NovelToon NovelToon
Legenda Kaisar Roh

Legenda Kaisar Roh

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Spiritual / Reinkarnasi / Roh Supernatural / Light Novel
Popularitas:853
Nilai: 5
Nama Author: Hinjeki No Yuri

Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.

Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pendakian Terjal dan Pertempuran Melawan Perangkap Roh Kuno

Liang Feng berhenti di kaki jalur sempit yang menanjak, seolah anak tangga raksasa yang diukir oleh alam itu sendiri. Di atas, kanopi ranting tua menjalar erat hingga hanya sesekali sinar pucat menembusnya, menjadikan setiap tetes embun di dedaunan bagai bintang kecil yang berpendar. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma lembap pohon pinus dan tanah yang menenangkan. Di sampingnya, Bai Xue memancarkan aura perak yang menenangkan, menerangi sesosok relawan yang berbaris di belakang.

“Ingat,.” suara Liang Feng rendah namun nyaring hingga sampai ke barisan, “akar-akar ini tidak sekadar rintangan biasa. Mereka adalah perangkap roh kuno yang hidup, siap menjerat siapa saja yang ceroboh. Melangkah terlalu cepat, dan tubuhmu akan terkunci seperti dalam pelukan ular berbisa.” Ia mengibaskan tangan dan garis-garis hijau dan perak pada bilah Tianlong di punggung pedangnya berpendar menyahut.

Wei Xin, pemuda kekar berotot tegang di balik tuniknya, menebar senyum penuh percaya diri sambil berjingkat di tempat. “Jangan khawatir, Kapten. Aku sudah siap, takkan ada akar yang bisa menahanku.” Tanpa menunggu, ia melesat maju.

Kening Liang Feng berkerut. Mata Bai Xue setajam mata elang yang tertuju pada Wei Xin yang melompati batu berlumut. Namun tanah di bawah kaki pria itu retak saat ia mendarat. Akar-akar menjalar bak ular pita, menggeliat naik, melilit pergelangan Wei Xin dengan kekuatan yang menjerat tubuhnya. Napasnya tertahan, tangan terangkat mencoba menahan jeratannya.

“Tahan!” Liang Feng berseru. Ia meloncat ke depan dengan pedang terhunus. Runanya menyala terang dan dengan sepasang ayunan cepat, ia melubangi akar-akar yang mencengkeram. Setiap potongan memancarkan serpihan bercahaya, melayang di udara yang lembap. Akar-akar terakhir pun terputus, melepaskan Wei Xin yang terjungkal ke belakang dengan dada terengah-engah di tanah lembap.

“Terima—terima kasih.” napas Wei Xin tersengal. Ia mengusap luka-luka di pergelangan tangan dan kakinya, wajahnya pucat. “Aku… hampir terjerat dalam perangkap itu.”

Bai Xue mendarat anggun di akar besar, sayap kerling peraknya memudar menjadi cahaya yang lembut. Ia menjulurkan tangan, mentransfer kesanamaannya ke tubuh Wei Xin, luka terobati, memar memudar. tubuh pemuda itu kembali sembuh, matanya memerah penuh syukur dan terimakasih atas bantuan Bai Xue dan Liang Feng.

“Jangan lengah.” pesan Liang Feng sambil menuntun Wei Xin untuk bangkit. Matanya menatap relawan lain dengan kharisma yang begitu tenang. “Sesuaikan napasmu dengan ritme didalam hutan ini. Bergeraklah seakan alam memperhatikan kita, karena memang begitu adanya.”

Di belakang, para relawan saling tukar pandang cemas. Seorang gadis kurus memegangi belati hingga jari-jemarinya memutih, sementara tabib paruh baya memeluk keranjang ramuan, tiap bunyi botol kaca bergaung menambah ketegangan. Kini, bayangan ketakutan bercampur dengan harapan di wajah mereka.

Mereka melanjutkan pendakian dengan hati-hati, setiap langkah dipikirkan. Batu-batu runcing, licin karena lumut dan hujan semalam, menghalangi. Kadang jalan memaksa mereka berbaris rapi, napas mereka menimbulkan kabut tipis. Keheningan hutan begitu pekat didalam sana.

Di tengah pendakian, Liang Feng menemui relief batu pualam yang sudah aus di tebing. Terpahat sosok pertapa menyingsingkan lengan, menggenggam sebuah bola cahaya, ditopang naga dan burung phoenix terbang. Tubuh naga melingkar, sayap phoenix terbentang, membentuk pola seperti tarian magis yang terpatri dalam batu.

“Inilah Segel Muda Suci yang merupakan kunci jalan rahasia.” bisik Liang Feng. Ia membelai lekukan pahatan dengan jari-jarinya sambil berhati-hati. “Hanya yang tulus hatinya bisa mengaktifkan.” Suaranya menurun menjadi mantra lirih.

“Bersih hati, diuji roh, hancurkan gelap yang menjerat batu.”

Dengan satu ketukan di bola cahaya pahatan, sekali, kedua, ketiga, kemudian ia menempelkan telapak tangan. Batu bergetar pelan, lalu terdengar suara gemeretak. Sejenak hening, kemudian sekat batu perlahan mundur, membuka terowongan rendah dan sempit di baliknya.

“Jalan aman.” desah Bai Xue sambil melangkah ke samping liang. Wajahnya penuh haru. “Di dalam sana, perangkap roh tertidur.”

Satu per satu, mereka menunduk dan merangkak masuk. Atapnya nyaris menyentuh helm logam, dindingnya bersarang pahatan rune yang samar. Langkah demi langkah bergema di lorong, menimbulkan rasa takut yang aneh. Namun beberapa menit kemudian, mereka tiba di pelataran berteras, udara di situ sejuk dan sunyi.

Reruntuhan pilar batu merah yang merupakan bekas tiang candi naga menjulang di sekelilingnya, retak dan terkelupas oleh waktu. Kabut tipis menyelimuti dasar, membelit pilar yang setengah hancur. Dalam kabut, wujud-wujud tipis melayang dengan kepala ramping berpola bintang, tubuhnya transparan. Bisikan lembut terdengar dengan senjata tanpa bilah terayun di udara, menggetarkan ketakutan kepada setiap hati para relawan .

“Kau lihat…?” bisik gadis peniti belati, matanya membesar. “Mereka… mengawasi kita.”

Liang Feng berdiri tegak, lentera besi terangkat. Ia menciptakan api asap biru dengan melempar sabuk api alkimia ke dalam mangkuk lentera. Asap berkelok biru itu merambat, membelah kabut putih. Setiap kali asap menyentuh wujud ilusi, sosok-sosok itu terbelah, berderai seperti kaca pecah, larut jadi titik cahaya.

“Mereka hanyalah shadow, mereka berusaha untuk menguji nyali kita.” tegas Liang Feng. Suaranya bergema di pelataran. “Jangan pandang matanya langsung. Pertahankan ketenangan dan dia takkan merobek tekad kalian.”

Bai Xue melayang, menghembuskan gelombang cahaya perak yang mengekang para shadow sisanya. Ilusi terakhir pun pudar. Para relawan saling menatap, dada mereka bergejolak lega. Bahkan tabib itu mencengkeram keranjangnya lebih erat.

Jalur menanjak lagi hingga mencapai puncak tebing yang dijuluki Gerbang Kuil Naga. Batu merah retak-retak menutup gang sempit. Di celah gerbang, Patung Pelindung roh penjaga purbakala berbaris tegak, terbengkok oleh korosi.

Kulit mereka bagai sisik onyx, mata menyala merah seperti bara api. Tombak dan pedang tergenggam kaku, siap merobek daging. Salah satu roh bergerak cepat, melompat ke depan.

“Formasi belah, kanan!” Liang Feng membentak. Para relawan membelah barisan roh, membentuk celah. Dengan langkah selaras, mereka menerobos.

Liang Feng dan Bai Xue maju bersama. Ia menghunus Tianlong Blade, garis runanya bersinar hijau. Dengan teriakan yang memecah keheningan, ia menebas ke bawah. Gelombang cahaya merambat dari bilahnya, menabrak roh di dada. Sisik onyx pecah berderai, memercikkan serpihan gelap berwarna hijau.

Bai Xue menukik ke samping, aura peraknya berubah jadi pisau prismatic. Sekali tebas, ekor roh terbelah, serpihan eterealnya menari-nari, merembet api di tanah yang basah. Sinar mereka membutakan roh-roh lain yang masih bertahan.

“Mereka melemah!” Cao Mei berseru, tombaknya menusuk sisik yang retak. Bunyi logam beradu. Roh itu terpincang, retakan membesar, lalu lenyap di dalam kabut tipis.

Satu per satu, Patung Pelindung luluh. Bisikan mereka tergantikan suara angin, kabut korup larut bersama cahaya. Ketika roh terakhir hilang, senjata pun dijatuhkan perlahan, jalan kembali sunyi seperti semula.

Rune-rune di dinding kuil kini memancarkan getaran. Pilar naga yang retak tampak seperti penjaga bisu yang menunggu kedatangan tuannya.

Liang Feng menyarungkan pedang, keringat menetes di pelipisnya. Ia menatap bukaan gerbang yang setengah hancur.

“Inilah Ambang Batas.” ucapnya dengan nada lembut. “Di baliknya, terletak Santuari Kekuatan Kuno. Tugas kita belum selesai, Tapi kita harus menutup celah di tanah ini dan memulihkan keseimbangan dunia.”

Teriakan semangat menggema dari para relawan. Wajah mereka memancarkan campuran lega, bangga dan harapan. Mereka membentuk lingkaran longgar di depan Liang Feng dan Bai Xue.

Di atas, kanopi ranting bergoyang dengan pelan Burung hantu tunggal terdengar dari kejauhan, angin mistis mengibaskan sulur-sulur pohon.

Bai Xue bertengger di bahu Liang Feng, bulu peraknya berkibar. “Inilah batas jalan.” bisiknya. “Di balik ambang ini, inti korusi menanti.”

Liang Feng menarik napas dalam-dalam, mengisi paru dengan udara dimalam yang dingin.

“Mari kita lanjutkan perjalan kita.” ujarnya mantap. “Dan akhiri segala kekacauan ini.”

Dengan lentera terangkat dan pedang terhunus, mereka melangkah menyebrangi ambang reruntuhan kuno. Sinar hijau menyelimutkan tubuh mereka, mengusir Shadow terakhir yang di mulut gerbang.

1
Oertapa jaman dulu
Menarik dan berbeda dg cerita lainya
Awal cukup menarik... 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!