juga kesal melihat sikap Nick yang sangat ramah padanya. Bahkan, Nick tidak memperkenalkanku pada Alice sebagai kekasihnya. Entah karena ia lupa, atau karena alasan lainnya.
"Kamu kenapa, Nora?", tanya Nick pada akhirnyaő—sepertinya ia menyadari perubahan sikapku yang mendadak ini. Harusnya ia juga sadar apa yang mungkin menjadi alasanku seperti ini. Tapi, sepertinya Nick tidak terlalu peka.
"Tidak apa-apa.", jawabku singkat, dengan ekspresi datar.
"Kamu sedang tidak enak badan?"
"Tidak. Sebaiknya kita segera habiskan sarapannya. Aku harus kembali ke kelas.", kataku.
Setelah menghabiskan sarapan kami, Nick mengantarku ke depan gedung, dimana kelas pertama akan dimulai dalam sepuluh atau lima belas menit lagi. "Nanti saat jam makan siang, aku akan menjemputmu lagi.", katanya.
Aku cuma menggumam, "Hmm.", lalu melangkah pergi. Rasanya sulit sekali berpura-pura tetap ceria dan tidak terjadi apa-apa, disaat hati terasa panas, kesal dan sesak seperti ini.
"Ada apa, Nora? Bukannya kamu baru saja menghabiskan waktu berdua dengan Nick? Kenapa muram begitu?", tanya Nina. Mengamati wajahku yang tampak tidak senang, saat kami ada di dalam ruang kelas yang masih cukup kosong, karena masih banyak mahasiswa yang belum datang, termasuk dosen kelas pagi ini.
"Hmm, ya. Nick mengajakku menikmati sarapan berdua di kantin kampus. Hampir semua mahasiswi disana memperhatikan kami."
"Tentu saja, Nora. Nick adalah salah satu pria populer di kampus ini. Jelas saja mereka memperhatikan kedekatan kalian. Lalu apa masalahnya, Nora?", tanya Nina lagi, masih tidak mengerti tentang apa yang membuatku merasa tidak senang.
"Ada seorang mahasiswi mendatangi kami, lebih tepatnya Nick. Ternyata mereka satu jurusan dan... kelihatannya cukup dekat. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang jelas mahasiswi itu menyinggung soal Nick yang akan datang nanti sore."
"Aku yakin, Nick dan perempuan itu hanya berteman, Nora. Nick bukan tipe pria yang suka mendekati banyak wanita."
"Ya, mungkin. Tapi, rasanya kesal saja, Nina!"
"Apa yang mengganggu pikiranmu, Nora?"
"Mahasiswi itu sejak awal tidak menganggapku ada. Dia hanya fokus berbicara pada Nick. Dan, Nick sama sekali tidak memperkenalkanku padanya. Mungkin Nick belum siap dengan hubungan ini."
"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"
Aku menatap Nina sejenak, sambil berpikir. Lalu, mengangkat kedua bahuku. "Entahlah, Nina. Mungkin sikapnya."
Nina menatapku dengan tatapan serius, lalu memegang kedua tanganku. "Nora, dengarkan aku! Sepertinya Nick bersikap seperti itu karena ia merasa tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain tentang hubungan kalian. Jika kamu berpikir Nick tidak siap membawa hubungan kalian di depan publik, kurasa itu salah besar. Karena, Nick sudah mengajakmu makan berdua di kantin kampus. Nora, dia tidak pernah melakukan hal semacam itu dengan perempuan lain selama ini. Dia tidak pernah menunjukkan kedekatan seperti itu dengan perempuan manapun."
"Benarkah?"
"Tentu saja, Nora. Itulah sebabnya banyak mahasiswi yang memperhatikanmu saat bersama Nick. Karena, itu adalah pemandangan yang tidak pernah mereka temui sebelumnya."
Aku terdiam—memikirkan semua ucapan Nina tentang Nick. Mungkin saja memang begitu adanya. Sebab, apa yang Nina katakan, semua terasa masuk akal, dan mungkin memang benar.
"Anggap saja ini ujian menjadi kekasih pria populer di kampus ini.", bisik Nina, sambil tersenyum menggoda.
Seperti janjinya, saat jam istirahat tiba, kulihat Nick sudah menungguku di depan gedung perkuliahan fakultas bisnis. Ia duduk di sebuah bangku kayu—sedang memainkan ponselnya sambil menungguku keluar. Begitu aku semakin mendekat dan ia menyadari kedatanganku, Nick sontak bangkit dari posisi duduknya, lalu tersenyum hangat menyambutku.
"Kamu masih marah?", tanyanya, tiba-tiba.
Aku mengalihkan pandanganku darinya. Tidak berani menatap kedua mata Nick yang memaksaku untuk berkata jujur. "Aku tidak marah.", dustaku.
Nick tertawa kecil. "Sayangnya, kamu tidak pandai berbohong, Nora. Ehm, aku minta maaf soal tadi pagi saat di kantin. Kamu pasti kesal karena Alice tiba-tiba mendatangiku. Nora, kami hanya teman satu jurusan. Dan, kebetulan dia adalah panitia untuk acara anak hukum nanti sore. Seharusnya aku memperkenalkanmu padanya tadi.", jelas Nick.
"Tidak perlu kalau memang kamu belum siap.", sahutku.
"Belum siap soal apa, Nora?", tanya Nick tidak mengerti dengan maksud ucapanku.
Aku memberanikan diri untuk menatap kedua mata Nick, lagi. Mencoba memberikan ketegasan dalam setiap kalimat yang kuucapkan. "Hubungan kita.", jawabku singkat.
Nick menggelengkan kepala. Sepertinya ia tidak setuju dengan ucapanku. Ia mendekat satu langkah, lalu tanpa ragu meraih tanganku. "Itu sama sekali tidak benar, Nora. Baiklah, aku minta maaf karena sikapku tadi pagi. Kalau begitu, mulai sekarang kita harus membiarkan semua orang tahu."
Sebelum aku sempat bertanya tentang apa maksud dari ucapannya, Nick menarikku sedikit lebih dekat, memelukku singkat, lalu mendaratkan kecupan hangat di atas keningku–tepat di depan beberapa mahasiswi yang sedang memperhatikan kami.
Aku bisa mendengar suara bisik-bisik di sekitar. Ada yang memandang dengan mata terbelalak, ada yang tersenyum, ada yang langsung berpura-pura sibuk dan mengalihkan pandangannya.
Nick menatapku lagi. "Masih marah?", tanyanya.
Aku menahan senyum. "Bagaimana bisa?"
"Jangan marah lagi, Nora. Aku tidak sanggup melihatnya.", kata Nick, sambil membelai pipiku. Membuat debaran di hatiku semakin terasa.
Rasanya aneh, pagi tadi aku merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian saat bersama Nick. Tapi, sekarang aku justru merasa...bangga. Bukan karena ingin memamerkan hubungan kami, melainkan karena Nick jelas-jelas tidak malu menunjukkan bahwa aku miliknya.
Dan aku tahu, itu jauh lebih berharga dari sekedar kata-kata.