Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32: Red
“Y-ya, a-aku akan menceritakannya,’ jawabnya kepadanya.
Lorenzo semakin tersenyum lebar dan langsung bisik-bisik lagi. “Ceritakan semuanya dan jangan ada satupun yang terlewat, mengerti!”
Wajahnya memerah hebat. “Y-ya. A-apakah aku a-akan mendapatkan hadiah?” tanyanya kepadanya.
Lorenzo tersenyum lebar. “Mungkin ciuman atau seks,” jawabnya.
Hal itu membuatnya sangat senang sekali dan berguling dari sana kemari sebentar, kembali ke posisi semula, dan langsung menceritakan semuanya. “Ka-kalau begitu, a-akan ku ceritakan semuanya.”
“Pertama...” senyum lebarnya berubah menjadi datar dengan menunjukkan intimidasi yang sangat mengerikan. “Apakah kau tahu seorang wanita bernama...” apa yang ingin ditanyakan nya terhenti saat perutnya tiba-tiba merah menyala.
Perutnya menjadi besar seperti hamil dan semakin merah menyala. “Apa yang terjadi ke perutmu, Jane?” tanyanya kepadanya ke pertanyaan yang lain.
Jane langsung melihatnya. “Mana. Eeehh!.” Ia terkejut.”TU-TUNGGU!” takutnya dengan suara yang cukup besar dan terdengar olehnya. “BLACK FIGURE AKU TAK MENGATAKAN APA-APA!” belanya akan dirinya.
Menjadi lebih besar dan... “Lorenzo lar__.” Meledak. Belum sempat berlari, Lorenzo terciprat darah yang sangat banyak yang keluar dari pecahan-pecahan tubuhnya.
Tubuhnya hancur total beserta pakaian yang dikenakannya. Lorenzo langsung menatapnya dengan wajah datar ketakutan sekali serta bisik-bisik kecil. “Apa maksudnya ini?” tanyanya dengan mengingat kata-kata dari Berlin Parking dan Aiden Wendranir.
“Saat mereka mengatakannya mereka berdua baik-baik saja, tapi, kenapa ia bisa__.” Ia mengerti dengan cepat. “Kalau terlalu banyak memberikan informasi, Red akan membunuh. Red meledak dan Black Figure... apakah ia semacam pengawas?” pikirnya tenang.
Pakaiannya berlumuran darah bahkan anggota tubuh yang tak terlindungi juga beberapa bagiannya berlumuran darah. “Saat ini, jangan terlalu memikirkan hal itu sepertinya. Sekarang, aku harus pergi ke toilet dulu sepertinya.”
Saat keluar dari ruangan, darah yang ada di tubuhnya menghilang begitu saja dengan menunjukkan tulisan akhir yang tak dilihatnya, yaitu “Jane” ditulis dengan tinta hitam serta tanda silang merah di tengah-tengah nama tersebut.
Setelah keluar dari lorong tanpa mengenakan masker sambil menggendong Liliana yang masih pingsan, ia memutuskan untuk pergi ke penginapannya terlebih dahulu.
Memutuskan hal tersebut saat berada di depan bioskop dan kembali begitu saja. Pandangan orang-orang ketakutan dan hanya bisik-bisik kecil dengan sangat jelas. “Kenapa dengan mereka?” dilanjutkan dengan: “Pria itu berlumuran darah. Apakah ia baik-baik saja?”
“Haruskah kita menelepon polisi!” terakhir lanjut dengan: “Sepertinya tak usah, mereka berdua... terlihat tak memerlukan pertolongan kita.”
Setelah Lorenzo keluar dari orang-orang yang berjalan di jalan setapak yang sama dengannya, tak ada lagi yang berkomentar apapun. Jalan setapak, orang-orang yang tak peduli, kendaraan-kendaraan, bangunan-bangunan, setelah semuanya dilewati, mereka berdua ada di depan hotel sekarang.
Saat berada di depan pintu masuk, penjaga hotel melihat mereka berdua dengan tatapan terkejut serta bertanya-tanya. Lorenzo hanya bilang bahwa ia kebanyakan minum saja. Lorenzo juga bilang bahwa ini hanyalah saut tomat habis pesta beberapa jam yang lalu.
Tanpa menanyakan ke khawatirannya lagi, penjaga itu tak menanyakan apa-apa lagi dan mengantar mereka berdua ke kamar tidur mereka berdua. Saat berada di depan pintu masuk, penjaga pergi meninggalkan mereka berdua dan sebelum pergi, Lorenzo melambai-lambaikan tangan kanannya dan ia juga membalasnya dengan tangan yang sama serta ekspresi senyum kecil yang sama.
Setelah masuk ke dalam, Lorenzo menaruhnya di sisi kasur sebelumnya dan menyelimutinya dengan selimut putih. Lorenzo pun berjalan ke arah kamar mandi dan saat di dalam, ia langsung membersihkan dirinya. Selesai melakukannya, pakaian yang ia taruh di mesin cuci sistem pengeringan dan pembersihan sudah selesai.
Pakaiannya ia kenakan ulang dan sekarang ia ikut berbaring bersamanya sambil mengelus-elus kepalanya dengan badan mengarah ke arahnya. Tersenyum lebar dan langsung berbicara kepadanya. “Liliana, kau istirahat dulu saja sekarang.”
Suara tidur keluar. Ia mengigau kecil. “Lo-lorenzo... ka-kau baik-baik sa-saja bu-bukaann!” khawatirnya kepadanya dan tidur begitu saja.
Tak ada lagi suara yang keluar darinya, ia hanya bisa mengelus-elus kepalanya dan langsung mengatakan ke khawatirannya itu. “Tenang saja, aku baik-baik saja kok. Kau sudah tidur ya. Yahh... tidur saja, aku juga mau tidur soalnya.”
Menguap, menyelimuti dirinya dengan selimut yang sama, matanya perlahan menutup, dan tubuhnya lurus ke atas, sedangkan Liliana lurus menatap ke arahnya. Keduanya sekarang tertidur nyenyak dari siang hari ini sampai beberapa waktu ke depan.
Saat sore hari tiba, mereka berdua masih dalam kondisi yang sama dan ekspresi mereka berdua masih normal. Malam hari tiba dan tak ada satupun dari mereka berdua yang membuka mata, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 21.00.
Lalu, 3 jam berlalu yang berarti sekarang adalah pukul 24.00 atau jam 12 malam yang bisa disebut juga tengah malam. Pada tengah malam ini, ekspresi Lorenzo ketakutan dengan badan menggigil dan keringat dingin.
Liliana tetap tenang padahal saat ini, ia mimpi buruk. Di mimpinya terlihat ia sedang duduk santai di kursi ruang interogasi dan seorang pria yang akan menginterogasinya mengambil pisau.
Pisau itu dipakai kalau Liliana tak bisa menjawab pertanyaannya. Di mimpinya ia tak bisa menjawab keseluruhan pertanyaannya atau 3 pertanyaannya. Apa yang terjadi selanjutnya? Pisau yang dipegang oleh tangan kanan sang pria, ia langsung mengiris perlahan pergelangan tangannya.
Sedikit demi sedikit darah keluar darinya. Ekspresinya tanpa emosi namun suasananya yang selalu keren, menjadi menangis keras yang ditahan. Kesakitan yang sangat luar biasa ia tahan. Saat bersentuhan dengan tulang, pria ini mendekatkan kepalanya dan langsung memutusnya.
Rasa kesakitan yang sangat luar biasa membuat ekspresi dan suasananya berubah entah bagaimana, karena tiba-tiba langsung diperlihatkan dua siksaannya lagi. Siksaan kedua pria ini mendekati mata kanannya dan karena diancam pisau saat menutupnya, ia membuka lebar kedua matanya.
Mata kanannya dijilat dan dilanjutkan mata kirinya berulang kali sampai puas. Menarik lidahnya dan... dilanjutkan ke siksaan yang ke terakhir. Pisau mengarah tepat di sisi kanan dekat jantung. Melingkarinya dan perlahan menembus sampai bagian ujung dan... membuka matanya.
Pada waktu bersamaan, Lorenzo juga membuka matanya. Mimpi apa yang ia lihat? Lorenzo melihat dirinya melihat seorang pria dan wanita yang sedang duduk santai di kursi taman warna putih penuh rerumputan hijau di sekitarnya dan tiba-tiba wanita yang duduk di kanannya... melakukan sesuatu kepadanya.
Memeluknya erat-erat dan membuatnya sampai pingsan saking senangnya. Kesenangannya tak bisa ia rasakan kembali karena wanita ini melakukan sesuatu kepadanya.
Tiga hal juga ia lakukan pada wanita ini. Pertama ia menggigit telinga kanannya sampai putus dan darah muncrat banyak sekali dari situ. Darah yang muncrat tak dibiarkannya menyentuh kursi dan ia buka terus mulutnya sampai darah kering seketika.
Selanjutnya adalah wanita itu menggigit tangan kanannya sampai tulang terlihat jelas dan darah bercucuran ke bawah kursi. Tak bisa dicegah dan lanjut menjilat-jilat jari-jarinya.
Ia menyandarkannya ke bawah dan wanita ini yang ada di atasnya langsung mengeluarkan sebuah pisau. Bayangan yang agak mengganggunya membuatnya membuka mata perlahan dan tiba-tiba... pisau itu ia tusukkan ke mata kanannya, lalu kiri, dan diakhiri dengan jantung.
Lorenzo yang tak kuat menahannya otomatis langsung membuka kedua matanya dan dalam waktu bersamaan ini, keduanya berbeda ekspresi. Lorenzo tak teriak, tapi keringat dingin yang bercucuran di seluruh badannya, menggigil ketakutan, gigi gemertak kencang, dan napas terengah-engah.
Liliana ekspresinya datar dan hanya seluruh badannya saja yang menggigil ketakutan. Mereka berdua saling menatap dan perlahan menenangkan diri bersama. 10 menit berlalu dan keduanya bisa mengembuskan napas pelan bersamaan.
Kondisi mereka berdua, baik-baik saja sekarang, mungkin.
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani