Aruna Mayswara terpaksa menerima pernikahan yang digelar dengan Jakson Mahendra-mantan kakak iparnya sendiri, lelaki yang sempat mengeyam status duda beranak satu itu bukan tandingan Aruna. Demi sang keponakan tercinta, Aruna harus menelan pahitnya berumah tangga dengan pria yang dijuluki diam-diam sebagai 'Pilot Galak' oleh Aruna dibelakang Kinanti-almarhumah kakak perempuannya. Lantas rumah tangga yang tidak dilandasi cinta, serta pertengkaran yang terus menerus. Bisakah bertahan, dan bagaimana mahligai rumah tangga itu akan berjalan jika hanya bertiangkan pengorbanan semata.
***
"Nyentuh kamu? Oh, yang bener aja. Aku nggak sudi seujung kuku pun. Kalo bukan karena Mentari, aku nggak mungkin harus kayak gini," tegas Jakson menatap tajam Aruna.
"Ya, udah bagus kayak gitu dong. Sekarang tulis surat kontrak nikah, tulis juga di sana perjanjian Mas Jakson nggak akan nyentuh tubuhku," ujar Aruna menggebu-gebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33. KEPUTUSAN JAKSON
"Mbak Mia kok repot-repot pakek bawa banyak barang ke sini," kata Aruna terlihat sungkan dengan beberapa paper bag yang diletakkan oleh Mia di atas meja ruang tamu.
Mia menggeleng sekilas, "Repot apanya, kamu udah kayak adiknya Mbak sendiri. Wajar dong seorang Kakak perempuan bawain keperluan adiknya, nah di sini juga ada buat Mentari."
Mia meraih paper bag berukuran besar, ada boneka kelinci di dalam paper bag. Mentari tersenyum lebar di saat Mia mengeluarkan boneka kelinci menyerahkan ke arah Mentari, Aruna ikut tersenyum.
"Bilang apa sama Tante Mia," kata Aruna lembut.
"Makasih, Tante," sahut Mentari terlihat malu-malu, mengucapkan kata terima kasih.
Mia terkekeh bahagia, ia mengangguk tatapan matanya terlihat menatap intens ke arah Mentari. Ada perasaan rumit di hati Mia melirik Mentari, malang sekali anak perempuan satu ini. Diombang-ambingkan oleh masalah orang dewasa, menjadi korban yang terluka lebih parah.
"Mentari main di kamar dulu ya, Mama mau ngomong sama Tante Mia dulu," tutur Aruna lembut, tangannya mengusap puncak kepala Mentari dengan lembut.
Mia terkesiap mendengar penuturan Aruna, Mentari turun dari sofa melangkah ke arah kamar utama. Mia kini membawa tatapan matanya ke arah Aruna, sejak kapan panggil pada wanita cantik di depannya ini berubah.
"Kamu kasih tau Mentari kalau kamu ini...."
Kepala Aruna mengeleng, dan berkata, "Panggilan baru ini Mentari yang berinisiatif Mbak, dia nggak tau apa-apa soal siapa aku sebenarnya. Dia pun nggak akan paham urusan rumit orang-orang dewasa, Mbak."
"Lalu bagaimana dengan keputusanmu sekarang, seperti yang kamu omongin tadi siang ditelepon kalau Jakson tau Mentari bukan putrinya. Lalu sekarang keadaannya kamu seperti ini, Aruna. Apa kamu mau balik kampung ngomong sama Om dan Tante soal masalah ini. Mau bagaimana pun mereka akan tau masalah ini, sebelum Jakson atau mungkin ibunya ngomong. Ada baiknya kamu jelasin apa yang terjadi sama mereka," ujar Mia memberikan nasihat pada Aruna.
Kedua orang tua Aruna harus tahu keadaan Aruna, bersembunyi selama ini karena Kinanti. Sekarang si pembuat masalah tidak lagi ada di dunia ini, kenapa Aruna yang harus menanggung semua rasa sakit ini. Mia mendadak dilema saat ini, di satu sisi kasian melihat Aruna. Tapi, di sisi lain itu adalah aib Kinanti di masa lalu.
"Mama nggak akan mampu buat menanggung beban ini, Mbak. Kehilangan Mbak Kinanti aja bikin Mama sering melamun gimana bisa Mama tau. Kalau Mentari adalah putriku, Mama bisa dilahirkan ke rumah sakit, Mbak." Aruna menundukkan kepalanya, jari jemari lentik Aruna saling bertautan.
"Terus kamu untuk kedua kalinya harus kayak orang bodoh, menahan semua seorang diri. Kamu ini nggak punya apa-apa, Aruna. Belum selesai kuliah, biaya Mentari mau didapatkan dari mana. Jangan lupakan anak yang ada di rahimmu saat ini, kamu butuh biaya yang nggak main-main." Mia mengingatkan Aruna posisinya saat ini.
Aruna terdiam lama sekali, hatinya sedih. Bagaimana ia harus merepotkan keduanya lagi dan lagi, tidak terbayang seberapa marah dan kecewanya kedua orang tuanya. Mia bangkit dari posisi duduknya melangkah mendekati Aruna, memeluk Aruna dari samping mengusap lembut punggung belakang Aruna.
"Aku harus gimana, Mbak?" tanya Aruna parau.
"Gini aja, rumah ini kamu sewain aja. Tinggal bareng Mbak di apartemen bawa Mentari, kalau kamu kerja nanti kita bisa ganti-gantian buat jagain Mentari. Kalau bisa cari kerja online yang bisa dilakukan via rumah, jadi keuanganmu bisa lebih baik ke depannya," balas Mia memberikan saran.
Bagaimana bisa Aruna merepotkan Mia lagi, dulu pun wanita cantik di sampingnya ini membatu tanpa pamrih.
"Aku makin merasa nggak enak sama Mbak Mia," gumam Aruna lirih.
"Berapa kali Mbak bilang, jangan ngomong kayak gitu. Mbak nggak ada masalah, toh di apartemen juga sendirian dan kesepian. Kalau ada kamu dan Mentari, Mbak nggak bakalan kesepian lagi," ucap Mia meyakinkan Aruna.
Harapan Mia adalah kehidupan Aruna bisa jauh lebih baik, menemukan kebahagiaannya. Mia merasa kasian melihat Aruna dirundung luka seperti ini, sebagai seorang wanita ia ikut merasa sakit. Diam-diam menyalahkan Kinanti, kenapa dia sejahat itu pada adiknya sendiri.
...***...
"Mau kemana Jakson," tegur Miranda di saat putranya ke luar dari kamar.
Jakson melirik ke arah sang ibu yang duduk di sofa ruang keluarga melirik ke arahnya, ibunya ini sudah dua hari berada di rumah menjaga Jakson. Elena dan putrinya datang menjenguk Jakson selama dua hari ini, Miranda melarang Jakson untuk menyentuh ponselnya. Karena kondisinya yang lemah, Jakson mengalah. Saat ini ia merasa jauh lebih baik dibandingkan dua hari yang lalu, luka di tangannya pun sudah mengering.
"Ketemu Viki, Ma," jawab Jakson berdusta.
"Viki atau wanita sialan itu, huh," balas Miranda mendengus kesal.
Miranda mungkin tidak tahu apa masalah putra dan menantunya hingga Aruna pergi dari rumah, tidak munafik jika dia bahagia melihat pertengkaran ini. Jika bisa Aruna pergi untuk selama-lamanya, sementara untuk Mentari dia akan pikirkan nanti. Kehadiran Elena menghibur Miranda, perempuan yang lemah lembut itu jauh lebih baik.
Apalagi dia memiliki pengalaman menjadi seorang ibu, pekerjaan Elena pun cukup bagus keluarga mereka saling kenal sejak lama. Elena tidak akan seperti Kinanti yang bisa menghabiskan uang putranya saja, menguras tabungan Jakson tanpa kejelasan. Bahkan Kinanti membeli rumah untuk Aruna diam-diam, membuat Miranda semakin tidak suka kakak-beradik yang dinilai sebagai parasit di kehidupan putranya.
"Nggak, Ma. Kalau Mama nggak percaya biar Mama langsung ngomong sama Viki saja sekarang." Jakson bermaksud merogoh saku jaketnya, Jakson mendapat sang ibu mengeleng.
"Ya, sudah kalau gitu. Pulangnya jangan kemalaman. Bawa supir ingat, kondisi tubuhmu belum sepenuhnya membaik. Mama nggak mau terjadi apapun sama kamu," tutur Miranda, tatapan matanya terlihat serius.
Jakson mengangguk hanya karena tidak ingin memperpanjang pembicaraan, Jakson melanjutkan langkah kakinya. Miranda menatap punggung belakang sang putra, keras kepala sekali putranya ini.
"Makin ditahan, makin melawan. Sulit sekali ngurusin anak lelaki, Ya Tuhan." Miranda mengeluh.
...***...
Viki mendesah kasar melihat kedatangan Jakson ke apartemennya, dua hari kehilangan kontak. Tiba-tiba tanpa pemberitahuan berada di apartemennya, beruntung Viki tidak dinas hari ini. Jakson masuk ke dalam apartemen menyelonong duduk di sofa ruangan tamu apartemen, merebahkan tubuhnya di atas sofa. Viki menutup pintu apartemennya, ikut melangkah mendekat sofa berkacak pinggang menghadap ke arah Jakson.
"Sekarang apalagi sih, Jak!" seru Viki malas dihadapkan dengan masalah rumit Jakson yang dinilai bebal.
"Aku sudah memutuskan," jawab Jakson terdengar ambigu.
Kedua alis mata Viki berkerut, tidak paham dengan apa yang telah diputuskan oleh Jakson.
"Kamu ngomong apa sih, yang jelas kalau ngomong Jakson," keluh Viki berdecak kesal.
Kepala Jakson mendongak menatap ke arah Viki. "Aku akan mencari tau apa yang terjadi sebenarnya, siapa ayah kandung Mentari. Lalu memutuskan apa yang akan aku lakukan setelah mencermati keadaan, seperti apa yang kamu katakan tempo hari."
"Tumben waras," sarkas Viki mendapatkan tatapan tajam dari Jakson.
"Aku ke sini minta bantuan kamu, tolong bantu aku mencari tau. Aku mau kamu bantu cari detektif swasta yang terpercaya, buat mengulik masa lalu Aruna sampai ke akar-akarnya. Dan aku akan melakukan tes DNA untuk Mentari," kata Jakson terlihat amat serius.
"Lalu, kalau dia bukan putrimu gimana?" tanya Viki penasaran.
"Aku akan tetap menjadikan dia putriku, aku nggak bisa kehilangan Mentari. Dia..., mau bagaimana pun tetap menjadi putriku, Vik. Aku nggak bisa kehilangan Mentari, di sini rasanya hampa." Jakson menyentuh dadanya, tatapan matanya terlihat sendu.
Viki paham jika ini akan sulit untuk Jakson, meskipun Jakson lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Kasih sayangnya pada Mentari bukan kebohongan, Jakson selalu memantau tumbuh kembang Mentari. Tidak terhitung kasih sayangnya, bahwa menahan diri untuk tidak berpisah dengan Kinanti untuk Mentari. Lalu bagaimana caranya Jakson akan melepaskan Mentari, Viki mengangguk.
"Oke, Mentari udah jelas. Lalu bagaimana dengan Aruna, dia hamil anakmu. Bagaimana pun ada anak lain yang jelas-jelas anakmu, darah dagingmu sendiri. Kamu mau anak itu tapi, tidak mau ibunya kayak gitu. Oh, betapa kecewanya anak itu nantinya saat tau ayahnya tidak mau ibunya," ucap Viki mengingat status Aruna saat ini.
Bibir Jakson terbuka suaranya tertahan di kerongkongan, apa yang harus dia lakukan ke depannya. Jakson harus berpikir lebih matang lagi, untuk saat ini Jakson mulai lupa dengan keinginan menikahi Elena secara menggebu-gebu. Mendadak padam tanpa kejelasan, entah karena masalah yang kini menghantamnya atau ada hati yang mulai berubah untuk Elena.