"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 : Kerinduan
Cemburu yang terbaca
Di pagi yang berkeringat. Lapangan apel dihebohkan dengan postingan Akbar di akun Pengabdi Alam tentang sosok cantik yang pertama kalinya menghias akun Medsos tersebut.
"Kalau lihat yang bening begitu, Abang Akbar jadi pengen nafkahi... " ledek junior Akbar.
"Danton, kapan cewe itu dibawa permohonan?" tanya Laode.
"Dalam waktu dekat," jawab Akbar mantab.
Dari arah lain, Devan beserta ajudannya menghampiri seluruh pasukan dengan berlari. Hari itu mereka mengadakan olahraga rutin berkeliling wilayah kesatuan. Lari marathon yang biasa dilakukan seminggu sekali.
"Siapa yang mau pengajuan nikah?" tanya Devan sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
"Lettu Akbar, Dan. Calon istrinya wehh... Cuantik!" seru sertu Deden.
Devan mengacungkan jempol tanpa tahu apa-apa.
"Kamu nge-push orang, Den. Kamu sendiri kapan nikah. Sepertinya Laras mudah akrab dengan keluargamu," goda Zelfi.
"Doakan saja, bang. Kalau tidak ada hambatan bulan depan," jawab Deden malu-malu.
"Cewe mana kali ini yang kau ajak permohonan?" ledek Devan sambil melebarkan senyuman.
"Ya Allah, Komandan. Baru kali ini saya mau permohonan nikah. Dapet pacar yang beneran mau nerima saya apa adanya, baru sama yang ini. Cintanya seimbang, Dan!" jawab Deden setengah protes.
"Oiya, serius kamu?! Bukannya di akun Medsos kamu isinya cewe semua," goda Devan lagi.
"Weess, ngeri aku... Ngeri aku!" jawab Deden dengan dramatis, menggelengkan kepala panik. "Gimana kalau calon istri saya denger kayak gini dari komandan. Langsung aku di putusin trus diblokir nomerku, Dan!" protes Deden.
Devan tertawa lebar serasa puas meledek Deden yang selalu serius.
Akbar mendekati Devan sambil membawa tablet berlambang apel di gigit. "Mohon ijin komandan, mohon masukan untuk film dokumenter yang sudah kami buat." Tablet itu pun ia geser ke arah Devan.
Saat film baru saja di putar, adegan pembukaan adalah sosok gadis yang sedang duduk di batu besar terbungkus selimut tenun Lombok sambil memegang cangkir kopi dari stainless. Gadis itu menengadahkan wajah ke langit membiarkan wajahnya terpapar cahaya sunrays yang membuat wajahnya terlihat bercahaya dan bening.
Gadis yang dijadikan model tersebut adalah... Dea.
Wajah tersenyum Devan seketika berubah, senyumannya memudar, tatapan matanya memancarkan kerinduan sekaligus amarah, alisnya bertaut dan rahangnya pun mengeras.
"Kenapa harus ada model perempuan?!" tanyanya, suaranya dingin dan berat. Tenggorokannya tercekat kesedihan.
"Calon istri saya, komandan," jawab Akbar tersenyum malu sambil menggerakkan kaki gelisah.
Devan menoleh singkat, tatapannya sinis. "Hapus!! batalkan pemutaran filmnya!" titahnya sambil berlalu pergi, langkahnya berat hingga sol sepatu karetnya terdengar menghentak aspal dengan kasar.
Akbar, Zelfi dan Deden dibuat melongo.
"Sial! Bikin film berbulan-bulan tanpa bayaran, pake modal sendiri pula. Seenaknya bilang hapus dan batal!" Zelfi menendang udara dengan kesal.
"Apa yang salah dengan gadisku? Apa merusak tema film kita?" tanya Akbar bingung sambil meremas rambut di kepalanya.
Film berdurasi 49 menit itu ditolak mentah-mentah oleh Devan meski baru melihat pembukaan filmnya saja. Tentu saja membuat kesal team yang terlibat. Mereka mengorbankan waktu libur dan istirahat untuk mencari hal-hal baru yang bisa dimasukkan pada film perjuangan seorang prajurit di medan latihan.
Tidak bisa menerima penolakan, Akbar langsung mengejar atasan sekaligus seniornya di Akabri, Devan. Meski terikat hirarki saat di kantor, Akbar dan Devan sudah mengenal sejak lama jadi tanpa basa basi ia langsung membuka pintu ruangan atasannya.
"Bang, Abang belum melihat keseluruhan filmnya kenapa bisa Abang nyuruh kami ulang. Kasih tahu kurangnya dimana, atau yang perlu kami hapus dimana." Akbar meletakkan kembali tablet di hadapan Devan.
Devan menarik napas panjang, lalu melihat kembali film dokumenter yang sudah dibuat anak buahnya. Matanya menatap tablet, tapi pikirannya memutar kenangan bersama Dea. Ia sangat rindu pada gadis itu. Namun, keadaan yang memaksanya harus berhenti mengejar Dea. Ia tidak ingin Dea terkena imbas dari kemarahan keluarganya juga Kasandra.
"Hapus bagian depan saja. Ini tentang perjuangan seorang prajurit di medan latihan dan medan tugas, bukan kisah percintaan kalian." Devan menggeser tablet milik Akbar dengan kasar.
"Apa komandan sudah membaca sinopsis cerita film yang saya kirim melalui email? Ini tentang pengorbanan seorang perempuan yang akan melahirkan anak-anak bangsa. Ia menunggu kekasihnya di medan tugas selama bertahun-tahun hingga Bumi Pertiwi mempertemukan mereka kembali," tutur Akbar.
"Apa hubungannya perempuan di video itu dengan melahirkan anak bangsa?! Kamu bisa pakai figur sosok seorang ibu yang sudah memiliki anak. Lalu anaknya berjuang di medan tugas," sanggah Devan.
"Tapi di video itu, pemeran utamanya saya, bang. Lalu perempuan itu... Kekasih saya," dalih Akbar.
Panas terasa membakar di dada Devan, seakan panas neraka tumpah saat itu juga di dadanya.
Bruak!
"Saya bilang hapus ya hapus!! Ini bukan kisah percintaan, kamu mengerti!" bentak Devan. "Keluar!!" usirnya.
Akbar menatap Devan dengan tatapan tidak terbaca, kecewa bercampur kecurigaan yang sempat menghampiri benaknya, begitu menguatkan praduganya selama ini.
Selama ini, Dea selalu menghindarinya entah karena alasan apa. Memblokir nomer telepon, tempat kost yang selalu berpindah dan kejadian pingsannya malam itu saat di atas panggung, setelah Devan turun dari atas panggung.
Seakan ia menemukan benang merah dari semuanya.
"Ada hubungan apa Abang dengan Dea?" bisik Akbar pelan namun sempat terdengar oleh Devan.
Mereka saling menatap bagai dua orang musuh yang sedang mengukur kekuatan lawan. Kedua tangan mereka saling mengepal erat, rahangnya mengeras.
"Keluar!" usir Devan lagi sambil memalingkan muka marahnya.
"Kuharap Abang tidak pernah lupa setiap nasehat yang abang berikan pada seluruh prajurit. Point ketiga dari delapan wajib prajurit, berlaku untuk Abang juga saya!" balas Akbar.
"Keluar!" kembali Devan mengusir Akbar, kali ini dengan matanya yang memerah menahan amarah.
Akbar masih menantang dengan tatapan matanya tanpa rasa takut, ia menemukan api cemburu yang membara di mata pimpinannya saat ini. Seringai tipis ia berikan sambil menggelengkan kepala pelan. "Kami saling mencintai. Hubungan kami sudah serius. Kuharap Abang tahu posisi, dan bisa menghormati cinta kasih kami juga menghormati kesetiaan istri abang."
Akbar membalik tubuhnya tanpa penghormatan dengan membawa segumpal kekecewaan yang menghimpit dadanya. Orang yang selama ini ia hormati ternyata memiliki rasa pada gadis yang juga ia sukai.
Lelaki Genit!
Entah mengapa hari itu penjualan bunga sangat laris, pesanan bunga dari beberapa orang tapi ditujukan pada satu alamat yang sama. Sebuah cafe baru di ujung jalan dekat tempat kost Dea yang baru.
Malam itu, Dea baru saja menutup toko bunga milik Laras. Tangan kirinya menekan rolling door ke bawah sementara tangan kanannya berusaha mengaitkan gembok pada sebuah pengait besi. Tiba-tiba sebuah tangan kekar membantu menarik rolling door ke bawah.
Dea mendongakkan wajahnya ke arah pemilik tangan. Seketika tubuhnya kaku lalu memalingkan wajahnya dengan cepat. Posisinya masih berjongkok saat itu. Tangan kekar itu kini mengulur untuk membantunya bangun. Namun, Dea tepis dengan kasar.
Devan tersenyum tipis saat melihat pipi Dea yang menggelembung dengan wajah memerah menahan tangis.
"Ayo bangun, mau sampai kapan berjongkok di situ." Kini kedua tangannya ia ulurkan.
Dea bangkit tanpa bantuan Devan lalu mendorong dada keras Devan menjauh. Ia melangkah menjauh dengan langkah kaki yang menghentak keras di atas konblok. Devan hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil mengikuti jejak Dea di belakangnya.
Dea menyetop sebuah becak lalu bergegas naik, namun Devan tidak kehilangan akal. Ia menahan becak hingga ia bisa ikut naik di dalamnya.
"Ngapain sih mas!" bentak Dea.
"Ikut kamu," godanya.
"Ngga jelas banget, suami orang malam-malam godain perempuan lain. Suaminya yang genit, aku yang di maki-maki dan di tuduh pelakor. turun sana!" usir Dea wajahnya kian memerah, menahan tangis dan amarah yang bercampur menjadi satu.
"Aku akan turun di mana kamu juga turun," ucap Devan sambil menatap Dea dengan tatapan menggoda.
"Lelaki genit!" maki Dea
Devan menyandarkan sikunya di dinding becak lalu menyangga dagunya dengan telapak tangan sambil menatap Dea. Gadis itu memalingkan wajahnya dengan kesal.
"Kamu ngga rindu ya sama aku?" tanyanya dengan nada menggoda.
Dea hanya diam.
"Diam artinya rindu. Aku juga, sangaaaaat rindu. Tapi aku hanya bisa melihatmu dari jauh, aku takut kamu ngamuk dan mencakar wajahku yang tampan ini." Devan mengelus wajahnya sendiri dengan lembut.
"Cih! narsis!" cetus Dea.
"Tapi entah mengapa di depan kamu aku insecure. Karena pesonanya sudah diambil kamu semua," rayunya.
"Ya Tuhan, kutuk lah manusia ini menjadi kodok! Agar tidak ada lagi perempuan single yang dia rayu," gumam Dea dengan gemas.
Devan tertawa terbahak hingga becaknya ikut bergoyang. "Dan aku menunggu seorang putri memberikan ciuman padaku agar berubah menjadi pangeran tampan." Dea menutup kedua telinganya dengan erat.
"Mbak, mas kita mau kemana ini? Sudah di pertigaan," tegur supir becak yang sejak tadi tidak tahu kemana tujuan penumpangnya.
"Alun-alun aja pak, nanti bapak istirahat. Saya yang bawa putri cantik ini keliling alun-alun," ucap Devan.
"Tapi becak saya jangan dibawa kabur ya pak," pinta supir becak dengan nada khawatir.
"Jangan percaya dia pak. Omongannya ngga bisa dipercaya!" bantah Dea. "Antarkan saya ke jalan Ahmad yani, pak."
Devan tersenyum tipis, tapi malam itu hatinya sangat bahagia bisa bertemu Dea lagi sekaligus menggodanya. Kerinduan tidak bisa lagi ia tahan hingga ia nekad memaksa Laras memberitahu keberadaan Dea.