Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deng Li Jun–San Yuan
Di luar sudah gelap gulita. Pram membuka pintu mobil untuk Caroline lalu masuk ke kursi kemudinya. Caroline mengira mereka langsung pulang, namun mengernyitkan kening karena arah yang dilalui sedikit berbeda.
“Kita mau kemana, Pram?”
Tangan di putaran kemudi agak mengetat, tapi suara berat itu terdengar begitu santai.
“Jika kita pulang sekarang, takutnya Frans lupa memasak. Lebih baik kita mencari makanan dahulu.”
Pram menyalakan lampu sen kanan, memotong lintasan sesuai aturan dan memasuki jalanan yang lebih renggang. Sesekali alunan musik di radio berganti, hingga akhirnya seorang penyiar menggantikannya.
Caroline berinisiatif membesarkan suaranya, dan suara kecil itu lebih membesar. Kekehan kecil terdengar di sebelahnya, tapi dia mengabaikannya.
“Halo semuanya, ini FM7325, kalian sedang mendengarkan siaran langsung di bawah lampu temaram, ini Cherry Blossom.”
“Ada pepatah menyebarkan tali tajam untuk merekat kepala orang, dan ini benar-benar merisaukan." Penyiar itu berkata, "Konon menyebarkan tali mungkin terdengar bermain-main, namun kali ini tali itu justru memakan korban, terutama pesepeda motor di ruas Madura arah Surabaya.”
“Dilaporkan puluhan orang sudah terkena dan beberapanya terjatuh dari motor dengan leher tergores atau anggota lain terluka, dan sekelompok orang yang diduga begal mengepungnya, merogoh paksa barang berharga yang ia bawa…”
Mereka berdua mendengarkan sambil menunggu lampu lalu lintas beralih menjadi kuning, lalu hijau. Di sekitarnya ada motor yang diisi oleh tiga penumpang, atau pengemudi tanpa helm. Juga ada mobil berkilat atau mobil yang belum dicuci beberapa hari.
“…personel dari Unit Reskrim Polres Pelabuhan Tanjung Perak sudah bergerak ke TKP bersama petugas kebersihan dari Suramadu untuk mengumpulkan bukti, data, dan keterangan dari para saksi.”
Caroline menguap kecil dan suara radio sudah agak kabur di telinga, lampu dan tanaman bergerak lamban, hingga rasa kantuk menenggelamkannya. Saat tubuhnya sedikit ditepuk, ia mengucek matanya dan menemukan sisa belek di jari telunjuk.
Matanya agak berair, dan Pram memperbaiki anak rambut istrinya yang kusut.
“Kita sudah sampai.”
Pram sudah membuka pintunya, setengah membungkuk. Caroline tertegun saat mengamati rambut pendek rapi, hidung yang mancung, dan bayangan dari pencahayaan yang tidak terlalu baik. Matanya juga, ia baru sadar bahwa sebelah kanannya lebih besar sedikit.
“Ayo.”
Tangan terulur di depan matanya, dan perempuan itu menyambutnya. Seraya keluar dengan cepat.
Mengalihkan pandangan ke depan, ia melihat lampu bohlam di atas, menggantung dengan warna kuning temaram. Alunan musik Jazz memasuki telinganya dan begitu menenangkan. Pram mengamati ekspresinya dan menghembuskan nafas lebih lega.
Lonceng pintu bergemericing dan pasangan itu masuk ke dalam kafe.
Tetapi kelegaan Pram terhenti saat ia melihat gadis yang berjaga dengan kruk di lengan kirinya. Caroline merasakan tubuh Pram yang menegang dan melihat arah pandangnya, menemukan bahwa ada gadis yang berjalan dengan penyangga dan kakinya yang agak terseok-seok.
Kenapa Pram bereaksi seperti itu?
Pram menetralkan ekspresinya, genggaman Caroline di lengannya mengerat, merasakan pertanyaan tanpa suara dari istrinya. Gadis penjaga itu, dengan rambut dikepang satu dan seragam yang sedikit usang, kini menoleh ke arah mereka, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Selamat datang, Tuan Pratama," sapanya ramah, suaranya sedikit lembut. "Sudah lama tidak mampir."
“Teman lama?” bisik Caroline tapi justru mendapati rahang yang mengetat dari lelakinya.
Menyadari kehadiran orang lain, ia menoleh ke Caroline dan melengkungkan bibirnya lebih panjang. “Sudah lama tidak bertemu juga, Kak Ine.”
Pram hanya mengangguk singkat, matanya masih menatap kaki gadis itu yang tertatih.
Ada kilatan tajam yang nyaris tak terlihat di matanya. Caroline menangkapnya. Ia merasakan ketegangan yang aneh. Dia menatap gadis itu tanpa suara, rasanya ia tengah memisahkan mereka?
"Meja favorit Anda sudah kosong. Silakan," ujar gadis itu sambil menunjuk ke sudut kafe, dekat jendela besar yang menghadap jalanan yang mulai ramai di malam hari.
Sekaligus menutup ambiguitas dengan sempurna.
Pram menarik Caroline dengan lembut menuju meja tersebut. Suara musik jazz yang lembut kini terasa seperti latar belakang yang terlalu sunyi di tengah pikiran Caroline yang berputar. Begitu mereka duduk, Pram langsung mengambil menu, seolah ingin mengalihkan perhatian.
"Kamu mau makan apa, Lin? Mereka punya sup sawi putih yang enak, atau mungkin nasi campur?" tanya Pram, tapi Caroline bisa merasakan ada yang berbeda.
Gadis lainnya datang dan menunggu pesanan mereka, Caroline memilih menu nasi campur saja, yang katanya menu khusus disini. Lalu Pram mengucapkan beberapa pesanan makanan dan minuman lain.
“Satu nasi campur, satu panci kaldu ayam, lalu satu nasi bebek sambal matah. Minumannya dua teh tawar hangat.”
Seperginya pelayan kafe, mereka berdua berhadapan.
Caroline sesekali menoleh ke kasir yang tepat di depan matanya, dan gadis tadi sudah hilang entah kemana. Padahal dia tadi masih ada di kasir. Mungkin dipanggil untuk membantu di lokasi lain.
Lelaki di depannya mengelap meja yang agak berminyak dan Caroline menatap Pram lurus-lurus.
"Siapa dia, Pram?" tanyanya yang kedua kali.
Pram terdiam sesaat, matanya tidak menghindari tatapan Caroline. Ia meletakkan tissue kotor di meja. "Dia karyawan lama disini. Namanya Diana."
“Kamu sering kemari?”
Lelaki itu menggangguk kecil, “Sebelum menikahimu.”
Caroline melirik sembarang arah sebelum mengajukan pertanyaan baru, "Kenapa kakinya begitu?" desak Caroline, suaranya pelan tapi penuh keingintahuan. "Dan kenapa kamu kelihatan tidak nyaman melihatnya?"
Pram menjelaskan, "Lin, itu... itu kecelakaan. Ada tabrakan beruntun di jalan tol."
Jantung Caroline berdesir. Tabrakan beruntun di jalan tol. Sebuah ingatan samar, seperti dering telepon yang terlalu cepat untuk ditangkap, melintas di benaknya. Ia merasa mual, tetapi bukan mual yang amis seperti saat makan putih telur. Ini mual karena rasa takut yang tak bernama.
"Tabrakan beruntun?" ulang Caroline, suaranya nyaris berbisik. "Apa... apa hubungannya denganmu?"
"Aku... ada di sana, Lin. Aku salah satu yang terlibat dalam kecelakaan itu."
Caroline menatapnya, matanya membelalak. Segala ketenangan yang ia rasakan sepanjang sesi dengan Dr. Karina kini menguap. Rasanya seperti ada bongkahan es yang tiba-tiba muncul di dadanya.
Apakah kecelakaan itu menyimpan satu hal?
Apakah Pram menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar?
Sebelum ia bertanya lagi, piring berisikan pesanan mereka sudah datang. Pram menyodorkan sepasang alat makan yang sudah ia bersihkan dengan tissue juga, lalu mempersilahkannya memakannya.
“Makanlah dulu, kau pasti sudah lapar.”
Perempuan itu akhirnya menggangguk. Untuk sejenak, lezatnya santapan ini agak membuatnya melupakan hal tadi. Perlahan Caroline menelannya dengan lahap, rasa ini begitu ringan dan tidak berminyak sama sekali. Juga ada tambahan kaldu ayam yang manis dan gurih.
“Tempat ini, sepertinya memang hidden gem.”
Pram tidak bisa menahan senyumnya, merasa bersyukur karena makanan disini cocok dengan lidah Caroline. Namun sayangnya ia memang melupakan kehadiran gadis itu, sehingga begitu tampak terkejut. Terutama semenjak istrinya tidak siuman, rasanya banyak hal yang ia henti lakukan.
Saat mangkuk itu habis, Pram mengabaikan ia yang belum makan selesai dan bertanya ke Caroline memastikan sesuatu, "Sudah kenyang, Lin?" tanya Pram, menyeka sudut bibirnya dengan serbet.
Caroline mengangguk, "Sudah. Tapi aku ingin ke kamar mandi sebentar."
Pram mengangguk. "Mual? Mau kutemani kesana?"
"Tidak perlu, aku baik-baik saja." jawab Caroline. "Aku juga bisa bertanya ke pelayan di dekat sana, lanjutkan makanmu."
Ia berdiri. Caroline mendekat ke konter dan kebetulan Diana baru saja keluar dari lorong karyawati. Ia mempercepat langkah sambil memastikan Pram masih sibuk makan, membelakangi mereka.
Suara kruk itu begitu jelas saat Diana melangkah ke arahnya, “Ada yang bisa kubantu?”
Caroline berhenti di dekat kasir. Ia bertanya pada Diana dimana letak kamar mandinya, sebelum mengatakan sesuatu lagi. "Aku ingin meminta kontakmu juga, kalau tidak keberatan."