Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 4 - Di bawa pergi
"Urus para wartawan itu dan jangan biarkan mereka membuat kegaduhan."
Suara tegas Adrian Atmaja menggema di tengah kemegahan pesta pernikahan yang belum selesai bahkan belum di mulai.
Tanpa basa-basi, ia berdiri dari kursi dan memberi isyarat ke dua orang kepercayaannya.
Beberapa detik kemudian, Azura sudah dituntun keluar dari ruangan. Riasan pengantin yang masih sempurna pun tampak kontras dengan ekspresi wajahnya yang bingung dan kosong.
Ia bahkan belum sempat berpamitan pada ayah atau lebih tepatnya ayah kandungannya yang tak pernah membela.
"T-Tunggu... kita mau ke mana...?," bisik Azura pelan dengan langkah yang terseret.
Namun, Pak Adrian tidak menoleh. Ia hanya berjalan cepat menuju mobil hitam mewah yang terparkir di halaman depan.
Melihat kejadian itu, pihak keluarga perempuan dan tamu pun mulai riuh.
"Eh? Kok pengantinnya dibawa pergi sekarang?"
"Biasanya resepsi dulu, kan?"
"Ada yang aneh... Tadi suaminya juga nggak jelas mukanya!"
"Iya, aneh banget. Tapi siapa sih yang berani komentar? Itu keluarga Atmaja."
"Aku dengar pengantinnya nggak waras katanya... Duh, masa sih?"
"Tapi yang ceweknya cantik banget. Kasihan kalau cuma jadi korban."
Di sisi lain, Rita dan Nadine tampak kebingungan. Lalu, mereka bergegas keluar, dengan riasan wajah mereka yang juga masih sempurna, sambil merapikan selendang masing-masing dengan tergesa.
"Pak Adrian! Tunggu dulu! Kita kan belum...—"
BLUG!!
Belum selesai bicara, pintu mobil langsung tertutup tepat di depan wajah mereka hingga membuat Rita dan Nadine terkejut.
"Uangnya sudah aku berikan, jadi aku berhak membawa menantuku," seru Pak Adrian, di balik kaca mobil yang setengah terbuka.
Tanpa penjelasan lebih, mobil hitam itu pun melaju, meninggalkan keramaian dan pertanyaan.
Sementara Wirawan, laki-laki paruh baya itu hanya menatap kepergian putrinya dengan tatapan yang sulit di artikan namun nampak sedikit ada kelegaan di matanya.
Entah apa yang di pikirkan ayahnya Azura itu. Adakah yang bisa menebaknya??
Beralih ke dalam mobil. Azura kini duduk dengan kaku, dan tangannya pun gemetar di pangkuannya. "Apa yang sebenarnya terjadi?," batin Azura
Sementara, mobil meluncur mulus menuju tempat yang tak Azura ketahui. Tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak.
Yang membuatnya membeku adalah pria di sebelahnya.
Seorang pria dengan wajah yang tenang dan nyaris seperti orang tertidur dengan badan yang tersandar ke pintu jendela.
Pakaian pria itu rapi namun longgar, pakaian yang persis dengan yang di pakai oleh laki-laki yang sudah menikahinya tadi.
Namun, kini Azura bisa melihat wajah pria itu dan bisa melihat ada bekas memar samar di bawah dagunya. "Diakah???."
Azura sedikit mencuri pandang dan melihat pria di sampingnya itu bernafas dengan teratur meski matanya tak pernah terbuka.
Lalu, Azura menoleh ke depan pada sopir dan penjaga dan bertanya, "M-maaf... dia... dia kenapa...?."
"Tuan Rangga memang sering lelah. Biarkan saja. Nanti juga bangun," jawab sang sopir singkat.
GLEK!!!!!!!!
Azura menelan ludahnya secara kasar. Tubuhnya semakin gemetar karena cemas dan gelisah. Cemas akan hidupnya kedepannya, gelisah apa hidupnya akan menjadi lebih baik atau sebaliknya. Ini kah pria yang kini sah menjadi suaminya?
_
_
_
Mobil terus melaju. Melewati perbatasan kota, menuju sebuah vila besar di dataran tinggi yang tersembunyi dari pandangan umum. Pintu dunia Azura yang dulu... benar-benar telah tertutup.
Dan di ujung sana, sebuah kehidupan baru menunggunya. Penuh rahasia... dan mungkin, bahaya.
**
Selama perjalanan, Azura hanya berdiam diri sambil merenungi nasib hidupnya.
Mobil pun terus melaju dengan pelan, menyusuri jalanan panjang yang mulai sepi. Di sambut udara sejuk dari dataran tinggi yang menyelinap masuk lewat celah jendela.
Sementara itu, di luar sana, hamparan sawah menghijau, langit yang tadinya mendung kini mulai terang, dan pepohonan berbaris rapi di sisi jalan.
Pemandangan itu begitu indah, tapi tidak untuk Azura.
Ia hanya duduk kaku dengan wajah yang terus menghadap ke jendela, dengan tangan yang mengepal di atas pahanya yang berbalut gaun pengantin.
Matanya menatap keluar, namun tak benar-benar melihat. Semua keindahan itu seperti ironi atas kehancuran batinnya.
"Setidaknya… tidak ada suara cercaan di sini…," gumamnya dalam hati.
Untuk sesaat, ia merasa... bebas. Tak ada Rita, tak ada Nadine, tak ada ejekan dan bentakan. Udara segar itu membawa napas yang lebih lega bagi Azura, meski hanya sebentar.
Namun saat Azura hendak mengubah posisi duduknya, ia menoleh ke kanan.
Dan, jantungnya nyaris berhenti.
Rangga.
Pria yang duduk diam sejak tadi, kini tengah menatapnya dengan tajam dengan posisi duduk yang menghadap ke arahnya.
Tatapan itu kosong, dingin, dan membekukan. Seolah-olah sorot mata itu bisa menelanjangi pikirannya dan menyelami ketakutannya. Seolah Rangga… bukan manusia biasa.
Spontan Azura menunduk dengan tubuh yang menegang.
"A-aku... m-maaf..." bisiknya, meski ia sendiri tidak tahu kenapa meminta maaf.
Lalu, tangan mungilnya mencengkeram ujung gaun pengantin, untuk mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup liar. Tapi, rasa takut itu tetap menggulung.
Perlahan, ia memberanikan diri menengadah kembali.
Dan Rangga, masih menatapnya.
Tak berkedip. Tak bergerak.
Hanya tatapan menakutkan yang terpaku padanya.
"Apakah... dia marah? Atau... dia tahu aku takut padanya?," pikir Azura.
Tapi pria itu tetap diam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, bahkan ekspresi pun tak berubah.
"Hentikan... hentikan menatapku seperti itu," batin Azura yang hampir menangis.
_
_
_
Beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam pun berlalu. Mobil mulai menanjak menuju sebuah gerbang besar dari batu, dihiasi taman dan lampu-lampu yang temaram.
Akhirnya, mobil yang di tumpangi Azura tiba di tempat tujuan. Sebuah Vila yang megah namun tampak sunyi.
Saat mobil berhenti, sang sopir langsung membukakan pintu belakang. Namun Rangga tidak langsung keluar dan matanya masih saja tertuju pada Azura.
Adapun Azura, ia tidak berani bergerak hingga penjaga datang dan membuka pintu sisi sebelahnya.
"Silakan turun, Nona Azura."
Dengan langkah gemetar, Azura pun keluar dari mobil dan di sambut angin sejuk yang menyentuh wajahnya, sehingga membuat riasannya sedikit berembun.
Meski begitu, ia masih belum sepenuhnya sadar dari ketakutan tatapan Rangga ketika suara pintu mobil sisi lain terbuka.
Azura pun menoleh dan melihat Rangga yang melangkah turun. Tanpa ekspresi. Tak berkata. Namun matanya tetap tak lepas dari Azura.
"Tatapan itu... Dia masih saja menatapku begitu." batin Azura.
"Selamat datang di rumah barumu, Azura. Mulai hari ini, inilah duniamu," sambut Pak Adrian yang sudah lebih dulu sampai dan berdiri di depan tangga.
Azura mencoba tersenyum, namun gagal. Lalu pandangannya kembali jatuh ke arah suaminya, pria yang kini berjalan pelan di belakangnya.
“Apa aku akan hidup bersamanya? Sendirian di tempat seperti ini?.”
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong