Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan Ajie
Rahmad Ajie duduk diam. Masih dengan kaus oblong yang belum sempat diganti sejak semalam, ia menatap ke luar jendela yang buram, membiarkan cahaya matahari menabrak wajahnya.
Matanya kosong. Badannya pegal. Tapi bukan itu yang bikin napasnya berat.
Itu cahaya. Cahaya sialan itu.
Ledakan cahaya dari Glamora semalam masih membekas di matanya, seolah-olah masih menyala di belakang kelopak. Serangan itu nggak cuma terang, tapi menyakitkan—bukan cuma secara fisik, tapi juga mental. Dan yang lebih nyebelin lagi? Dia tahu dia kalah.
“Kalau aja aku lebih cepet… kalau aja aku mikir dua langkah ke depan…” gumamnya sendiri.
Ajie menunduk, menatap kedua tangannya. Tangannya itu masih terasa getarannya. Efek benturan antara cahaya Glamora dan cat hijau dari tangannya menghasilkan dentuman yang bukan main. Dia berhasil menangkis serangan itu, tapi bukan tanpa harga. Bangunan sekitarnya rusak, warga panik, dan—yang paling nyakitin—ada anak kecil yang sempat kena puing dan pingsan.
Ajie mengingatnya jelas. Gadis kecil berjaket pink itu. Menangis sambil digendong ibunya, berlumur debu dan darah tipis di dahinya.
Itu bukan kemenangan. Itu kekacauan.
Dia menghela napas panjang. Matanya pindah ke pojok kamar. Di situ berdiri armor-nya, Spectrum Core Suit, yang sekarang lagi dalam mode diam. Lapisan ungu gelapnya terlihat kusam. Tabung cat di punggungnya setengah kosong. Di bagian dada ada goresan membakar hasil serangan langsung Glamora.
Ajie bangkit, berjalan pelan ke arah armor itu. Telapak tangannya menyentuh helm yang tergantung di sisi. Permukaannya dingin, kasar. Benda ini menyelamatkannya. Tapi juga menahannya. Dia sadar satu hal—armor-nya hebat, tapi nggak sempurna. Dan musuhnya, Glamora, bukan sekadar wanita gila haus perhatian.
Dia pernah lihat banyak orang gila. Tapi bukan yang bisa memanipulasi cahaya dan suara sampai segitunya. Sampai bikin tubuhnya sendiri jadi senjata. Glamora bukan cuma show-off. Dia ahli. Dia tahu persis apa yang dia lakukan—dan tahu gimana bikin Ajie kehilangan ritme.
Ajie memejamkan mata, dan kilasan itu datang lagi. Hologram-hologram Glamora menari di udara, menyamar jadi orang-orang tak berdosa. Suara-suara manipulatifnya masuk ke telinga kayak racun. Dan Ajie—ya, Ajie tertipu. Dia sempat menyerang hologram yang dia kira nyata, dan sempat menahan diri di saat dia harusnya menyerang.
Dia ragu. Dia terlalu mikir. Dan di tengah keraguan itu, Glamora menghantamnya.
“Cat hijau… terlalu lambat. Nggak bisa nyerap serangan energi cahaya langsung,” gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri. “Cat putih? Mungkin bisa netralisir… tapi butuh waktu untuk aktif. Glamora nggak ngasih ruang.”
Pikiran Ajie berputar, mencoba mengingat tiap detik dari pertarungan semalam. Dia buka satu persatu kemungkinan, menganalisis ulang serangan, refleks, dan respons armor. Dia seperti montir yang lagi ngebongkar mesin mogok di pikirannya sendiri.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari bawah. Berat dan pelan.
“Makan, Ji,” suara Faisal dari bawah terdengar.
Ajie nggak langsung jawab. Dia masih diam, tangannya masih menyentuh armor itu.
“Ji?” ulang Faisal.
“Bentar,” jawab Ajie singkat.
Dia berjalan ke meja kecil di dekat jendela, narik kursi, lalu duduk sambil mengambil secarik kertas bekas nota bengkel. Di baliknya, dia mulai coret-coret. Gambar kasar bentuk gelombang cahaya, diagram armor, dan tabung warna. Dia mulai nyari pola.
Kalau cahaya Glamora itu berbasis sinar terfokus, maka ada kemungkinan dia bisa dibiaskan, atau diserap. Tapi armor sekarang cuma mampu menyaring energi fisik atau suhu ekstrem, bukan spektrum optik. Jadi...
“Aku butuh filter... atau semacam lensa penangkal. Sesuatu yang bisa dipasang di lapisan luar,” gumamnya.
Coretan makin banyak. Goresannya tajam, cepat, tapi penuh tujuan. Sesekali dia berhenti, merenung, lalu melanjutkan lagi. Di tengah semua itu, tangannya sedikit gemetar. Bukan karena kelelahan—tapi karena kesal.
Kesal sama dirinya sendiri.
“Gue bisa bikin armor hebat, bisa ngalahin pasukan bersenjata, bisa ngacauin markas Altheron... tapi satu seleb gila bikin gue kelabakan?” desisnya.
Pintu kamarnya diketuk lagi.
“Kopi udah dingin, Ji,” suara Faisal lagi, kali ini lebih pelan.
Ajie bangkit tanpa suara, turun ke bawah. Di meja makan yang kecil dan penuh bekas baut, dua cangkir kopi hitam sudah menunggu. Faisal duduk sambil main HP, tapi wajahnya menyimpan tatapan yang tahu—tatapan orang yang sadar kawannya lagi kacau tapi nggak tahu harus ngomong apa.
“Semalam heboh banget di medsos,” Faisal membuka percakapan.
Ajie hanya mengangguk, mengambil cangkir dan menyesap sedikit.
“Mereka pikir lo berantem sama artis yang lagi promo album hologram.”
Ajie menyeringai pahit. “Kenyataannya, nyaris mati.”
Faisal meletakkan HP-nya. “Lo tau, Ji. Gue liat lo. Lo nggak kalah. Lo hidup. Lo nyelametin warga. Itu udah cukup.”
Ajie menatap Faisal, diam.
“Lo mau bilang itu cukup?” suara Ajie pelan, tapi nadanya menggigit. “Ada anak kecil yang kena puing. Kalau cat hijau gue telat setengah detik, dia bisa mati. Gue terlalu lama mikir.”
Faisal terdiam. Lalu pelan-pelan berkata, “Lo manusia, Ji. Bukan mesin. Lo bukan dewa warna yang bisa tau segalanya sebelum terjadi.”
Ajie menunduk, mendekap cangkir kopi-nya. Panasnya sudah hilang. Yang tersisa cuma pahitnya.
“Gue harus upgrade armor-nya,” ujarnya. “Harus bisa nangkep spektrum cahaya. Harus lebih responsif. Lebih cepat pilih warna. Kalau perlu, otomatis.”
“Dan lo juga harus tidur,” timpal Faisal sambil berdiri, ngeloyor ke dapur.
Ajie tersenyum tipis. Di tengah kekacauan itu, punya orang seperti Faisal adalah satu-satunya hal yang bikin hidup masih terasa... waras.
Dia kembali ke kamarnya beberapa menit kemudian. Duduk di lantai, menghadap armor Spectrum Core Suit yang masih diam seperti patung penjaga. Tapi di balik keheningan itu, ada janji.
Glamora berhasil bikin dia jatuh semalam. Tapi itu nggak bakal terjadi dua kali.
Ajie menatap helmnya. Matanya mengeras.
“Aku bakal siap,” bisiknya. “Next time, lo yang kena ledakan".
Bersambung........