Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Bab 7. Gadis Pilihan Ibu
Sepulang dari rumah ibu Sharon, Leon memutar stir mobilnya menuju kediaman orang tuanya di kawasan elit Menteng. Biasanya, ia menghindari mampir, apalagi jika ibunya sedang dalam mode "mencarikan jodoh." Namun, hari itu entah kenapa, mungkin karena pikirannya terlalu sesak, ia butuh suasana lain sebelum kembali ke apartemennya yang terasa terlalu sepi.
Begitu mobilnya berhenti di pelataran rumah besar bergaya Eropa itu, seorang pelayan membukakan pintu dan menyambutnya dengan hangat.
"Selamat datang, Tuan Muda Leon."
"Di dalam ada Mama?" tanyanya sambil berjalan masuk.
"Ada, Tuan. Tapi ... beliau sedang menerima tamu."
Leon hanya mengangguk kecil. Ia melangkah masuk ke ruang tamu utama dan matanya langsung tertumbuk pada sosok ibunya yang duduk anggun di sofa, ditemani seorang wanita paruh baya dan seorang gadis muda. Gadis itu mengenakan blus putih dan rok panjang selutut, rambutnya sedikit bergelombang tergerai rapi, dan senyumnya manis. Namun, di mata Leon, itu hanya sekilas senyum tanpa arti.
“Leon, sayang! Wah, kebetulan sekali kau mampir,” seru sang ibu, Bu Meylania, dengan wajah cerah. “Sini, duduk. Mama ingin mengenalkan seseorang," ucapnya bersemangat.
Leon melangkah mendekat, sedikit enggan, tapi tetap sopan. Ia mencium pipi ibunya lalu menoleh ke tamu-tamu itu.
“Ini Tante Lara, teman Mama waktu kuliah. Dan ini... putrinya, Metha.”
Metha bangkit dengan sopan dan mengulurkan tangan. “Hai, Leon. Sudah lama nggak ketemu ya. Terakhir kita ketemu waktu acara perusahaan Mama, ingat nggak?”
Leon mengernyit sedikit, berpura-pura mengingat. “Oh. Ya, mungkin.”
Bu Meylania tertawa kecil. “Metha baru saja kembali dari London, dia ambil master di sana. Sekarang dia bantu-bantu usaha keluarganya. Pintar, cantik, dan sopan. Mama rasa ... kalian bisa cocok.”
Leon hanya duduk tanpa ekspresi. Pikirannya kembali ke rumah kecil milik ibu Sharon, suara lirih Sharon saat mabuk, dan tatapan penuh luka di matanya.
“Iya, Ma. Terserah Mama saja,” gumamnya tanpa niat.
Itu kesalahan fatal.
Sontak wajah Bu Meylania bersinar. “Terserah Mama? Jadi kamu setuju?” serunya senang. Termasuk Lara dan Metha. Wajah keduanya pun terlihat sumringah.
Leon mengerutkan dahi. “Apa?”
“Kamu tadi bilang terserah Mama, kan? Itu artinya kamu setuju dikenalkan lebih jauh dengan Metha.”
Leon ingin mengoreksi, tapi Metha sudah tertawa manis dan ibunya terlihat sangat bahagia.
“Bagus! Mama bakal atur makan malam resmi. Kalian bisa ngobrol lebih banyak, saling kenal lebih dalam.”
Sementara itu, Metha tampak senang bukan main. Ia melirik Leon dengan pandangan penuh harap.
Leon hanya memijat pelipisnya pelan. Kepalanya terasa berat. Hatinya jauh dari sini. Bahkan tatapan Metha pun tak bisa menyingkirkan bayangan Sharon dari pikirannya. Ia merasa terjebak, namun untuk saat itu, ia tidak ingin membuat ibunya kecewa.
"Baiklah, Ma. Tapi jangan terlalu buru-buru dan jangan terlalu berharap lebih," ucapnya akhirnya dengan nada datar.
“Oh, tentu! Mama nggak akan buru-buru. Tapi ... Mama sudah bahagia banget hari ini!” ucap Bu Meylania sambil menepuk tangan Melisha.
Leon hanya duduk diam. Di pikirannya, nama Sharon terus bergaung. Entah di mana wanita itu berada, apakah ia baik-baik saja... atau justru sedang berjuang sendiri melawan dunia.
Dan tanpa sadar, ia menggenggam erat foto hasil USG yang tadi sempat ia selipkan di saku jasnya.
"Sharon, di mana pun kamu berada... tunggu aku. Aku akan membuat semuanya benar."
---
Sementara itu, di sebuah kota yang kerap disebut sebagai kota pelajar, langitnya tampak mendung sore itu. Sharon duduk di beranda rumah kontrakannya yang kecil namun bersih. Rumah itu berada di pinggiran kota, tak jauh dari kebun sayur dan hamparan sawah. Sunyi dan tenang. Berbeda jauh dari hiruk pikuk kota Jakarta yang penuh tekanan dan luka.
Ia memegangi cangkir berisi wedang jahe yang sudah mulai dingin, lalu mengelus perutnya yang kini mulai sedikit menonjol.
"Selamat sore, Nak ... kamu baik-baik saja di dalam sana, kan?" bisiknya pelan sambil tersenyum samar.
Tak ada yang tahu di mana dirinya sekarang, kecuali Mischa. Bahkan ibunya pun tidak tahu alamat pastinya. Sharon hanya bilang ia dapat pekerjaan di luar kota dan akan rutin mengirimkan uang untuk pengobatan ibunya. Ia juga mengatakan tak bisa pulang untuk sementara waktu karena terikat kontrak. Ibunya sebenarnya sedih, namun ia pun tak bisa mencegah. Namun, sebenarnya ia sedih karena merasa menjadi beban bagi putri semata wayangnya.
Padahal kenyataannya, pekerjaan itu hanyalah freelance menulis artikel untuk sebuah portal wisata, dibayar per tulisan. Selebihnya, ia membantu salah satu warung makan kecil di ujung gang demi tambahan uang untuk makan dan tabungan persalinan. Ia lakukan ini untuk sementara saja. Ia pun sedang berusaha mengirimkan CV-nya ke beberapa surel, berharap segera mendapatkan panggilan untuk interview.
Hidup tidak mudah. Tapi setidaknya, di sini ia bisa bernapas.
Ia menengadah menatap langit. Rasa takut masih sering datang di malam hari, apalagi saat mimpi buruk tentang malam itu menghantuinya.
Tentang Leon.
Tentang rasa yang aneh, rumit, dan menyakitkan.
Tentang keputusan besar yang belum bisa ia pecahkan. Bagaimana caranya membesarkan anak ini seorang diri? Tanpa suami. Tanpa keluarga. Sharon pun belum berani menceritakan perihal kehamilannya, khawatir membuat ibunya syok kemudian kembali jatuh sakit.
Sharon kembali teringat Leon. Tapi bagaimana? Pria itu kasar, angkuh, penuh amarah. Ia hanya pelarian malam. Lalu ... tiba-tiba saja Sharon membawa anaknya? Ia paham alasan Leon tidak memercayainya. Hal itu wajar meskipun salah. Hanya saja, tidak seharusnya Leon langsung menuduhnya wanita murahan sementara ialah laki-laki pertama yang menyentuhnya. Ia juga mengatakan tidak peduli dengan anak ini, lantas apalagi yang bisa ia perjuangkan sementara Leon saja jelas-jelas menolak keberadaannya.
Sharon menghela napas dalam-dalam. Pikirannya kalut. Yang ia tahu, ia tidak bisa kembali. Belum sekarang. Terlalu berbahaya. Terlalu banyak hal yang belum bisa ia hadapi.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal.
"Sha, aku baru saja ditelepon Tante Maya. Terus Tante cerita, tadi ada temen kmu namanya Leon nyariin. Emang kamu punya temen yang namanya Leon? Kok aku nggak tau?"
Sharon terdiam. Tangannya sedikit gemetar saat membaca pesan itu. Dadanya bergemuruh.
Leon mencarinya? Kenapa? Bukankah dia sudah menolak anak itu? Atau dia mencarinya untuk meminta ia menggugurkan kandungannya?
Ia menutup ponsel pelan, lalu kembali menatap hamparan sawah di kejauhan sambil memeluk perutnya erat. Matahari mulai tenggelam, meninggalkan gurat jingga di langit barat. Bohong kalau ia mengatakan ia tak takut. Bagaimanapun, Leon adalah sosok yang berkuasa. Ia bis melakukan apa saja termasuk mempersulit dirinya bila mereka kembali bertemu.
Sharon tahu, ia tidak bisa sembunyi selamanya. Akan tiba waktunya kenyataan mengejarnya.
Tapi sebelum itu, ia harus menyiapkan segalanya. Untuk dirinya. Untuk anak yang sedang tumbuh dalam rahimnya.
Dan untuk pertemuan tak terhindarkan yang mungkin akan mengubah segalanya menjadi lebih baik atau lebih rumit.
Bersambung
...***...
Alhamdulillah bisa update jg setelah dari tadi sakit gigi sampai mau jerit rasanya. 🤧
Selamat membaca, Kak. Happy reading. 🥰🥰🥰
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho