Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Fayola sedang merapikan rak buku di apartemennya saat bel pintu berdentang. Dengan cepat ia berjalan ke pintu dan membukanya. Di sana berdiri Niken, sahabatnya sejak kuliah, dengan senyum yang mengembang dan mata berbinar-binar. Ada sesuatu yang berbeda dari wajahnya—campuran bahagia dan gugup yang tak bisa disembunyikan.
“Niken? Kamu kenapa kelihatan sumringah sekali?” tanya Fayola sambil mempersilakan masuk.
Tanpa menjawab, Niken mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan sebuah cincin berlian mungil yang melingkar manis di jari manisnya. “Aku... baru saja dilamar,” ucapnya, nyaris berbisik, seolah belum percaya dengan kenyataan yang sedang terjadi.
Fayola menjerit kecil, melompat kegirangan. “Astaga! Serius? Kau dilamar? Sama siapa? Jangan bilang... Bastian?” tanyanya dengan tatapan penuh antusias.
Niken mengangguk pelan. “Iya, Bast... tadi siang dia tiba-tiba datang ke kantor, bawa bunga dan cincin. Terus, dia langsung melamar di depan semua orang.”
“Dan kamu bilang... iya?” tanya Fayola, matanya membesar. Niken mengangguk lagi, kali ini lebih lambat.
“Langsung aku terima. Bagaimana bisa menolak? Semua mata tertuju padaku. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana, Fay. Aku kaget dan bingung. Aku tidak sempat berpikir panjang.”
Fayola menatap sahabatnya dengan sorot tak percaya. “Ken, kamu ini! Itu Bastian, tahu! Kamu tuh beruntung sekali. Di luar sana banyak banget cewek cantik yang ngantri untuk dia!”
Niken menunduk, menggigit bibirnya. “Aku tahu... aku tahu dia baik, tampan, sukses, dan perhatian. Tapi aku masih ragu, Fay. Kadang aku merasa... terlalu cepat. Perasaanku belum benar-benar yakin.”
Fayola mencubit lengan Niken hingga sahabatnya meringis pelan. “Kalau kau nolak, itu namanya bodoh. Kamu mikir apa sih? Bastian jelas-jelas sayang sama kamu. Kau lihat cara dia memperlakukan kamu selama ini? Dia selalu ada buat kamu, bahkan pas kau sakit, dia yang paling pertama datang.”
Niken diam. Jantungnya berdegup tak menentu, perasaan campur aduk. Ia tak menyangkal bahwa Bastian adalah pria yang sempurna di mata banyak orang. Tapi benarkah perasaannya cukup dalam untuk mengikat janji seumur hidup?
“Kau takut karena kau pernah gagal dengan Damar kan?” lanjut Fayola, lebih lembut. “Tapi itu bukan alasan untuk ragu. Kadang cinta datang setelah kita berani memilih. Kamu sudah punya pria yang luar biasa, Ken. Jangan sia-siakan.”
Niken menarik napas panjang. Ia memandangi cincin di jarinya, seolah mencari jawaban dari kilaunya. Meski hatinya masih berdebat, satu hal yang pasti—ia tak ingin menyakiti Bastian. Dan mungkin, seperti kata Fayola, cinta sejati memang butuh keberanian, bukan hanya perasaan sesaat.
“Aku akan coba percaya,” gumam Niken. Fayola tersenyum, memeluk sahabatnya erat. “Itu baru Niken yang aku kenal.”
“Btw.... Fay, aku tahu kamu orangnya santai, tapi aku tidak menyangka apartemen mu bisa seperti ini,” komentar Niken sambil berdiri di tengah ruang tamu Fayola yang berantakan. Di lantai berserakan baju-baju, sisa makanan di atas meja, dan tumpukan piring kotor di dapur.
Fayola hanya memutar bola matanya dari sofa, masih dalam balutan piyama. “Ini tidak parah-parah banget, Ken.”
“Serius, Fay, ini lebih mirip kandang kuda daripada apartemen,” balas Niken, menggeleng-geleng heran. “Apa yang kamu lakukan seharian di sini? Bikin kekacauan?”
Fayola menghela napas panjang. “Aku sedang kesal.”
Niken menoleh cepat. “Kesal? Sama siapa?”
“Sama Farhan.”
Niken mengerutkan dahi. “Farhan? Kenapa?”
Fayola duduk lebih tegak, menyandarkan dagunya di lutut yang ditarik ke dada. “Harusnya tadi malam kami makan malam bersama. Tapi dia batalin sepihak karena tiba-tiba ibunya menelpon, katanya ayahnya sakit dan dia harus pulang.”
Niken terdiam sejenak, lalu menatap Fayola tajam. “Dan kamu marah karena itu?”
“Yah, bukan marah... cuma kecewa saja. Kami udah lama nggak quality time. Aku sudah siap-siap dari sore, terus ditinggal begitu aja.”
“Fayola,” kata Niken serius. “Dengar, kamu jangan kekanakan. Ayahnya sakit, itu urusan keluarga. Dia bukan selingkuh atau membohongi kamu. Dia pulang karena memang ada alasan yang jelas.”
Fayola mendesah. “Aku tahu... tapi tetep saja, aku jadi bad mood. Makanya males beberes.”
Niken melipat tangan di dada. “Terus kamu jadikan apartemen ini seperti kapal pecah? Begitu caramu marah?”
“Besok saja aku bereskan,” rengek Fayola sambil mengambil bantal dan memeluknya. “Lagi pula kamu tidak akan menginap di sini, kan?”
Niken tersenyum lebar, lalu melempar tasnya ke sofa. “Salah. Aku mau menginap.”
Fayola langsung menatapnya tak percaya. “Apa? Serius?”
“Serius. Makanya, cepat bereskan kandang kudamu ini sekarang juga! Aku tidak mau tidur di tempat yang penuh remah keripik dan tisu bekas.”
Fayola meringis. “Tapi... aku masih malas.”
“Fay,” Niken berkata tegas. “Kamu bisa saja kesal, tapi jangan sampai bikin dirimu sendiri makin tidak nyaman. Lagipula, kamu tidak tahu, mungkin Farhan juga sedih harus ninggalin kamu semalam. Tapi dia punya prioritas, dan kamu juga harus punya. Termasuk menjaga kebersihan tempat tinggal sendiri.”
Fayola menghela napas panjang. “Baiklah... Tapi kamu bantuin aku ya?”
Niken mengangguk sambil menggulung lengan bajunya. “Deal. Aku ambil sapu, kamu mulai dari buang sampah. Siap?”
“Siap, bos,” jawab Fayola pasrah, tapi mulai tersenyum. Setidaknya, bersama Niken, kekesalannya mulai mencair.
Bersambung....