Mencinta kembali, apakah mungkin bagi Dewi Bhuana Joyodiningrat. Diusianya yang sudah lebih dari kepala 4 sekarang, dirinya kembali dihadapkan oleh 2 pria dari masa lalunya.
Ditinggalkan begitu saja, membersarkan anaknya sendirian. Dan kini orang itu kembali hadir berbarengan dengan orang lain dari masa lalunya.
Hendra Kusuma dan Aji Kurniawan. Satu adalah mantan suaminya, dan yang satu adalah temannya.
Siapakah dari kedua pria itu yang bisa membuat Dewi kembali mencinta?
Akankah putri Dewi yang bernama Aisya menerima kembali sang ayah yang meninggalkan mereka bahkan saat dia tidak diketahui sudah ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Loving Again 28
"Sedang apa di sini Ais?"
"Oh Dokter, sedang cari angin sebentar. Terimakasih untuk kopinya."
Ais menerima kopi yang diberikan oleh Zein. Dia bukan gadis yang naif, dimana akan menolak pemberian orang dengan alasan tidak enak atau apalah.
Ais menganggap pemberian orang lain seperti ini adalah bagian dari rezeki. Apalagi dia tahu betul bahwa Zein tak memiliki maksud tertentu.
"Bagaimana kesan kamu berada di departemen bedah toraks?"
"Sama seperti yang sudah-sudah. Tapi saya senang karena mungkin saya akan mengambil spesialisasi di sana."
Yaaah
Zein nampak lesu. Agaknya keinginannya untuk merekrut Ais masuk ke departemen bedah syaraf akan gagal. Tapi tentu saja Zein tidak menyerah. Masih banyak waktu untuk membujuk Ais dan rekan-rekannya.
"Bang Zein."
"Alifa."
Zein terkejut ketika melihat Alifa ada di sana. Setelah putus mereka sama sekali tidak pernah berhubungan. Dan bagi Zein itu adalah hal yang wajar. Apalagi Alifa mengemukakan alasan minta putus untuk fokus dengan pendidikan magisternya.
"Bisa aku bicara dengan Abang?"
"Oh ya. Tentu."
Aisya langsung berdiri, dia kemudian pamit undur diri karena memang tidak ada alasan juga dirinya tetap berada di sana.
Ketika berjalan menjauh, Aisya masih mendengar apa yang Alifa dan Zein bicarakan.
Alifa berkata dengan jelas bahwa kedua orangtuanya akan bercerai. Reaksi Zein jelas terkejut tapi berbeda dengan reaksi Aisya. Gadis itu tersenyum simpul sembari kakinya melangkah pergi dari tempat itu.
"Itu baru bercerai. Kau akan semakin terkejut lagi saat tahu bahwa kamu adalah anak hasil hubungan terlarang. Alifa Alifa, hidup itu tak selalu indah. Dan kamu harus juga mendapat pengalaman pahitnya hidup. Tapi tenang saja, aku tak akan memberitahu fakta itu dalam waktu dekat ini. Tidak, masih butuh beberapa saat lagi untuk mu tahu fakta yang sebenarnya."
Dengan mengepalkan tangannya erat, Aisya pergi. Dia tampak puas mengetahui Hendra dan Delia akan berpisah. Tapi buka berati dia akan menerima Hendra kembali. Tidak, tidak demikian.
Bagi Aisya saat ini keruntuhan keluarga harmonis yang ditampilkan oleh Hendra, Delia dan Alifa adalah tontonan yang menyenangkan. Ternyata dia tidak perlu melakukan apapun untuk membuat keluarga itu hancur. Karena mereka ternyata hancur dengan sendirinya.
"Mungkin memang ungkapan itu benar adanya. Sesuatu yang dihasilkan karena kecurangan pada akhirnya pun tidak akan berakhir baik juga."
Aisya berjalan lurus ke depan, dan tidak sedikit pun menolehkan kepala nya ke belakang. Baginya isak tangis yang keluar dari bibir Alifa tadi hanyalah suara brisik yang tidak perlu dia perhatikan.
Untuk ukuran anak manja, tentu hal tersebut sangat mengejutkan. Tapi pengalaman itu akan membuat Alifa menjadi lebih dewasa dari pada sebelumnya.
"Hiks hiks hiks, aku sungguh tidak menyangka Papa dan Mama akan bercerai. Bahkan sekarang Papa sudah tidak tinggal di rumah."
Zein hanya diam. Dia sama sekali tidak bisa banyak memberi tanggapan, karena memang bukan ranahnya. Hubungannya dengan Alifa sudah putus, jadi Zein merasa tidak ada hak untuk berkomentar.
"Bang, kok cuma diam saja."
"Maaf Fa, aku tidak bisa banyak komentar. Apapun yang terjadi pada orang tuamu tentu sudah jadi keputusan mereka. Ah iya Fa, maaf ya aku harus segera masuk. Itu sudah adzan magrib juga. Permisi ya Fa. Aku doakan semoga keluargamu baik-baik saja. Meskipun nanti akhirnya papa dan mama mu berpisah, mereka tetaplah orang tuamu."
"Bang."
Alifa terpaku ketika Zein pergi begitu saja. Zein yang sekarang sungguh berbeda dengan Zein yang dulu.
Ada rasa kesal yang menyusup dalam hati Alifa saat ini. Zein nampak acuh padanya.
Agaknya Alifa lupa kalau mereka bukan lagi sepasang kekasih. Dan yang memutuskan hubungan juga adalah dia.
"Kok jadi begini dia sekarang. Kenapa jadi tak acuh? Ck, memang tidak bisa diandalkan."
Alifa berdiri lalu menghentakkan kakinya. Jauh-jauh dia datang dari Bogor ke Jakarta tapi ternyata sampai sini dia sama sekali tak mendapatkan penghiburan.
"Kenapa Papa sama Mama harus pisah?"
Pertanyaan itu kembali menyeruak. Alifa masih tidak habis pikir dengan semua itu.
***
"Lho Dok, kok sudah di sini? Bukannya tadi masih mengobrol dengan Alifa?"
"Sudah magrib, aku pamit untuk menyudahi pembicaraan kami. Lagi pula kami juga sudah tidak ada hubungan apapun. Jadi aku pribadi tak perlu berlama-lama duduk bersamanya untuk mendengarkan urusan pribadinya. Jika dipikir-pikir, kayaknya tidak pas begitu."
Aisya paham dengan apa yang dibicarakan oleh Zein. Dan dia pun setuju dengan pendapat dari pria itu.
Aisya pikir Zein akan sangat kehilangan Alifa sehingga sulit untuk move on. Tapi melihat sikap Zein terhadap Alifa membuat Aisya tahu kalau Zein agaknya sudah merelakan hubungannya yang kandas.
"Aisya!"
"Dokter Damar, Dokter baru saja dari masjid juga?"
"Iya, mari kembali ke departemen bersama."
Damar menepuk bahu Zein lalu membawa Aisya pergi bersamanya. Damar adalah dokter residen tahun terakhir, dia adalah teman Zein atau lebih tepatnya Damar adalah senior Zein meskipun beda spesialisasi yang diambilnya.
"Kenapa Aisya tampak begitu akran dengan Dokter Damar. Dia bicara sangat nyaman. Tapi kenapa dengan ku tidak ya?"
Bukan tanpa alasan Zein bicara demikian. Selama lebih dari 2 minggu Aisya berada di departemennya, dia tahu betul Aisya adalah gadis yang datar. Dia akan bicara seperlunya. Jika ditanya pun hanya akan menjawab seperlunya saja.
Tapi apa yang ia lihat sekarang ini berbeda. Aisya tampak bicara dengan santai dengan Damar. Bahkan sesekali gadis itu tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Aku jadi penasaran mengapa Damar bisa begitu akrab dengan Aisya? Haaah aku ini kenapa sih. Gadis itu mau bicara dengan akrab dan nyaman dengan siapa saja itu kan urusannya dia juga. Kenapa aku jadi yang repot."
Zein membalikkan badannya dan kembali ke tempat dimana dia bekerja. Tapi agaknya hatinya tetap masih penasaran dengan keakraban Aisya dan Damar.
Bibirnya tadi bisa bicara begitu tapi ternyata hatinya tidak selaras dengan yang diucapkan.
TBC