Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24—PPMITMC
Siapa yang tak tergelak dengan ucapan asal dari Caroline. Dua lelaki dewasa dalam mobil yang tengah melaju itu tergelak tanpa ampun, terutama Narendra.
Sang pengacara handal itu sampai terpingkal-pingkal karena hal itu, saat tawa itu menguar luas, matanya terpejam sampai anak air mata menetes tipis-tipis.
"Wah, hahaha ..., gila, gila ...," urainya memukul-mukul lutut sambil dia menyeret tubuh ke dekat pintu.
Pun perut mulai keram, ia berdenyut karena tawa itu tidak mampu dihentikan. "Bener banget, dia emang kayak cewek p*s, kerjaannya marah-marah mulu," tambah Narendra, puas meledek sahabatnya.
Calvino sendiri tampak tenang, tidak marah apalagi merasa tersinggung karena sebutan tersebut. Sebaliknya, lelaki dengan rahang tegas itu malah tersengih sambil fokus berkendara.
Lelaki bernapas tenang itu mulai menarik simpul senyum dari ujung bibir kanan, justru karena senyum setipis itu, membuat Narendra memicingkan mata.
Mempertanyakan ke mana sosok Calvino yang sangat membenci istrinya, jangankan untuk tersenyum, bahkan untuk meliriknya saja tak sudi.
Calvino ..., sepertinya kamu jatuh cinta padanya. Senyum itu gak pernah aku lihat lagi setelah kepergian Karmelita.
Tapi, hari ini aku melihatnya lagi, dan ini terhadap wanita yang sama, wanita yang kamu bilang, wanita gila yang gak akan kamu sentuh.
Batin Narendra berpendapat.
Sedang di permukaan wajahnya, hanya kilatan senyum yang tak nampak, namun ia nyata terbersit di sana.
***
Kelebihan Coffee shop Kanzha adalah ruangan V.I.P yang amat tertutup, dan semua ruangan itu dikhususkan di lantai dua, dengan atmosfer yang lebih tenang dan sunyi.
Apabila pelanggan adalah seorang introvert yang sangat membutuhkan waktu tenang, maka tempat itu solusinya.
Baru saja seorang pelanggan berpakaian modis warna merah gemerlapan dengan topi hitam berukuran besar, lengkap dengan kacamata berwarna senada dengan topi itu memasuki coffee shop.
"Selamat siang dan selamat datang, Nyonya, silakan pesanan Anda, Anda ingin minum kopi atau menyantap sepotong cake?" tanya Hanna yang menjadi penanggungjawab tempat itu selama dua hari atau seterusnya.
"Flat white dan satu pertemuan kecil denganmu," katanya bersuara tegas.
Hanna tercengang seketika, pula wajahnya mengerut—mencoba menerka-nerka siapa wanita di balik pakaian modis yang seolah-olah akan menghadiri gala premiere sebuah film besar atau menghadiri penghargaan dunia.
Gadis berambut sebahu itu mematung selama beberapa saat. Lengan di atas layar tab menu itu menahan selama pertukaran pandangan itu tetap berlangsung.
"Ma-af ..., An-da ..., siapa?" Hannya bertanya dengan wajah polos alami.
Seringai tipis menyebar. "Kamu akan segera tahu," katanya sambil berlalu meninggalkan meja order counter.
Lalu dia berangsur naik ke lantai dua. Ada perbedaan service untuk pelanggan di meja reguler biasa dengan VIP. Mereka yang duduk di lantai dua dibiarkan ambil pesanan sendiri.
Namun, untuk kursi VIP, mereka mendapatkan pelayanan eksklusif, waiters akan datang untuk mengantarkan pesanan secara langsung ke lantai atas.
Kali ini bukan waiters yang akan melayani, melainkan Hanna sendiri, wajahnya pucat, pasi. Cara wanita itu bicara seperti wanita-wanita kaya yang akan melumpuhkan lawan dengan kekuasaan dan uangnya.
"Siapa dia sebenarnya?" Keluh Hanna seraya meletakkan cangkir kopi ke atas nampan coklat padat, "Penampilannya sangat modis dan heboh untuk ukuran orang biasa, pasti dia bukan orang sembarangan."
Jujur saja Hanna cukup gelisah. Dia bergetar sambil berusaha menelan saliva tanpa tersedak.
"Tapi aku gak ada hubungan apapun dengan orang-orang besar, salah satu orang besar yang selalu hadir di pameran lukisanku hanya Pak Narendra—pengacara besar itu, sedang Kak Devon, jelas dia sahabat kami," gumamnya sepanjang melangkah dari meja kasir menuju lantai dua.
Ruang tujuh menjadi tujuannya. Hanya ruang itu yang tengah kosong saat ini, selebihnya telah dipesan melalui media online, sementara wanita itu tidak memiliki nama atas pemesan yang terdaftar.
Hanna bergerak masuk dengan bahu tegang dan degup jantung menari-nari, cemas.
"Silakan, Nyonya," katanya meletakkan pesanan ke atas sebuah kain bercorak di atas meja. "Saya belum mengenal Anda, dan sepertinya kita gak pernah ketemu sebelumnya, jadi Anda ingin menemui saya karena alasan apa?" Hanna berdiri di sisi meja.
Tidak duduk. Gadis itu tak akan duduk sebelum wanita modis ini menjawab tujuan dan apa hubungannya dengannya.
Lantas, wanita bertopi hitam itu mendengkus. Dia menebar tawa kecil sambil melepaskan benda besar yang teronggok di atas kepala.
"Silakan duduk, mari kita bicara dari hati ke hati," katanya bersuara tenang, namun terkesan penuh misteri.
Sejatinya Hanna enggan untuk melepas dirinya ke kursi. Namun, karena wanita ini seperti ingin menyampaikan sesuatu penting, akhirnya Hanna mendudukkan dirinya ke kursi di depan wanita itu.
Dengan perasaan penuh kepenasaranan, Hanna memandangi wanita itu tanpa meninggalkannya meski hanya beberapa detik. "Jadi? Apa yang Anda ingin katakan pada saya?"
"Caroline Damanik Dzansyana, gadis malang yang harus membiayai rumah sakit ibunya yang kini tengah koma di rumah sakit," celetuk wanita itu mengangkat pandangan sebelum dia melepas masker hitam di wajahnya.
Hal tersebut membuat Hanna membulat, tegang. Jantungnya berdegup, kencang, sampai napasnya bagai debur ombak yang kelelahan saat waktu menuju puncaknya.
Siapa dia?
Mata Hanna menyipit dan menduga-duga siapa wanita ini sebenarnya. "Ada tujuan apa Anda, sampai Anda mencari tahu kehidupan pribadi sahabat saya."
Hanna, geram.
Bagaimana tidak? Tutur katanya sangat angkuh. Ia dingin yang mengintimidasi. Hanna tak begitu menyukai caranya bicara, seakan dia adalah tikus yang digerakkan sesuka hati oleh tuannya.
"Sahabat saya selalu hidup dengan baik, dia gak pernah melakukan hal aneh-aneh, jadi Anda jangan mengusiknya, atau ...." Telunjuk Hanna menghunus ke hadapan wanita di depannya.
Sebelum perkataan lain menyambar dari Hanna, wanita berpenampilan mewah namun tetap elegan itu mengeluarkan sebuah debit card berwarna hitam dengan tinta emas di atasnya.
Kartu menawan itu digeser sampai ke depan Hanna. "300 Miliyar ada di sana, jadi ..., tolong hubungi sahabatmu untuk menemuiku hari ini," katanya.
Telunjuk dan sorot mata Hanna turun dalam sekejap, mengekor ke debit card yang mendatanginya di atas meja. Hanna mengernyit, bingung.
Kemudian dia sadar jika wanita di depannya adalah ....
Degh!
Hanna terperanjat, hebat. Segera dia mendorong kursi sekaligus berdiri, dia mengarahkan telunjuknya kembali ke depan. "Ka-kamu ...?" Kernyit di alis Hanna kian melekuk lebih dalam.
Sang wanita terdengar tersenyum, dia tertunduk di awal. Kemudian dia mendongak dan melepaskan masker dan kacamata hitam yang menutupi wajahnya.
And ....
Jreng!!
Hanna semakin terperangah. Dia membulat dan membuka mulutnya lebar-lebar, sesaat napas itu dia tarik, lalu tertahan di kubangan dada, gadis itu bergetar.
Tak pernah dia sangka, jika ada wajah lain yang begitu mirip dengan sahabat baiknya. "What?" seru Hanna, frustasi.
Jari-jemari terbenam di jutaan surainya, dia mengernyit tak menyangka, jika yang dibicarakan Caroline benar-benar nyata. "Bagaimana ..., bisa? Dua orang memiliki wajah mirip, tanpa ada ikatan darah, atau semacamnya," gumam Hanna masih tergemap karena kejutan ini benar-benar di luar nalarnya.
"Ya!" jawab tegas Yuzdeline.
Wanita bergaun merah agak kehitaman itu meneguk flat white pesanannya. "Itu yang saya herankan saat pertama bertemu dengannya, dan karena hal itu saya menawarkan perjanjian menguntungkan ini, tapi ..., sayang, sahabatmu itu, udah mis kin, tapi masih belaga kuat," ucapnya ketus dan senyum meremehkan mulai memimpin.
To be continued ....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt