Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Nisa kaget bukan main saat mendengar pintu kamar perawatan Berliana berderit. Seorang masuk begitu saja tanpa ia sadari. Seketika wajahnya pucat, dadanya berdegup keras.
Ya Allah, semoga Bella nggak dengar pembicaraan aku sama Dea barusan. Jangan sampai keteledoran aku jadi masalah besar buat Mas Azhar, batinnya panik.
Bella mendekat, sorot matanya penuh curiga. “Mbak Nisa kok diam aja? Wajahnya pucat banget. Mbak sakit atau ada sesuatu yang lagi Mbak pikirin?” tanyanya lembut.
Nisa menelan ludah, berusaha menutupi kegugupannya. “Oh nggak kok, Mbak baik-baik aja. Cuma tadi mau cas HP tapi ternyata lupa bawa chargernya,” kilahnya dengan senyum dipaksakan.
Bella menarik napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Eh, gimana kondisi Berliana sekarang, Mbak? Masih sering ngeluh sakit?” ucapnya sambil memeriksa pelipis keponakannya.
“Alhamdulillah kata dokter besok sudah bisa pulang, soalnya masih ada beberapa obat yang harus selesai dulu,” jawab Nisa sedikit lebih tenang.
“Alhamdulillah, baguslah. Kalau gitu aku balik dulu ke ruanganku ya, pasien lain masih banyak yang nungguin,” katanya Bella sambil tersenyum sebelum beranjak pergi.
Nisa akhirnya bisa bernapas lega. Untung Bella nggak kepo lebih jauh, kalau nggak rahasia aku bisa ketahuan.
Keesokan harinya, dokter resmi mengizinkan Berliana pulang. Nisa ikut menemani, sedangkan Dian ikut Azhar, duduk manis di kursi depan sambil sibuk main ponsel. Berliana sejak awal merengek ingin dipangku Nisa, dan Azhar mengizinkan.
Azhar diam saja sepanjang perjalanan, tangannya fokus ke setir tapi pikirannya entah ke mana. Sesekali ia melirik Dian yang sama sekali tak peduli pada anaknya yang baru sembuh.
Ya Allah, kenapa makin hari aku merasa hidupku sama Dian kayak orang asing? Apa aku salah pilih dari awal? batinnya getir.
Nisa yang duduk di samping ikut memperhatikan raut wajah suaminya. Mas Azhar pasti kecewa banget. Dari tatapan matanya aku bisa lihat betapa dalam luka hatinya, lirihnya dalam hati.
Mobil akhirnya masuk ke garasi. Dian buru-buru turun, bahkan lebih duluan masuk ke rumah tanpa menoleh ke arah anaknya. Ia hanya sempat menunjuk sebuah pintu di lantai dasar.
“Nisa, itu kamarmu di dekat tangga. Nanti kalau ada perlu langsung saja ke situ,” ucapnya singkat lalu menambahkan, “Aku harus balik ke kantor, nggak enak ninggalin kerjaan lama-lama.” Tanpa menunggu jawaban, Dian segera berlalu.
Bu Nurul hanya bisa tersenyum getir. Ia mengusap lengan putra sulungnya dengan lembut. “Nak, Mama ngerti apa yang kamu rasain. Tapi tolong sabar ya, jangan ambil keputusan pas lagi emosi.”
Bella langsung menyambar dengan nada kesal. “Ma, jujur aku nggak habis pikir. Sampai kapan Abang harus sabar? Mbak Dian kelewat batas, masa pulang bareng dari rumah sakit aja nggak peduli sama anak sendiri.”
Hafsah ikut menimpali. “Bang, maaf kalau aku lancang. Tapi aku juga sependapat sama Bella. Sikapnya Mbak Dian nggak bisa dibiarkan. Harus ada yang mengingatkan dia biar sadar.”
Bu Nurul menunduk, suaranya bergetar. “Mama nggak sanggup nak. Mama nggak mau kalian berpisah. Mama cuma bisa berdoa semoga Dian dapat hidayah, berubah jadi istri yang baik.”
Azhar akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, matanya merah menahan emosi. “Ma, kalau aja Mama nggak larang, aku udah lama urus cerai. Aku nggak sanggup terus-terusan kayak gini.”
Ruangan seketika hening. Bella dan Hafsah saling pandang, terkejut mendengar Azhar akhirnya jujur soal hatinya. Nisa yang berdiri dekat tangga ikut terdiam, wajahnya sendu.
Azhar naik ke kamar dengan langkah berat. Tatapannya sempat jatuh pada Nisa, sorot matanya tajam penuh perasaan yang sulit ia sembunyikan. Nisa hanya bisa menunduk, menahan debar yang tiba-tiba muncul di dadanya.
Beberapa menit kemudian Azhar turun lagi, sudah berganti pakaian. Ia langsung menghampiri anaknya, memangku Bilqis, berusaha menenangkan hatinya yang bergemuruh.
“Maaf ya tadi agak lama,” ucapnya sambil mengelus kepala putrinya.
Bu Nurul menghela napas panjang. “Nak, Mama mohon jangan gegabah. Jangan biarin amarah menguasai pikiranmu.”
Azhar menatap ibunya penuh hormat. “Santai aja Ma, aku udah terbiasa. Tapi kalau nanti aku udah nggak kuat, mungkin aku bakal nekat, meskipun Mama nggak ridho.”
Bella mencelos. “Abang, itu keputusan yang paling benar. Nikah itu niatnya bahagia, bukan tersiksa.”
Hafsah menimpali. “Iya Bang, nggak semua perceraian itu dosa. Kadang itu jalan terbaik kalau istri nggak jalani kewajibannya.”
Bu Nurul terdiam, hatinya remuk tapi tak sanggup membantah. Ia takut cucu-cucunya terluka.
Tak lama, Nisa datang membawa nampan berisi pisang goreng hangat dan minuman dingin. Aroma harum langsung memenuhi ruang tamu.
“Silakan dicicipi, maaf cuma seadanya,” ucapnya sambil tersenyum.
Bella langsung berseri-seri. “Masya Allah, Mbak Nisa. Kalau istrinya Abang kayak Mbak, pasti pernikahannya bahagia dunia akhirat.”
Azhar tersenyum tipis, untuk pertama kalinya sejak tadi wajahnya terlihat sedikit lega.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Nak. Kamu udah capek-capek bersih-bersih, masih sempat bikin cemilan,” imbuh Bu Nurul.
Hafsah ikut mengangguk. “Iya Mbak, makasih banyak. Jujur aja aku kagum, Mbak selalu sabar dan nggak pernah ngeluh.”
Nisa menunduk rendah hati. “Nggak apa-apa, selama aku bisa bantu aku ikhlas.”
Bella nyengir. “Mbak, besok aku request jalangkote sama bolu rempah ya.”
Azhar terkekeh. “Kamu dikasih hati minta nyawa, Bel.”
Canda itu bikin suasana jadi lebih hangat. Tapi Bu Nurul sempat mencuri pandang, ia sadar betul tatapan putranya ke arah Nisa berbeda. Dalam hatinya ia berdoa lirih, Ya Allah, jangan biarkan anakku tergelincir. Lindungi rumah tangganya.
Kakak beradik itu lalu berpamitan. Hafsah disambut pelukan hangat suaminya, Akbar, yang baru datang menjemput. Bella tersenyum melihat kebahagiaan mereka.
“Mas Ezra belum kelihatan ya?” ucap Bella sambil celingak-celinguk.
“Dia mampir ke masjid dulu. Katanya ketinggalan shalat di kampus,” jawab Akbar.
Bella terkekeh manja. “Pantesan suami ganteng aku nggak muncul dari tadi.”
Hafsah melirik geli, lalu berbisik ke Akbar, “Lihat nggak Mas? Dari tadi tatapan Abang ke Mbak Nisa beda banget. Aku takut kalau perasaan itu makin dalam.”
Akbar menatap istrinya serius. “Jangan sembarang ngomong, Sya. Doakan saja semoga semua kembali baik.”
Hafsah menghela napas pelan, nadanya lirih penuh kerisauan.
“Aku bukannya mau nuduh, Mas… tapi aku kenal Abang. Tatapan kayak gitu nggak mungkin salah. Apalagi Mbak Nisa itu orangnya lembut, sabar, selalu perhatian. Bandingkan sama Mbak Dian yang makin hari makin jauh sama Abang.”
Akbar merangkul bahu istrinya, menenangkan. “Sya, aku paham kekhawatiranmu. Tapi kalau kita terus bahas, justru bisa jadi fitnah. Abang Azhar itu orangnya takut sama Allah. Dia pasti tau batas. Kalau pun perasaannya goyah, mungkin karena terlalu tertekan.”
Hafsah menunduk, matanya berkaca-kaca. “Iya, aku ngerti, Mas. Cuma aku takut aja. Aku nggak mau rumah tangga Abang hancur. Apalagi ada anak-anak yang masih kecil.”
Akbar mengusap kepalanya lembut. “Tugas kita sekarang doain, Sya. Jangan ikut campur terlalu jauh. Kalau memang waktunya tiba, biarkan Abang yang ambil keputusan. Kita cukup jadi sandaran, bukan penghakim.”
Bella yang mendengar sekilas percakapan itu ikut menimpali sambil tersenyum tipis. “Bener kata Mas Akbar. Tapi aku juga nggak bisa bohong, aku seneng lihat Mbak Nisa di rumah ini. Rasanya adem, kayak ada cahaya baru.”
Hafsah melirik tajam. “Bel, jangan ngomong sembarangan. Kalau Abang denger, makin berat beban hatinya.”
Bella nyengir kecil, lalu menghela napas. “Ya udah, aku diam. Tapi jujur, aku cuma pengen lihat Abang bahagia. Entah gimana caranya.”
Akbar menatap keduanya serius, nadanya lebih dalam. “Bahagia itu bukan selalu berarti menikah lagi atau pisah, Bel. Kadang bahagia datang dari cara kita bersabar dan memperbaiki keadaan. Kalian jangan lupa, doa seorang istri dan doa seorang suami itu bisa jadi jalan takdir yang Allah tentukan.”
Keduanya terdiam. Hafsah menunduk, sementara Bella hanya menghela napas panjang. Hati mereka sama-sama gelisah, tapi kata-kata Akbar seperti memberi pengingat, bahwa ada batas yang tak boleh mereka langgar.
Dari kejauhan, mereka melihat Azhar masih bercengkerama dengan Bilqis di pangkuannya. Senyumnya hangat, tapi sorot matanya tetap menyimpan luka yang belum sembuh.
Mampir Baca novel baru aku kakak judulnya:
Menikah Mantan Istri Sahabatku
Pawang Dokter Impoten
Terjerat Pesona Ustadz Tampan
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor