NovelToon NovelToon
Cinta Datang Setelah Pergi

Cinta Datang Setelah Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: jannah sakinah

Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?

Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.

🌸Terimakasih:)🌸

IG: Jannah Sakinah

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Revan menutup tirai jendela. Ia berjalan ke meja kerjanya dan duduk. Di sudut meja, masih tergeletak bingkai foto pernikahannya dengan Aruna. Foto itu lama tak ia sentuh, tetapi ia tak pernah berani membuangnya. Malam ini, ia mengambil bingkai itu, menatapnya lama.

"Aku salah, Aruna..." gumamnya pelan, seolah berharap angin malam bisa membawa suaranya padanya.

Sementara itu, Aruna duduk di ruang tengah apartemen bersama Rio, menikmati suasana malam yang tenang. Ia sedang merajut syal biru tua, hobi kecil yang mulai ia tekuni sejak beberapa bulan terakhir. Rio, di sisi lain, membaca dokumen pekerjaan sambil sesekali melirik Aruna dengan senyum tipis.

“Kamu kelihatan damai banget malam ini,” kata Rio, meletakkan dokumen di meja.

Aruna tersenyum. “Aku memang merasa damai, Rio. Lebih dari sebelumnya.”

Rio bangkit dan duduk di sebelahnya. “Kalau aku boleh jujur, aku masih heran kenapa seseorang seperti Revan bisa menyia-nyiakanmu.”

Aruna menghela napas pelan. “Karena dia terluka. Dia belum selesai dengan masa lalunya. Dan aku terlalu berharap bisa menyembuhkannya, padahal itu bukan tugasku.”

Rio menggenggam tangan Aruna. “Kamu terlalu baik.”

“Bukan soal baik atau tidak. Aku hanya... dulu terlalu cinta.”

Keduanya terdiam beberapa saat. Lalu Aruna berkata, “Hari ini dia mengirim email. Bukan tentang cinta. Tentang maaf.”

Rio menoleh cepat. “Dan kamu?”

“Aku membacanya. Tidak menjawab. Karena aku tahu, tidak semua maaf perlu balasan. Aku sudah memaafkannya jauh sebelum dia memintanya.”

Rio menatap Aruna penuh kagum dan rasa hormat. “Kamu jauh lebih kuat daripada yang kamu kira, Aruna.”

Aruna tersenyum lembut, lalu bersandar di bahu Rio. “Bisa dibilang... aku sudah selesai dengan luka itu. Tapi aku tidak membencinya. Tidak akan pernah. Karena jika bukan karena Revan, aku tidak akan berada di titik ini.”

Revan, yang duduk di ruang kerjanya, akhirnya berdiri dan keluar dari gedung kantornya. Malam semakin larut, dan udara dingin menusuk. Ia menyusuri trotoar kosong, membiarkan pikirannya mengembara ke masa-masa bersama Aruna. Ia ingat bagaimana Aruna selalu menyiapkan teh hangat saat ia pulang kerja, walaupun Revan tidak pernah benar-benar mengucapkan terima kasih.

Ia ingat bagaimana Aruna pernah menangis diam-diam, karena ulang tahun pernikahan mereka ia lupakan. Ia bahkan ingat betapa Aruna tetap bangkit pagi-pagi untuk memasak, meski malam sebelumnya ia membiarkan Aruna makan sendirian.

Sekarang, semua itu terasa seperti hantaman yang datang terlambat. Bukan hanya penyesalan, tapi juga rasa bersalah yang tak bisa ia bagi ke siapa pun.

Saat sampai di depan sebuah toko bunga yang masih buka, Revan berhenti. Tanpa berpikir, ia masuk dan membeli seikat bunga lili putih, bunga favorit Aruna. Ia tidak tahu kenapa ia melakukannya. Mungkin karena ingin merasa dekat, walau dalam diam.

Sesampainya di rumah, ia menaruh bunga itu di vas yang dulu sering diisi Aruna. Ia duduk di sofa, menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata lirih, “Aku mencintaimu. Tapi aku terlambat.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Revan membiarkan dirinya menangis. Bukan karena kehilangan, tapi karena ia akhirnya mengerti arti cinta yang sebenarnya, dan karena cinta itu telah pergi.

Pagi itu, matahari menyinari apartemen Aruna dan Rio dengan lembut. Suasana rumah dipenuhi kehangatan; aroma kopi yang baru diseduh menyatu dengan suara denting piring dari dapur. Aruna mengenakan daster berwarna krem, rambutnya disanggul sederhana, dan senyum kecil tak pernah lepas dari wajahnya sejak bangun tidur.

Rio duduk di meja makan, memandangi Aruna dengan penuh rasa syukur. Di hatinya, ia tahu bahwa kebahagiaan ini bukan sesuatu yang datang dengan mudah, ada perjalanan panjang dan luka yang harus disembuhkan terlebih dahulu.

“Kamu kelihatan bahagia hari ini,” ujar Rio, mengambil seteguk kopi.

Aruna menoleh dan mengangguk pelan. “Aku memang bahagia. Tapi...”

“Tapi?” Rio menaikkan alisnya.

Aruna menarik napas dalam. “Entah kenapa, tadi malam aku mimpi tentang Revan.”

Rio terdiam sejenak. Ia tidak marah, tidak juga tersinggung. Ia tahu bahwa masa lalu Aruna tidak bisa dihapus begitu saja, apalagi Revan pernah menjadi bagian penting dalam hidup wanita yang kini ia cintai.

“Ceritain,” katanya lembut.

Aruna duduk di seberangnya. “Dalam mimpi itu... dia duduk di taman sendirian, memegang bunga lili putih. Dia kelihatan sedih, tapi tidak berkata apa-apa. Lalu aku datang, duduk di sebelahnya, dan kami hanya diam menatap langit.”

Rio mengangguk pelan. “Mungkin itu caramu menyelesaikan sisa luka yang belum sempat kamu bicarakan secara langsung.”

“Mungkin,” jawab Aruna. “Atau mungkin hatiku sedang pamit secara utuh dari masa lalu.”

Di sisi lain kota, Revan terbangun di ranjangnya yang luas namun terasa dingin dan kosong. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata berat. Sudah seminggu sejak ia mengirim email kepada Aruna, dan tidak ada balasan, tidak ada respon. Tapi Revan tidak marah, ia mengerti. Aruna berhak memilih damainya sendiri, tanpa perlu menoleh lagi ke belakang.

Revan bangkit dan menuju ruang tamu. Vas bunga berisi lili putih masih berdiri di meja, sebagian kelopaknya mulai layu. Ia mengganti airnya, meskipun ia tahu tak akan lama lagi bunga itu mati.

“Seperti perasaanku padamu, yang akhirnya harus kubiarkan pergi...” gumamnya lirih.

Ponselnya berbunyi. Asisten pribadinya mengingatkan jadwal rapat, tetapi Revan tidak bergeming. Ia membuka galeri foto, mencari satu-satunya potret Aruna yang masih ia simpan, foto saat mereka pertama kali pindah ke rumah baru sebagai suami istri. Senyum Aruna di foto itu tulus, hangat, dan penuh harapan. Harapan yang dulu ia sia-siakan.

Hari itu, Aruna dan Rio menghadiri pameran seni kecil di galeri milik teman lama Rio. Sebuah karya lukisan menangkap perhatian Aruna: seorang wanita duduk sendirian di taman, dengan tangan menggenggam bunga putih, dan langit senja sebagai latar belakangnya.

Lukisan itu mengingatkannya pada mimpi tadi malam.

“Cantik, ya?” Rio berdiri di sampingnya.

“Lukisan ini... seperti mimpi yang aku ceritakan tadi.”

Rio menatap lukisan itu lebih saksama. “Seolah semesta ikut menyampaikan sesuatu.”

Aruna memandangi lukisan itu lama. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa ada bagian dari dirinya yang telah siap melepaskan masa lalu, bukan dengan kemarahan, tetapi dengan penerimaan.

Ia berbisik lirih, “Aku sudah baik-baik saja, Revan... dan aku harap kamu juga.”

Sore itu, tanpa alasan jelas, Revan mengemudi ke sebuah tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi, rumah lama tempat ia dan Aruna pernah tinggal. Rumah itu sudah dijual, namun memori tentangnya masih hidup dalam benaknya.

Ia berdiri di luar pagar, memandangi rumah itu dari kejauhan. Tidak ada niat untuk masuk. Hanya ingin melihat sekali lagi.

1
Jannah Sakinah
Terima kasih sudah singgah, dan Terima kasih atas dukungannya❤
cintah_jeno
semangat terus ya kak /Kiss/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!