NovelToon NovelToon
Simpul Yang Terurai

Simpul Yang Terurai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Persahabatan / Pihak Ketiga
Popularitas:810
Nilai: 5
Nama Author: Simun Elthaf

Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sang Juara

Di lain tempat, Ridwan mencari informasi. "Fasya, aku boleh duduk di sini sebentar, kan?" "Duduklah…" Ridwan langsung duduk di depan Fasya setelah mendapat persetujuan darinya. "Sya… aku boleh bertanya sesuatu, nggak?" "Tentang apa?" "Kamu tahu nggak Haisya lagi ada masalah apa?" Ridwan bertanya, rautnya menunjukkan kekhawatiran. "Hmm… gimana ya, aku juga beberapa hari ini merasa ada perubahan pada Haisya, dia jarang curhat ke aku. Sekarang dia lebih sering menyendiri dan lebih tertutup," jawab Fasya, tampak berpikir. "Tapi dia tetap bisa ceria ya di depan kita semua, padahal aku yakin dia pasti sedang menanggung beban yang cukup berat." "Entahlah… ia memang seperti itu, dia selalu ingin terlihat kuat di depan orang lain, padahal sebenarnya dia rapuh." "Hm… begitu ya." Ridwan mengangguk. "Selain sama kamu, dia dekat dengan siapa lagi?" "Dia dekat dengan Ustazah Aisyah."

Mendengar itu, Ridwan segera mengejar Ustazah Aisyah yang berjalan di tengah lapangan sekolah. Ia mencoba menyamai langkah kakinya.

"Assalamualaikum… Ustazah…" "Waalaikumsalam… Ada apa, Wan?" "Ustazah ada waktu tidak hari ini? Kalau ada, bolehkah saya meminta waktunya sebentar?" "Ya, tentu saja, mari duduk di sana," Ustazah Aisyah menunjuk bangku di bawah pohon. "Apa yang akan kamu bicarakan, Wan? Sepertinya penting." "Iya, Zah, ini tentang Haisya. Biasanya dia selalu terbuka kepada saya, tapi akhir-akhir ini dia lebih tertutup. Sepertinya dia sedang menyembunyikan sesuatu dari saya." "Oh ya? Tapi sepertinya dia biasa-biasa saja, tetap ceria." "Iya, Zah, memang dia ceria tapi saya tahu di balik senyumnya itu ada sesuatu yang ia sembunyikan." Ridwan menatap Ustazah Aisyah penuh harap. "Ustazah pasti tahu, kan?" "Saya tidak tahu, Wan… maaf!" Ustazah Aisyah menggeleng, rautnya sedikit ragu. "Emm… Ustazah… tolong, Ustazah pasti tahu, kan?" Ridwan mendesak, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Ya sudah, saya cerita." Ustazah Aisyah menghela napas, akhirnya memutuskan untuk berbagi. Ia menceritakan apa yang ia ketahui tentang Haisya dari awal hingga akhir. Kini Ridwan mengetahui alasan yang membuat Haisya menangis di tepi pantai, dan sebuah kebenaran yang lebih besar mulai terkuak.

***

Di belakang masjid, Zaki dan Ilham lagi-lagi sedang membicarakan Haisya. Mereka berdua memang tidak ada bosan-bosannya membicarakan orang lain. Bagi mereka, Haisya adalah bunga pondok. Ia wanita tercantik, anggun, sopan, pintar, dan rendah hati.

Namun, di samping banyak orang yang menyukai Haisya, rupanya banyak juga yang sebaliknya. Haisya dibenci teman-temannya karena mereka merasa iri kepadanya. Mereka iri dengan prestasi Haisya.

"Kenapa sih anak baru itu semakin naik pangkat?" dengus seorang santriwati. "Iya, semua asatidz dan ustadzah dekat sama dia." "Gua jadi sebel sama dia, apa sih yang ada di dirinya yang tidak gua punya? Kenapa gua tidak bisa seperti dia?" "Sabar, Nur, nanti pasti lo bisa lebih dari anak songong itu," hibur temannya, mengipasi api kecemburuan.

Nur dan gengnya selalu memiliki rencana buruk untuk Haisya. Rasa dengki telah menguasai diri Nur hingga dia sampai melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Ia lupa bahwasanya Haisya adalah satu-satunya teman yang selalu ada untuknya. Haisya selalu menghiburnya dan menemaninya ketika ia dalam masa-masa sulit. Saat teman lainnya pergi menjauhinya, Haisya justru datang memberikan kekuatan untuk terus bertahan dan bersabar. Namun kini, Nur dibutakan oleh rasa cemburu.

Seiring mentari meniti ketinggian, bayangan cobaan pun memanjang. Suasana pagi itu begitu sejuk, dengan awan yang menyelimuti angkasa langit. Senyuman manis mengembang di bibir mungil Haisya, wajahnya bersinar laksana mentari pagi. Dengan berpakaian rapi serta beberapa alat tulis lainnya, Haisya memasuki ruang ujian dengan Bismillah. Ia niatkan segala aktivitasnya ini sebagai suatu ibadah kepada Rabb-nya.

Tiga puluh menit telah berjalan. Mereka masih terus menggoyangkan pena mereka di atas lembar jawab. Nur merasa gelisah karena soal yang begitu sulit menurutnya. Ia menoleh ke sana kemari berharap ada yang mau membantunya. Sementara Haisya, di bangkunya, tampak terlelap dengan santainya. Ia telah mengerjakan soal dan menjawab sebisanya, lalu membiarkan diri beristirahat.

Pukul 09.30 WIB, wali santri telah duduk rapi di aula pertemuan, memenuhi setiap kursi. Berbagai ekspresi terlihat di wajah masing-masing wali santri, tak sabar menunggu hasil nilai yang telah anak-anak mereka capai.

Seorang laki-laki berjas menaiki mimbar dan mulai membuka pidatonya. Dilanjutkan oleh laki-laki berkemeja biru, Pak Ahmad, yang akan mengumumkan beberapa anak yang akan diberi apresiasi karena berprestasi. Pak Ahmad telah memanggil anak-anak yang mendapatkan peringkat 1-3 dari kelas 1-4. Tibalah saatnya pengumuman untuk kelas 5. Perasaan cemas dan takut mulai Haisya rasakan. Jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Doa sudah ia langitkan, ikhtiar sudah ia laksanakan, kini ia bertawakal hanya kepada Allah SWT. Apa pun kenyataannya nanti, ia serahkan hanya kepada-Nya.

"Baik, sekarang tibalah kita di kelas 5 Kulliyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyah, peringkat ke-3 diperoleh oleh… Al-akh M. Zuhair."

Seketika Haisya lemas. Ia takut tak mendapatkan peringkat dan akan membuat orang tuanya kecewa. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

"Peringkat ke-2 diperoleh oleh… Al-ukhty…" Pak Ahmad menjeda kalimatnya, membuat semua orang penasaran. Kali ini mata Haisya terbuka lebar karena Pak Ahmad telah menyebutkan "ukhty," itu artinya dirinya masih punya kesempatan untuk meraihnya. Harapan kecil menyala kembali.

"Peringkat ke-2 diperoleh oleh siapa? Ada yang tahu? Oke, langsung saja daripada penasaran, peringkat ke-2 diperoleh oleh ukhty Nur Azizah."

Nur langsung melotot karena kaget. Sebenarnya ia menginginkan peringkat pertama. Namun ternyata dirinya mendapatkan peringkat ke-2. Kekalahan ini terasa pahit. Begitu pula dengan Haisya yang telah pasrah dan hilang harapan. "Nur yang pintar dan rajin saja peringkat ke-2, ah… sudahlah aku nggak mungkin dapat peringkat," begitu pikir Haisya, mengusap wajahnya yang mendadak terasa lesu.

Kali ini Haisya sudah tidak fokus memperhatikan Pak Ahmad yang di depan. Haisya justru bercanda dengan beberapa anak di sampingnya, mencoba mengusir kekecewaan.

"Dan saat yang ditunggu-tunggu inilah santri terpintar, terpandai, tercerdas, dan baik budi pekertinya! Kalian semua harus mencontohnya, belajarlah rendah hati seperti apa yang dia lakukan. Siapakah dia…? Ya… peringkat pertama diperoleh oleh… Al-ukhty…?" Pak Ahmad sengaja menggantungkan kalimatnya, menambah ketegangan.

"Amanda, Keysa, Aminah, bla bla bla," para santri mulai menyebutkan nama teman-teman mereka, riuh memenuhi aula.

"Ya, harap tenang! Tolong dengarkan saya, peringkat pertama jatuh kepada ukhty Haisya Ardiyanti! Beri tepuk tangan!!!" Prok prok prok. "Yuk, ukhty, silahkan menaiki panggung!"

"Ukhty Haisya!! Ukhty peringkat pertamaaa… Selamat ya, ukhty…" Para santriwati membuat gaduh suasana, mereka histeris begitu nama Haisya disebutkan. Suara tepuk tangan membahana, gemuruh mengalahkan bisikan.

Haisya masih bengong. Matanya mengerjap, belum percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Apakah ia tidak salah dengar?

"Haisya!! Woy, cepetan maju! Nggak mau hadiah?" seru temannya. "Sya… aku nggak salah dengar, kan?" "Iya Haisya sayangkuuu… cintaku… buruan maju… cepetan bangun, jangan tidur melulu makanya… sadar!" Fasya menggoyangkan lengannya.

"Aku nggak tidur, kali…" Haisya bangkit dari tempat duduknya, kakinya melangkah lunglai, seolah masih dalam mimpi, menuju panggung.

Semua mata tertuju padanya. Mereka begitu terpesona dengan Haisya yang cantik dan juga pintar. Desas-desus tentangnya yang modis, lalu berubah menjadi sederhana, dan kini menjadi santri berprestasi, semakin menguatkan kekaguman mereka.

Haisya memberikan senyuman termanis yang pernah diciptakan kepada hadirin yang melihatnya. Senyuman itu memancar tulus, membiaskan cahaya kebahagiaan. Termasuk ayah dan ibunya, yang duduk di barisan depan. Mereka tak berhenti menatap putri mereka di atas panggung. Senyuman bangga selalu mengembang, menghiasi wajah berseri mereka, memancarkan kebahagiaan yang tak terhingga.

Setelah melaksanakan sesi foto, Haisya langsung lari menuju ke arah kedua orang tuanya. Memeluk mereka erat, mencium tangan, dan menyerahkan lencana penghargaan miliknya. Betapa terharunya sang ibu, air mata menetes bahagia. Putrinya itu benar-benar telah membuatnya bangga sejak kecil hingga sekarang. Belum sekalipun dirinya dibuat kecewa.

Sebuah kutipan dari Haisya terngiang dalam benaknya: "Sesungguhnya, setiap kenaikan derajat adalah pengingat bahwa ujian yang menanti akan setinggi langit, mengikis segala keraguan."

1
Jaku jj
Baper abis!
Simun Elthaf: nanti di akhir" part akan banyak yg bikin salting lagi kak😊
total 1 replies
Fiqri Skuy Skuy
Jelas banget ceritanya!
Simun Elthaf: Terimakasih sudah mampir kak, saya baru belajar menukis☺🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!