Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern
Kematian. Aku bisa merasakannya begitu dekat, mengalir deras dalam darahku.
Kereta berayun begitu kencang, rintik hujan jatuh dan membasahi tepi tirai. Tangan yang lentik mendorong tirai ke samping dan terentang keluar jendela, membiarkan tetesan air menyentuh jemarinya.
“Nyonya, angin dingin akan membuat penyakit lamamu kambuh kembali.”
Tawa terdengar dari bilik itu. Tangan yang awalnya terentang keluar berbalik masuk ke dalam. Si pemilik tangan menghancurkan bintik air di keliman pangkuannya. “Waktuku tersisa tiga bulan, kedinginan atau apapun itu tidak akan merubah apapun.”
Lelaki yang duduk di sebelahnya mengerutkan kelopak matanya, seperti biasa ekspresinya terdistorsi dengan sempurna. Bibirnya melengkung naik, tetapi tidak dengan matanya. “Jika Nyonya memang ingin menghabiskan tiga bulan akhir dengan obat yang lebih pahit, mengapa tidak?”
Perempuan yang pada dasarnya gemar menyuarakan candaan sesuka hatinya urung bermain-main lagi. Terutama menyinggung kematiannya yang sudah terprediksi. Lelaki di sebelahnya berhasil membungkam bibir perempuan yang hampir selama tiga puluh menit lalu bertingkah seperti anak kecil merajuk.
Batuk sesekali keluar dari wanita itu dan sapu tangan yang sudah ternoda kemerahan kian menggelap. Tidak lama ia merasakan punggung belakangnya seolah tengah diusap dan diketuk pelan hingga tenggorokannya yang gatal dan dadanya yang memberat seolah berkurang banyak.
Teh dari botol pemanas mengepulkan asap putih. “Minumlah.” Suara itu terdengar penuh kehati-hatian, tidak menyimpan nada paksaan.
“Terima kasih,” ucapnya setelah air manis dan hangat itu menghangatkan dan melembabkan kerongkongan keringnya. Ia berdeham, berusaha menyingkirkan suara serak yang dimilikinya.
Kereta bergoyang kembali, tampaknya menggiling batu besar dan kecil yang tidak beraturan di luar sana. Suara tanah yang lembab mengiringi pergerakan roda kereta itu. Hanya suara angin dan goyangan tirai yang seharusnya terdengar, namun indra pendengarannya menangkap jauh lebih banyak.
Ia menangkap satu tanda, penyerangan!
Seolah sesuai dengan pikirannya, sebilah besi tajam menembus kereta dan menakuti kuda. Teriakan kusir sebelum membuang tali kendali dan melangkah jauh menunjukkan penolakannya akan bau yang perempuan itu cium sebelumnya. Kini mata sang wanita dan lelaki saling beradu. Seolah sudah memprediksi apa yang akan terjadi berikutnya. Namun keduanya tidak bersuara sama sekali.
Nafas terkendali dan batuk ringan dari sang wanita beradu bersama rintik hujan yang tak kunjung mereda.
Sebelum tirai terdepan dibuka, lelaki yang bersebelahan dengannya keluar dan berbicara beberapa patah kata. Ia hanya mendengar “orang penyakitan”, “kami yang rendahan”, dan “kerepotan” samar-samar, namun ia sudah mengaitkannya dengan begitu mudah. Lelaki yang menemaninya baru saja mencabut panah besi dari depan kereta. Mengambil kendali kuda. Berbicara niat mereka berdua datang ke wilayah ini.
Tidak butuh waktu lama sebelum kereta kembali bergerak. Kini tidak ada lagi mata yang selalu memperhatikannya dengan tajam. Tangan yang memukul kecil pergelangannya saat ia bersikap tidak patuh. Maupun ancaman untuk meramu obat yang lebih pahit jika ia berbicara kematiannya seperti bermain pedang-pedangan belaka. Perempuan itu mengetuk jarinya di kayu dudukan dan memejamkan matanya. Kegelapan memenuhi pandangannya dan menjerembabkan dirinya dalam ketenangan tak berdasar.
Saat matanya terbuka lagi, ia mendapati tubuhnya tengah berada dalam dekapan pria itu. Dadanya begitu hangat, ia tidak ingin menyia-nyiakannya dan segera menaruh jemari dingin dan kakunya ke dalam lipatan baju. Dengusan terdengar sebelum ia kembali memejamkan mata dan bersandar lebih dalam ke dekapannya.
Ia menghitung langkah demi langkah hingga angin dingin di luar berganti dengan angin hangat dari kayu yang baru saja dibakar. Ia membuka mata dan melirik ke sudut yang tidak kalah sama persis dengan kenangannya lima tahun lalu.
“Sudah lama.”
Pria itu sedikit menegang saat mendengar suara serak dari dalam genggamannya. Tidak lama sudut alisnya melengkung lembut dan ia membalasnya dengan bisikan tidak kalah lembut, “Iya. Sudah begitu lama. Apakah Nyonya menyukainya?”
Tubuhnya diletakkan di dudukan hangat dan sumber panas yang sedari tadi ia kuras menghilang. Hanya saja ia tidak mengeluh dan mengangguk. “Semuanya sepadan.”
Tidak butuh waktu lama sebelum seluruh kehangatan itu menghilang. Kayu yang awalnya bersinar begitu hangat sudah padam. Ruangan yang awalnya tidak tersentuh debu setitik pun berubah diselubungi jaring laba-laba. Lelaki yang seharusnya masih menemaninya tidak lagi ada. Wanita itu bangkit dari fatamorgana yang ia ciptakan dalam bayangannya. Namun batuknya masih memenuhi ruang.
Matanya melirik ke sudut jeruji. Tirai kereta itu adalah kain yang dipenuhi oleh darah dan guncangan yang diterimanya diakibatkan oleh seretan oleh sejumlah pemangku hukuman. Tidak butuh waktu lama sebelum ia batuk dan menyemprotkan air berbau anyir dari mulutnya.
“Nyonya.”
Wanita itu mendengar suara dari luar jeruji, matanya memerah karena penyesalan tidak berujung. Jarinya mengorek sisa batu dari lantai dingin hingga membuka luka lama, mengoyak daging yang ada di jemarinya. Kemudian ia mendengar gemericing kunci dan pintu yang terbuka. Tubuhnya diangkat paksa dan dilemparkan ke dalam kungkungan.
Suasana gelap berganti menjadi terang-seterangnya hingga mata merahnya mengernyit tidak nyaman. Tangannya ingin menghalau namun terhalang oleh jeruji panjang di kungkungan. Suara bermunculan dari luar sana dan mengiringi arah tujuannya. Ia menghitung langkah kaki yang ada dan berapa jumlah sayur busuk yang dilempar ke arahnya. Ia meraba gaun koyak dan terbatuk lemah.
Pengkhianat. Kata mereka. Tanpa saksi mata yang jelas.
Putri sah keluarga yang dinikahkan baik-baik. Mengabdikan hidupnya dan melempar jauh pengetahuan yang ia miliki untuk pasangannya. Dituduh sebagai informan yang menyelinap. Digantikan oleh saudarinya. Diturunkan menjadi pelayan kasta rendahan. Lalu menjadi satu-satunya yang selamat dalam pembantaian bangsawan.
Saat tubuhnya dipapah ke atas sana, ia didudukkan paksa di sebilah besi dingin. Pandangannya kabur. Tangannya tidak lagi merasakan apapun. Kakinya membeku. Namun pikirannya menyuarakan satu hal.
“Tiga bulan, atau tiga menit, sama saja.”
Tidak butuh waktu lama sebelum ia memejamkan mata. Tidak berani menghadap di depan kerumunan orang. Menerima dengan pasrah hukuman yang akan ia terima. Sebelum kaki dimana ia berpijak goyah dan besi yang seharusnya mengenai kepalanya salah arah dan melayang keluar. Menciptakan kekagetan dan teriakan karena takut bilah itu salah mencari mangsa.
Wanita itu membuka mata dengan tidak percaya. Merasakan nafasnya yang masih ada namun tidak berani menggerakkan arah pandangnya kemanapun.
“Siapa yang lancang?!”
Pertanyaan dalam hatinya disuarakan oleh algojo namun tidak disahut siapapun. Kerumunan yang awalnya berteriak akan manusia hina yang akan dihukum langit berubah menjadi kacau balau karena takut mati. Tidak menjawab apapun, pisau yang awalnya terlempar berada kembali di tangan si algojo.
Rasa takut yang sudah lama tidak muncul, justru datang dalam saat seperti ini.
Kali ini tidak butuh waktu lama sebelum pisau tajam itu menangkap mangsa yang tepat. Wanita itu memejamkan matanya dan merasakan pisau menyentuh leher dan menembus hingga ke dalam dagingnya. Mematahkan tulang dan sarafnya. Ketakutan dan kesadaran yang menemaninya dibelah oleh pisau panjang itu, begitu pula dengan nafasnya.
Maka habislah sudah jejak sebab-akibatnya dalam kehidupan ini. Darah menetes disusul dengan aliran tanpa henti membentuk kubangan merah tua. Pisau tajam menancap dan tidak ditarik, dihiasi oleh cairan yang tanpa henti mengalir. Sorakan dan lemparan sayur busuk tidak kunjung berhenti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments