NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# **BAB 6: BISIKAN DI BALIK MEJA

**

Minggu pertama sebagai Nyonya Erlangga terasa seperti mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir.

Alara menghabiskan hari-harinya sendirian di mansion yang luas itu. Nathan pergi sebelum matahari terbit, pulang jauh setelah tengah malam—atau kadang tidak pulang sama sekali. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Seolah Alara hanya furniture yang kebetulan ada di rumahnya.

Ia mencoba mengisi waktu dengan membaca, menggambar, atau berjalan-jalan di taman. Tapi kekosongan itu terus menggerogoti. Setiap sudut mansion itu penuh dengan hening yang mencekik—hening yang mengingatkannya bahwa ia hidup dalam pernikahan tanpa suara, tanpa sentuhan, tanpa... apa pun.

Malam kelima, Alara duduk sendirian di ruang makan yang panjang. Di hadapannya, makan malam mewah yang disiapkan Bi Sari—steak, salad, sup krim. Tapi ia hanya menatapnya kosong. Sendok dan garpu terasa berat di tangannya.

*Untuk apa semua ini kalau aku makan sendirian?*

Ia menyendok sup, menelannya tanpa merasakan apa pun. Seperti menelan pasir.

"Nona Alara..." Bi Sari datang menghampiri dengan ragu-ragu. "Maaf, tapi... apa Nona tidak ingin ke kantor? Tuan Nathan bilang Nona bisa mulai bekerja di Erlangga Corp kapan saja."

Alara mengangkat wajah. Bekerja? Ia hampir lupa—dalam kontrak, disebutkan bahwa ia akan ditempatkan di divisi desain Erlangga Corp. Tapi selama ini Nathan tidak pernah menyinggungnya.

"Tuan Nathan bilang begitu?" tanya Alara pelan.

"Ya. Beliau bilang kalau Nona siap, tinggal hubungi HRD."

Alara terdiam. Sebagian dirinya ingin menolak—bekerja di perusahaan Nathan berarti akan bertemu dengannya, berarti harus berpura-pura di depan orang banyak. Tapi sebagian lain... sebagian lain ingin keluar dari mansion ini. Ingin melakukan sesuatu. Ingin tidak terus-terusan menenggelamkan diri dalam kekosongan.

"Baik," kata Alara akhirnya. "Besok aku akan ke kantor."

---

**KEESOKAN HARI, ERLANGGA CORP - DIVISI DESAIN, LANTAI 15**

Alara datang pukul 8 pagi. Ia mengenakan blazer abu-abu dan celana bahan hitam—simpel, profesional. Rambutnya diikat rapi, make up tipis menutupi bayangan hitam di bawah matanya.

Manajer HRD mengantar Alara ke divisi desain—ruang terbuka dengan meja-meja yang berjajar rapi, komputer di setiap meja, dan beberapa orang yang sudah sibuk bekerja.

"Ini Alara Davina, designer baru kita," perkenalan manajer HRD dengan senyum ramah. "Tolong bantu dia beradaptasi ya."

Semua mata di ruangan itu menoleh. Tatapan mereka menilai—dari kepala sampai kaki.

Dan Alara bisa merasakan—ada yang berbeda dalam tatapan itu. Bukan tatapan menyambut rekan kerja baru. Tapi tatapan... penasaran. Curiga. Bahkan sinis.

"Alara Davina?" seorang wanita berambut pendek—mungkin akhir 20-an—mendekati dengan senyum yang tidak sampai ke mata. "Nama belakangmu... Davina. Itu nama perusahaan kecil yang baru diakuisisi Erlangga Corp, kan?"

Jantung Alara berdegup lebih cepat. Ia mengangguk pelan. "Ya. Itu perusahaan ayah saya."

"Oh..." Wanita itu mengangguk-angguk, tapi sorot matanya berubah. "Pantas."

Ada nada mencemooh di sana. Halus, tapi terasa.

Manajer HRD pamit, meninggalkan Alara dengan tim barunya. Seorang pria muda—mungkin seusia Alara—menghampiri dengan senyum lebih tulus.

"Hai, aku Rian. Graphic designer. Duduk di sebelah sini aja." Ia menunjuk meja kosong di pojok.

"Terima kasih," Alara tersenyum tipis, lega ada yang bersikap ramah.

Ia mulai menyalakan komputer, mencoba fokus pada pekerjaan pertamanya—revisi desain brosur untuk proyek perumahan baru Erlangga Corp. Tangannya bergerak di atas tablet grafis dengan lincah—ini wilayahnya. Ini yang ia kuasai.

Tapi telinganya tidak bisa tidak mendengar bisikan dari meja belakang.

"Kau lihat kan? Itu istri Pak Nathan."

"Serius? Istri CEO kerja di sini? Kok nggak di ruang direktur aja?"

"Katanya sih pernikahan kontrak. Ayahnya bangkrut, terus Nathan Pak bail out perusahaannya dengan syarat nikah."

"Gila... jadi dia cuma... dijual gitu?"

"Ssst, pelankan suara. Ntar dengar."

Tapi Alara sudah mendengar. Setiap kata menancap seperti jarum kecil di dadanya.

Tangannya berhenti bergerak. Ia menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Napasnya tercekat.

*Mereka tahu. Semua orang tahu.*

"Alara?" Rian menyadari Alara terdiam. "Kamu kenapa? Nggak enak badan?"

"Tidak... aku baik-baik saja," Alara memaksa senyum, meski tangannya gemetar sedikit.

Tapi Rian menatapnya dengan tatapan yang berbeda—tatapan yang mengerti. Sepertinya ia juga mendengar bisikan tadi.

"Jangan dipikirin," bisik Rian pelan. "Orang-orang di sini suka gosip. Abaikan aja."

Alara mengangguk, mencoba kembali fokus. Tapi konsentrasinya buyar. Setiap kali ia mendengar tawa kecil dari belakang, ia merasa itu tawa yang mengejeknya. Setiap kali ada yang menatapnya, ia merasa seperti objek tontonan.

---

**JAM MAKAN SIANG**

Alara membawa bekal dari rumah—nasi dan ayam sederhana yang disiapkan Bi Sari. Ia mencari tempat duduk di kantin yang ramai.

Tapi begitu ia mendekat ke meja kosong, dua wanita yang sudah duduk di sana langsung berdiri, membawa nampan mereka pergi. Tanpa kata. Hanya tatapan sinis sekilas.

Alara membeku. Perutnya mual.

"Alara, sini!" Rian melambaikan tangan dari meja pojok. "Duduk sama aku aja."

Alara menghampiri dengan langkah gontai. Ia duduk, membuka kotak bekalnya, tapi nafsu makannya hilang.

"Maaf ya," kata Rian pelan sambil menyuap nasinya. "Orang-orang di sini... agak...

"Sinis?" Alara melanjutkan dengan senyum pahit.

"Ya, begitulah." Rian menggaruk kepalanya canggung. "Mereka iri, sih. Maksudku... kamu istri CEO. Posisi yang banyak orang... yah, kamu tahu lah."

Alara tertawa—tawa yang hampa. "Posisi yang banyak orang inginkan? Kalau mereka tahu rasanya, mereka nggak akan iri."

Rian menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, tapi tidak bertanya lebih jauh.

Alara menyendok nasinya, menelan dengan susah payah. Setiap suapan terasa seperti menelan batu.

Di sudut matanya, ia melihat sekelompok wanita dari divisi lain menatapnya sambil berbisik. Salah satu dari mereka—wanita cantik berambut panjang dengan dress ketat—menatapnya dengan pandangan meremehkan, lalu tertawa kecil bersama teman-temannya.

Alara menunduk, fokus pada piring di hadapannya. Tapi air matanya mulai memanas.

*Jangan nangis. Jangan nangis di sini. Jangan biarkan mereka lihat kau lemah.*

Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan.

"Alara..." Rian terdengar khawatir. "Kamu yakin baik-baik aja?"

"Aku baik," jawab Alara cepat, tapi suaranya bergetar.

Ia bangkit tiba-tiba, menutup kotak bekalnya yang hampir tidak tersentuh. "Aku... aku mau ke toilet sebentar."

Tanpa menunggu jawaban, Alara berjalan cepat keluar kantin. Langkahnya terburu-buru, mencari tempat di mana ia bisa sendirian.

Ia masuk ke toilet wanita yang sepi di ujung koridor. Begitu pintu tertutup, kakinya lemas. Ia bersandar di wastafel, menatap pantulan dirinya di cermin.

Wajahnya pucat. Matanya sembab. Bibir bawahnya bergetar.

Dan akhirnya—air mata yang sudah ia tahan sejak tadi pagi—jatuh.

Alara menutupi mulutnya dengan tangan, mencoba meredam isak. Tapi tubuhnya bergetar hebat. Ia tidak kuat lagi.

*Ini baru hari pertama. Baru hari pertama... dan aku sudah ingin pulang.*

Tapi pulang ke mana? Mansion itu bukan rumah. Kantor ini bukan tempat ia diterima.

Ia tidak punya tempat.

Alara merosot, duduk di lantai keramik dingin itu. Kepalanya tertunduk, tangannya memeluk lututnya. Ia menangis dalam diam—karena ia tidak mau ada yang dengar. Tidak mau ada yang tahu betapa rapuhnya ia sekarang.

Pintu toilet terbuka.

Alara cepat mengusap air matanya, berdiri dengan susah payah.

Tapi yang masuk adalah wanita cantik dari kantin tadi—yang menatapnya dengan pandangan meremehkan.

Wanita itu berhenti, menatap Alara dengan alis terangkat. "Oh. Kamu."

Alara diam, berusaha tenang meski matanya masih basah.

Wanita itu melangkah ke cermin, memperbaiki lipstiknya dengan santai. "Jadi... kamu istri Pak Nathan, ya?"

Alara tidak menjawab.

"Lucu juga," wanita itu tertawa kecil, menatap pantulan Alara di cermin. "Aku kerja di sini 5 tahun. Banyak wanita di perusahaan ini ngejar Pak Nathan. Cantik, pintar, dari keluarga baik-baik. Tapi dia nggak pernah lirik."

Ia berbalik, menatap Alara langsung. "Eh, tiba-tiba dia nikah sama... kamu. Orang yang bahkan baru pertama kali kerja di sini."

Nada bicaranya menusuk.

Alara menelan ludah, mencoba menjaga harga diri. "Itu urusan pribadi."

"Pribadi?" Wanita itu menyeringai. "Semua orang di sini tahu kok. Pernikahan kontrak. Ayahmu bangkrut, Nathan bail out, terus kamu jadi istrinya sebagai... kompensasi."

Kata terakhir itu diucapkan dengan nada yang sangat merendahkan.

Alara mengepalkan tangannya. Dadanya sesak. Tapi ia tidak mau kalah.

"Kalau kamu iri, bilang aja," kata Alara pelan, tapi tegas. "Aku nggak peduli apa kata kamu atau orang lain. Aku di sini untuk bekerja. Bukan untuk cari validasi."

Wanita itu tersentak, tidak menyangka Alara membalas.

Alara berjalan melewatinya, keluar dari toilet dengan langkah yang berusaha terlihat tenang.

Tapi begitu pintu tertutup, kakinya hampir limbung. Ia bersandar di dinding, napasnya memburu.

*Aku bisa. Aku harus bisa. Aku tidak boleh lemah.*

Tapi air matanya jatuh lagi—kali ini karena marah, karena lelah, karena sakit yang tak tertahankan.

---

**MALAM HARINYA, MANSION**

Alara pulang dengan tubuh remuk. Ia langsung naik ke kamarnya, merebahkan diri di tempat tidur tanpa berganti pakaian.

Matanya menatap langit-langit kosong. Pikirannya melayang pada semua tatapan sinis, bisikan, dan kata-kata menyakitkan hari ini.

*Apakah ini yang harus aku jalani setiap hari?*

Pintu kamarnya diketuk pelan.

"Nona Alara? Makan malam sudah siap," suara Bi Sari dari luar.

"Aku nggak lapar, Bi. Terima kasih."

Hening sejenak. "Tuan Nathan sudah pulang. Beliau menunggu di ruang makan."

Jantung Alara berdegup. Nathan... pulang?

Ia bangun perlahan, merapikan rambutnya seadanya, dan turun ke ruang makan.

Nathan duduk di kepala meja dengan jas yang sudah dilepas, lengan kemeja digulung. Di hadapannya, laptop masih menyala—ia bekerja sambil menunggu.

Alara duduk di ujung meja—seperti biasa. Jarak yang jauh.

Mereka makan dalam diam. Tidak ada percakapan. Tidak ada tatapan.

Tapi tiba-tiba Nathan bersuara.

"Bagaimana hari pertamamu?"

Suaranya datar, tapi itu pertanyaan pertama yang Nathan ajukan sejak mereka menikah.

Alara mengangkat wajah. Untuk sesaat, ia ingin jujur. Ingin bilang betapa menyakitkannya. Betapa ia dihina. Betapa ia ingin pulang—tapi tidak punya tempat untuk pulang.

Tapi yang keluar dari mulutnya hanya:

"Baik. Semuanya baik."

Nathan menatapnya sebentar—tatapan yang menyelidik. Seolah ia tahu Alara berbohong.

Tapi ia tidak mendesak.

"Bagus," katanya singkat, lalu kembali fokus pada laptopnya.

Dan seperti itu, percakapan pertama mereka berakhir.

Alara menatap piring di hadapannya. Sesuatu di dadanya remuk lagi.

*Bahkan suamiku sendiri tidak peduli.*

Ia menyelesaikan makan malamnya dalam diam—diam yang sudah menjadi teman setia dalam pernikahan tanpa suara ini.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 7]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!