"Mahasiswi nakal harus dihukum!" Suara dinginnya menggelegar dan mengancam. Dia Gabriel, dosen killer yang terkenal kejam dan tidak suka digoda wanita.
Ivy, seorang primadona kampus memiliki nilai yang buruk dan nakal. Akibat kenalakannya, Mr. Gabriel ditugaskan untuk mengurus Ivy.
"Kerjakan soalnya atau aku akan menghukummu."
Karna tersiksa, Ivy mencoba membuat Mr. Gabriel menjauh berdasarkan rumor yang beredar. Tapi bukannya menjauh, Mr.Gabriel malah balik mendekatinya.
“Cium aku dong Mister~” Ivy selalu menggoda dosennya duluan agar risih.
Cup!
Bibirnya seketika dicium dalam dan membuat Ivy kewalahan. Saat pagutan dilepas, Ivy merasa bingung.
“KOK DICIUM BENERAN, MISTER?!”
“Loh kan kamu yang minta, kok di gas malah takut?”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pantai
Hari itu, Ivy merasa Mr. Gabriel telah berubah dan mereka jadi makin dekat.
Kali ini juga, Mr. Gabriel yang memimpin semuanya, membuat Ivy jadi mesem-mesem sendiri.
Sejak hari itu, Ivy selalu tersenyum sepanjang hari, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Saat sore menjelang dan Ivy masuk ke mobilnya untuk pulang, sebuah notifikasi pesan muncul di ponselnya.
Mr. Gabriel: Kalau mau ke pantai, kita bisa pergi hari Sabtu minggu depan.
Lalu disusul pesan lain:
Mr. Gabriel: Dan aku suka baju renangmu yang warna pink.
"Aaahh!" Ivy berteriak kegirangan, mukanya memerah. Dia memukul-mukul setir mobil dengan penuh semangat.
"Ya ampun, aku harus dandan yang cantik banget nanti!" Gumamnya sambil membayangkan rencana akhir pekan itu.
Hari-hari berikutnya, hubungan mereka semakin dekat. Mr. Gabriel juga tampak lebih lembut dari biasanya.
Suatu sore, pria itu tiba-tiba mendekat dan mengecup Ivy dengan lembut. Ivy tertegun, jantungnya berdebar-debar.
Ivy jelas tidak menolak. Setelahnya, mereka berdua terdiam sesaat, membiarkan momen itu menyelimuti mereka.
"Berhati-hatilah saat pulang," ucap Mr. Gabriel dengan nada lembut.
"Iya... Mister juga hati-hati pulangnya," jawab Ivy, wajahnya masih memerah.
Dalam setiap bimbingan atau kelas berikutnya, sikap Mr. Gabriel berbeda. Dia hanya bersikap seperti itu pada Ivy.
Ada kalanya, Mr. Gabriel bahkan mengusap kepala gadis itu dengan lembut, membuat Ivy merasa istimewa.
Terkadang, Ivy sengaja menjawab soal dengan salah agar bisa mendapat ciuman dari pria itu.
"Apakah kamu sedang meminta dihukum, Ivy?" Tanya Mr. Gabriel, senyum tipis menghiasi wajahnya.
Ivy menatapnya dengan mata nakal, lalu tersenyum. "Mungkin saja."
Pria itu mendekat, berbisik di telinganya. "Kamu tidak perlu dihukum... kalau yang kamu inginkan adalah ini."
Pria itu mengecup Ivy lagi, kali ini lebih dalam. Ivy tak bisa menahan perasaannya.
Mereka sering berbagi momen seperti itu, meski harus tetap berhati-hati agar tak ada yang mengetahui hubungan mereka.
Ivy, seperti madu yang manis, membawa kehangatan dan warna dalam hidup Mr. Gabriel. Gadis itu selalu tampak ceria, penuh perhatian, dan memiliki cara tersendiri untuk menyentuh hati orang lain.
Mr. Gabriel, yang biasanya serius dan tenang, merasa ada cahaya baru dalam hidupnya setiap kali bersama Ivy.
Dia ingin melindungi gadis itu, menjaganya lebih dari apa pun, dan memastikan bahwa kebahagiaan Ivy selalu menjadi prioritasnya.
Ivy juga memiliki cara unik untuk menunjukkan perhatiannya. Suatu pagi, dia membawa sekotak kue dan menyerahkannya kepada Mr. Gabriel dengan senyum penuh semangat.
Di atas kotaknya, tertempel secarik kertas kecil:
Mister, aku buat kue! Semoga suka :)
Luv luv dari Ivy
Mr. Gabriel tertawa kecil saat membacanya. Kue buatan Ivy ternyata begitu lezat, dan setiap gigitan membuatnya semakin yakin bahwa Ivy memang istimewa.
Beberapa rekan kerjanya bahkan mulai menyadari perubahan dalam dirinya.
"Gabriel, akhir-akhir ini kau terlihat sangat bahagia," komentar salah satu rekan dosennya.
"Begitulah," jawabnya singkat dengan senyum samar, meski hatinya berteriak penuh kebahagiaan.
Ivy tak henti-hentinya berbicara tentang pantai. Meski sebenarnya Mr. Gabriel tidak menyukai pantai, kali ini dia membuat pengecualian.
Dia sudah memutuskan, demi gadis itu, dia rela melakukan apa saja.
Sebelum hari yang mereka tunggu-tunggu, Mr. Gabriel dengan hati-hati mempersiapkan segalanya.
Dia membeli pakaian santai, meskipun pakaian itu bukan gayanya. Lalu, dia memilih sekotak cokelat dan seikat bunga mawar putih yang cantik.
Sambil memegang bunga itu, dia bergumam pelan, "Aku akan memberikan sesuatu yang spesial untukmu, Ivy..."
Namun, ada sesuatu yang membuat wajahnya memerah. Dalam keranjang belanjanya, terselip sebuah kotak kecil—pengaman.
Membayangkan kemungkinan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya membuatnya gelisah, tetapi juga penuh harapan.
Pikirannya melayang, membayangkan momen saat ia akhirnya mengungkapkan perasaannya kepada Ivy di bawah langit cerah pantai.
Mr. Gabriel ingin hari itu menjadi sempurna, sebuah kenangan yang tak terlupakan bagi mereka berdua.
...****************...
Mr. Gabriel sudah tidak sabar menunggu hari di mana ia bisa pergi ke pantai bersama Ivy. Namun, setiap kali melihat kotak pengaman di kantongnya, pikirannya melayang jauh.
Pria itu bahkan sering membayangkan hal-hal nakal, bahkan saat sedang di kelas.
Suatu kali, ketika Ivy memanggilnya, ia tersentak dari lamunannya. "Mister," panggil Ivy sambil tersenyum jahil. "Melamun saja dari tadi. Sedang memikirkan apa?"
"Ah, tidak apa-apa," jawab Mr. Gabriel cepat sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Ivy mendekat, senyumnya semakin lebar. "Apa iya? Pasti ada yang Mister sembunyikan, ya? Mengaku sekarang," godanya sambil menatap tajam.
"Tidak, Ivy."
Namun, Ivy tidak menyerah. Dia memperhatikan gerak-gerik Mr. Gabriel yang terlihat canggung dan menutupi saku celananya.
Tatapan Ivy tertuju pada saku pria itu. "Nah, Mister! Apa itu yang Mister sembunyikan di kantong?" Tanyanya sambil menunjuk saku Mr. Gabriel.
"Jangan, Ivy," jawabnya buru-buru, wajahnya memerah.
Tapi Ivy sudah terlanjur penasaran. Dia mencoba mendekat dan mengintip, bahkan berusaha menggelitik Mr. Gabriel untuk mengalihkan perhatiannya.
"Hentikan, Ivy!" Peringat Mr. Gabriel dengan nada malu.
Bukannya berhenti, Ivy terus mengganggunya sampai keseimbangan mereka goyah.
Mereka terjatuh bersama, dan di saat itu Ivy berhasil menarik benda yang disembunyikan Mr. Gabriel.
"HA! Aku dapat!" Seru Ivy penuh kemenangan.
Tapi saat dia melihat isi kotak kecil itu, wajahnya langsung memerah. Ivy terdiam, menatap benda itu dengan bingung dan terkejut.
Mr. Gabriel buru-buru mengambilnya kembali dan menyimpannya di saku.
"Ivy, ini—"
Namun, Ivy langsung berdiri, menutupi wajahnya yang merah padam. "Mister... ternyata playboy yang doyan celap celup, ya?" Katanya dengan suara pelan namun penuh rasa kecewa.
"Hah? Bukan begitu!" Mr. Gabriel mencoba menjelaskan, tetapi Ivy tampak ingin pergi.
Dia menarik tangan gadis itu dan memojokkannya ke dinding. "Apa maksudmu, Ivy?" Tanyanya, matanya menatap dalam ke arah Ivy.
"Mister playboy. Aku pikir Mister pria baik-baik," ucap Ivy dengan suara kecil, tetapi jelas ada rasa kecewa di dalamnya.
"Ini salah paham," Mr. Gabriel. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Satu-satunya orang yang akan... melakukan itu bersamaku adalah gadis nakal yang selalu kucium..."
Ucapan pria itu terhenti, matanya menatap Ivy lekat-lekat.
Ivy membelalak, wajahnya semakin merah. "Mister, aku ke toilet dulu!" Dia buru-buru mendorong Mr. Gabriel dan melarikan diri ke toilet.
Di sana, Ivy mencoba menenangkan dirinya. Wajahnya masih memanas, dan dadanya berdebar tak karuan.
"Kenapa Mister bisa mengatakan hal seperti itu..." Gumamnya sambil memandang pantulan wajahnya di cermin.
Ivy menjadi lemas, wajahnya merah padam, menatap lurus ke depan sambil menggigit bibir bawahnya.
Bayangan hal tadi terus bermain di pikirannya. "Mister mau melakukannya denganku..." Gumamnya pelan.
Jantungnya masih berdegup kencang, dan tangannya yang memegang meja toilet terasa sedikit gemetar.
Pikiran Ivy mulai melayang. Ia membayangkan tangan Mr. Gabriel yang besar dan hangat menggenggamnya, suara dinginnya yang selalu terdengar tenang, hingga senyum kecil yang sering kali menghiasi wajah pria itu saat melihatnya.
Ivy mulai memanas saat membayangkan betapa dekatnya mereka nanti.
Ini pertama kalinya untukku... Pikir Ivy, wajahnya semakin merah saat memikirkan tv- buh Mr. Gabriel yang selalu terlihat sempurna.
Namun, Ivy tiba-tiba menggeleng kuat. "Nggak! Aku nggak boleh gini. Kalau memang hal itu akan terjadi, semuanya harus sempurna. Hari itu harus spesial, bukan hanya untukku, tapi juga untuknya."
Ivy menatap dirinya di cermin sekali lagi. Wajahnya yang penuh semangat kembali bersinar. "Aku harus mempersiapkan diri," katanya dengan nada penuh tekad.
Gadis itu mulai merancang rencana dalam kepalanya. "Spa! Aku harus pergi ke spa, merawat tubuhku, mungkin mencoba masker wajah yang baru. Aku juga perlu berolahraga agar staminaku baik."
Beberapa saat Ivy kembali lagi ke kelas. Saat pintu dibuka, Mr. Gabriel melayangkan tatapan penasaran. Apa yang akan dikatakan gadis itu?
Ivy itu terlihat ragu sejenak, namun akhirnya ia menguatkan diri. "Aku tidak keberatan jika kita melakukannya, Mister.." Katanya dengan suara pelan namun jelas.
Mata Mr. Gabriel membulat, dan tubuhnya terasa kaku beberapa detik. Namun, setelah mengolah kata-kata itu dalam pikirannya, ia tersenyum kecil.
"Aku juga tidak keberatan, Ivy," jawabnya dengan nada pelan tapi mantap.
Tatapan mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti. Mr. Gabriel mendekat, menatap Ivy dengan intens. "Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman karna hal itu," ucapnya.
"Tidak, Mister. Justru sebaliknya," kata Ivy sambil tersenyum malu. Dengan perlahan, ia mendekatkan dirinya dan mengecup bibir pria itu.
"Aku juga menantikannya... tapi aku juga butuh waktu untuk mempersiapkan diri," ucap Ivy sambil menatap Mr. Gabriel dengan mata yang berbinar.
"Saat kita jalan-jalan di pantai nanti, kita bisa memiliki waktu bebas, kan?" Tanya gadis itu lagi.
Mr. Gabriel mengangguk, wajahnya yang serius perlahan berubah lembut. "Tentu saja. Tapi..." Dia berhenti sejenak, kemudian menatap Ivy dengan pandangan resah.
Mr. Gabriel mendekat lalu berbisik, "Terkadang aku sangat tidak sabar, Ivy."
Wajah Ivy kembali memerah dan ia tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
"Sabar, Mister. Satu hari itu akan menjadi milik kita," katanya sambil menepuk lengan pria itu dengan lembut.
Namun, sebelum mereka melanjutkan, Ivy berhenti dan menatap Mr. Gabriel dengan senyum nakal. "Mister, jadi... apakah Mister suka padaku?"
Pertanyaan itu berhasil membuat Mr. Gabriel sedikit terkejut. Ia menatap Ivy dalam-dalam lalu tersenyum jahil, "Aku akan menjawabnya nanti."
"Dasar berlagak misterius lagi!" Ivy pura-pura kesal, memukul pundak pria itu dengan gaya manja.
Mr. Gabriel hanya tersenyum kecil, merasa semakin terpikat oleh keberanian dan keceriaan gadis itu. "Kamu juga harus sabar, Ivy."
Hari-hari berikutnya, Ivy benar-benar memanjakan dirinya. Ia menghabiskan waktu di spa, mencoba berbagai perawatan, dari lulur hingga mandi susu.
Di rumah, dia berolahraga dengan rajin, bahkan mengatur pola makan dengan sangat disiplin.
"Pokoknya aku harus perfect nanti, oh iya.." Ivy mengeluarkan dala-man berenda, warnanya merah, dan ia tersenyum nakal.
"Ini bagus hehe.." Ivy tertawa sendiri membayangkan hal nanti.
...****************...
Setelah penantian panjang, hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Ivy bangun lebih awal dari biasanya, mempersiapkan segalanya dengan penuh semangat.
Rambutnya yang tergerai dibiarkan natural, hanya dihiasi sedikit sentuhan pita kecil yang ia ikat rapi. Ia memilih riasan tipis untuk hari ini.
Di tangannya, ia memegang sebuah botol kecil berisi minyak pijat yang telah ia beli.
"Ini bisa buat memijat, Mister," gumamnya sambil tersenyum di depan cermin.
Ivy juga menyiapkan sesuatu yang istimewa—kue kecil berbentuk hati dengan tulisan "I love you" di atasnya. Kue itu ia buat dengan penuh cinta, berharap bisa menyampaikan perasaannya kepada Mr. Gabriel di pantai nanti.
Setelah memastikan semuanya siap, Ivy mengirim pesan kepada pria itu.
Ivy: Aku sudah siap, Mr. Gabriel. Aku akan menunggumu di minimarket dekat rumah.”
Namun, setelah beberapa menit berlalu, pesan itu tidak mendapat balasan. Ivy mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin Mr. Gabriel sedang sibuk mempersiapkan sesuatu juga.
“Mungkin dia juga punya kejutan untukku,” Gumam Ivy, tersenyum sendiri.
Ivy akhirnya memutuskan untuk pergi lebih dulu ke pantai, berharap bisa mempersiapkan kejutan untuknya.
Setibanya di pantai, suasana begitu cerah. Langit biru tanpa awan, angin berhembus lembut, dan ombak berirama menenangkan hati.
Ivy tampak cantik dengan baju renang pink yang ia pilih, salah satu rekomendasi dari Mr. Gabriel beberapa waktu lalu.
Gadis itu menggelar kain piknik di atas pasir putih, menata makanan kecil yang ia bawa, dan meletakkan kue berbentuk hati itu di tengah.
Di bawah payung yang teduh, Ivy duduk menunggu dengan hati berbunga-bunga.
Ivy mengirim pesan lokasi kepada Mr. Gabriel.
Ivy: Mister, aku sudah di sini, cepatlah kemari! Cuacanya bagus..
[ Lokasi ]
Namun waktu terus berlalu, dan pria itu tidak kunjung datang. Ivy mulai gelisah. Ia menghubungi Mr. Gabriel beberapa kali, namun tidak ada jawaban.
Panggilannya juga tidak diangkat sama sekali.
“Kenapa dia nggak jawab sama sekali? Apa terjadi sesuatu?” Gumam Ivy, rasa khawatir mulai menyelimutinya.
Gadis mencoba tetap tenang, meyakinkan dirinya bahwa pria itu akan segera datang.
Namun, saat siang menjelang sore, langit yang cerah perlahan berubah mendung.
Angin bertiup lebih kencang, membawa hawa dingin yang menusuk. Dan tepat ketika Ivy hampir kehilangan harapannya, hujan tiba-tiba turun dengan deras, membasahi pasir dan semua yang ada di sekitarnya.
Ivy tetap duduk di bawah payung, memeluk tubuhnya sendiri yang mulai menggigil. Kue yang ia buat dengan penuh cinta mulai kehilangan bentuknya.
Tulisan “I love you” perlahan pudar, terhapus oleh kelembaban udara. Makanan yang ia siapkan tidak lagi terlihat menarik.
Mata Ivy mulai memanas. Ia merasa sesak, seolah dadanya dihimpit oleh kekecewaan yang mendalam.
“Aku udah susah payah menyiapkan segalanya untuk hari ini. Kenapa dia nggak datang? Apa dia lupa? Apa ada sesuatu yang lebih penting dari hari ini ya..”
Hujan semakin deras, dan suasana pantai yang tadinya hangat berubah menjadi kelam.
Ivy masih duduk di sana, memandangi makanan dan kue yang sekarang terlihat seperti simbol kegagalannya. Air mata mulai mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan hujan.
Hingga senja menjelang, Ivy tetap menunggu. Tapi Mr. Gabriel tidak pernah datang. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, bahkan tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
Ivy duduk sendirian di bawah payung yang sudah basah kuyup, memeluk lututnya sendiri.
"Saat aku melihat wajahnya.. aku akan memukulnya." Gumam Ivy dengan perasaan getir.
Hujan deras terus mengguyur pantai, membuat suara ombak terdengar samar di antara gemericik air. Ia tidak tau sudah berapa lama ia menunggu. Dadanya terasa berat, seolah-olah semua yang ia persiapkan sia-sia.
Tiba-tiba, langkah kaki mendekat di atas pasir basah. Ivy mendongak dengan sedikit harapan, tapi ia tidak melihat apa-apa.
Lalu, seseorang menyampirkan jaket hangat ke tubuhnya yang menggigil.
“Mister—” Ivy menoleh, mengira itu Mr. Gabriel, namun wajah yang ia lihat bukanlah pria itu.
Sebaliknya, di hadapannya berdiri Albert, mantannya, dengan wajah yang basah oleh hujan dan ekspresi sedih.
“Albert? Apa yang kamu lakukan di sini?” Tanyanya dengan suara gemetar, campuran antara harapan dan kekecewaan.
Albert menarik nafas panjang sebelum menjawab.
“Ivy, ayo pulang,” ujarnya pelan, tapi suaranya terdengar getir.
Ivy berdiri dengan kesal, matanya memerah karena emosi yang ia tahan sepanjang hari.
“Nggak, aku nggak akan pulang! Aku akan menunggunya sampai dia memberiku kabar!” Bentaknya, nadanya meninggi untuk menutupi rasa sakit di hatinya.
Albert tetap diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata dengan suara yang sedikit bergetar.
“Sudah cukup, Ivy. Gabriel nggak akan datang.”
Kata-kata itu menusuk hati Ivy seperti pisau. Ia merasa tubuhnya melemas.
“Kenapa... kenapa kamu tau tentang Mr. Gabriel? Tunggu, gimana kamu tau aku disini?” Tanyanya dengan suara bergetar.
Albert menatapnya dengan ekspresi bersalah.
“Gabriel yang menyuruhku untuk menjemputmu,” jawabnya pelan.
Ivy segera menarik kerah kemeja Albert, memandanginya dengan tatapan marah bercampur luka.
“Dia menyuruhmu?! Jadi... kenapa dia nggak datang?”
Albert tidak langsung menjawab. Namun, kebisuan itu sudah cukup bagi Ivy untuk memahami semuanya. Ia tersentak, melepaskan genggamannya dengan gemetar.
“Kenapa dia nggak datang?!” Serunya dengan nada tinggi bercampur dengan ia akan tangisnya.
Albert memalingkan wajah, seolah tidak sanggup menatap Ivy. Dengan suara berat, ia menjawab.
“Sekarang dia sedang bersama Kak Selena.”
Ivy terdiam, merasa tubuhnya kehilangan keseimbangan. “Selena?” Tanyanya, nyaris berbisik.
Albert mengangguk. “Ya, Kakakku. Wanita yang akan dia nikahi. Kak Selena sudah sadar setelah 2 tahun koma.”
Seakan-akan dunia Ivy benar-benar runtuh di hadapannya. Kata-kata Albert terus terngiang di kepalanya, menghancurkan setiap harapan dan mimpi yang ia bangun untuk hari itu.
Air hujan yang membasahi wajahnya kini bercampur dengan air mata yang tak bisa ia tahan lagi.
“Kenapa dia nggak bilang apa-apa..” Ivy berbisik lirih, suara yang hampir tenggelam dalam derasnya hujan.
Albert mencoba mendekat, ingin menghibur gadis itu, tapi Ivy mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri.
“Pergi, Albert. Aku nggak butuh belas kasihanmu.”
Namun, Albert tetap berdiri di sana, tidak bergerak. “Ivy, aku tau ini berat... tapi kamu nggak pantas disakiti seperti ini. Ayo, kita pulang.”
Ivy hanya bisa menunduk, merasakan sakit yang luar biasa di dadanya. Langit kelabu dan hujan yang deras seolah ikut menangisi luka hatinya.
'Seharusnya aku mencari tau dulu tentang pria itu dan seharusnya aku juga mendengarkan Albert.. dugaanku selama benar bahwa mereka saling kenal..'
'Aku sangat bodoh.. Gabriel, kau berhasil membohongiku' Batin Ivy.
ayo dong up lg..
semangat💪
ikut nyimak novelmu thor..