Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sukamti dan Dikromo
Matanya melirik ke arah Ibu Sukamti yang masih anteng menatap keluar jendela, bibirnya mencibir kecil sambil memainkan kalung emas di lehernya. Aira tahu, setiap gerak ibu mertuanya itu seperti unjuk kekuasaan diam-diam. Kalau bukan karena permata di tubuhnya, ya karena gengsi yang tak pernah ia turunkan.
Aira menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba tersenyum. “Ibu... gelangnya cantik banget. Baru, ya?”
Ibu Sukamti hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Hadiah ulang tahun dari Zayyan.”
“Oh, cocok banget Bu sama kulit Ibu. Ibu terlihat makin muda," sambung Aira terdengar tulus.
Senyum tipis terbit di bibir Ibu Sukamti, walau hanya sebentar. Bibirnya terlihat komat-kamit lucu.
Aira memberanikan mengeluarkan dua benda yang ia bungkus rapi dengan kain beludru lembut. “Oh iya, Bu. Aira bawakan sesuatu untuk Ibu.”
Dia menyodorkan sebuah set cangkir porselen dengan ukiran bunga halus warna biru keunguan, dan sebingkai kebaya berwarna perak lembut dengan payet kecil yang bersinar halus.
“Yang ini Aira lihat di toko, langsung kepikiran Ibu. Warna peraknya adem, elegan, kayak yang Ibu suka. Sama ini juga, cangkir porselen dari toko yang terkenal di kota, semoga cocok buat sajian teh sore.”
Ibu Sukamti melirik sekilas, alisnya terangkat pelan. Jemarinya yang dilapisi cincin emas besar menyentuh kebaya itu, mengangkatnya ke dada. Lalu ia mendecih.
“Bawa kok kaya gini...” gumamnya tajam. “Bawa ya duit, bisa buat belanja sendiri. Tapi… ya rapopo lah. Kebaya iki apik juga. Bisa buat jagong nanti."
Aira tercekat, lalu mengangguk kecil, mencoba menelan rasa tidak enak yang menjalar ke tenggorokannya. Dia memaksakan senyum. “Alhamdulillah kalau Ibu suka...”
Ibu Sukamti menaruh kebaya itu di pangkuannya, memandangi cangkir-cangkir porselen yang masih terbungkus separuh. Tatapannya mulai melunak, meski bibirnya belum tersenyum.
“Porselennya bagus. Tapi jangan sampe pecah ya, nanti nyesel,” katanya datar, namun nadanya tak sekeras tadi.
“Ya Allaah, ini udah lebih baik dari diam seribu bahasa. Wis rapopo. Mending ditanggapi meski masih pake jutek," batin Aira lega.
Aira lalu bangkit, menyusun teh dan camilan yang tadi dibawa ibu mertuanya ke atas meja. “Mau Aira tuangkan teh, Bu?”
Ibu Sukamti mengangguk pelan. “Boleh. Tapi hati-hati. Jangan tumpah. Nanti bikin lengket meja.”
“Siap, Bu,” Aira menjawab sambil tersenyum lagi.
“Pelan-pelan... pelan-pelan... batu pun bisa berlubang kalau terus ditetesi air,” batin Aira.
Papa sedang menikmati teh hangat sambil menyemil rengginang buatan Ibu Sukamti. Sementara itu, Bapak Dikromo tampak diam. Tatapannya diam-diam mengarah ke sosok Aira, menantunya.
Gadis muda itu tengah membereskan cangkir-cangkir porselen yang baru saja ia berikan sebagai buah tangan. Gerak-geriknya halus, wajahnya teduh, dan senyumnya tampak tulus meski matanya menyimpan kehati-hatian. Kulitnya yang bening dan lembut seperti porselen yang ia bawa, memancarkan pesona yang mengingatkan Dikromo pada bayangan masa lalu.
"Gendhuk Aira iki... ayu tenan. Koyo Kasandra jaman semono. Lembut, sabar, ngelingke aku karo wong sing wis suwe ilang..." batinnya bergetar pelan.
Ada rasa getir bercampur keinginan yang tak patut. Perasaan yang seharusnya ia kubur dalam-dalam sebagai seorang mertua. Tapi kenangan lama yang bangkit justru menyeret pikirannya ke jurang nostalgia yang gelap. Ia segera menggeleng pelan, menepis bisikan tak layak itu.
"Ora. Iki salah. Aku kudu eling. Aku wis tobat. Iki bojo'e anakku." Desah napasnya berat, jari-jarinya mengepal pelan di atas pahanya. Ada sesuatu yang perlahan mulai mengusik batas moralnya sendiri.
"Aira, Papa mau mampir dulu ke rumahnya Pak Sukimo sebelum pulang. Kamu mau ikut?" tanya Papa sambil mengambil jasnya.
Aira menoleh sejenak, "Oh?" Ia tampak berpikir. "Aku bantuin beresin ini dulu aja, Papa. Nanti nyusul." jawabnya dengan senyum ringan.
"Lagian, suasana aku dengan Ibu Sukamti sudah sedikit lebih ringan." batinnya, mencoba menenangkan diri.
Setelah Papa keluar dari rumah, Aira membawa gelas-gelas kosong dan piring kecil ke dapur. Di ruang tamu, Ibu Sukamti kembali mematut-matutkan kebaya pemberian Aira ke tubuh suburnya, memperhatikan lekukan dan warna yang kontras dengan kulitnya.
Sementara itu, Aira menaruh cangkir ke rak cuci. Suasana dapur terasa hening. Ia hampir selesai ketika langkah pelan terdengar di belakangnya.
"Aira," suara itu membuatnya menoleh. Bapak Dikromo berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya teduh namun matanya menyimpan kilat yang aneh.
"Bapak? Kagetin Aira aja," Aira kaku.
Dikromo menatapnya tanpa kedip. "Kamu iki, ayu tenan, nduk. Bener-bener keberuntungan si Zayyan dapat istri seperti kamu."
Aira tertawa kecil, mencoba tetap sopan. "Itu juga karena restu Bapak dan Ibu."
Mendadak, nada suara Dikromo berubah lebih lembut namun mengganggu. "Boleh ndak... Bapak pegang tanganmu sebentar aja?" tangan itu menyentuh.
"Eh?" Tubuh Aira menegang.
Langkah Aira segera mundur perlahan. Ada tatapan di mata mertuanya yang membuatnya tak nyaman. Instingnya bicara: ini bahaya.
"Ma... maaf, Bapak. Aira nyusul Papa dulu, ya."
Namun sebelum Aira sempat berbalik, terdengar suara lantang dari belakang.
"Lhoh, lak yo bener to? Napsumu tangi meneh!" suara Ibu Sukamti menghentak tajam, berdiri dengan tangan bersilang dan sorot mata membakar ke arah suaminya. "Tiap lihat perempuan ayu, koyo wong kesurupan!"
"Buk, ngomong apa to?" elak Dikromo, setengah berbisik dan beralasan.
"Jangan pura-pura! Mau kamu ngulang dosa masa lalu lagi?!" serang Ibu Sukamti, nadanya melengking.
Aira terpaku di ambang ruang tamu, punggungnya membelakangi mereka, tapi telinganya menangkap tiap kata.
"Dosa bapak marang Kasandra kae... ndak bakal pernah ilang. Luka di hatiku juga ndak bakal pernah sembuh. Aku yang harus rawat Zayyan, anak dari perempuan yang Bapak lukai! Dan sekarang... sekarang Bapak mau buat kesalahan lagi?! Mau apa, Pak?!" Suaranya gemetar tapi tajam, seperti sembilu mengoyak keheningan rumah itu.
Dikromo tertunduk, namun tak berkata.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan usir Aira dari rumah ini!" desis Ibu Sukamti tiba-tiba.
Aira membalikkan badan, wajahnya pucat pasi. "Mereka bertengkar. Tapi, mereka bertengkar mengenai masa lalu Kak Zen?" batinnya.
"Aku sudah berusaha membuka hati, tapi kamu malah bawa luka masa lalu ke rumah ini. Aku ndak mau lihat kamu di sini lagi! Pergilah nduk. Jangan lagi datang ke rumah ini!" bentak Ibu Sukamti, matanya berkaca-kaca.
Aira tercekat di tempat. Matanya mencari tempat bersandar, dan kini rumah ini benar-benar tak akan bisa ramah.
"Ora, ya Buk... Aku wis ra nduwe pikiran koyo ngono meneh!" suara Dikromo terdengar parau, setengah memohon. "Tolong... jangan salahno Gendhuk Aira. Jangan usir dia."
Namun Ibu Sukamti sudah terbakar emosi. Tatapannya menusuk, napasnya memburu. Amarah yang lama dipendam, kini meledak seperti bendungan jebol.
"Aku ra percaya. Mulutmu kui isine kebohongan kabeh. Dan sekarang kamu malah bela dia? Setelah kamu hampir ngulang kesalahan yang sama?! Bapak mikir ndak sih, luka hati orang itu ndak sembuh cuma karena minta maaf!" Ia menunjuk suaminya dengan tangan gemetar.
Kaki Aira seperti tertancap di lantai dingin rumah yang tak lagi terasa seperti tempat untuk bersilaturahmi. Rumah itu kini seperti tembok tinggi yang menolaknya.
Perlahan, ia menunduk. Tangan gemetar meraih tasnya. Tanpa sepatah kata, Aira melangkah pelan keluar rumah.