"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 DUKA YANG MENDALAM
Cahaya matahari pagi menyelinap lewat celah gorden ruang rawat, membentuk garis-garis keemasan yang jatuh di lantai putih rumah sakit. Kilau itu mengenai wajah Luis, memaksanya mengerjap pelan sebelum akhirnya membuka kedua matanya yang sembab.
Di atas ranjang, Ava masih terbaring dalam keheningan yang menusuk. Kepalanya dibalut perban tebal, rambutnya berantakan seperti helaian yang kehilangan kehidupan. Wajahnya pucat—begitu pucat hingga Luis takut menyentuhnya, takut kulit itu akan retak oleh kelembutan. Di leher Ava tampak memar samar, seolah tubuhnya masih menyimpan jejak kejadian tragis semalam.
Luis duduk di samping putrinya, meraih tangan dingin itu dengan kedua tangannya. Ia menunduk, bibirnya bergetar saat kulit Ava menyentuh pipinya. Air mata yang sempat berhenti kini mengalir lagi tanpa bisa ia cegah.
"Ava… jangan tinggalkan Ayah, sayang…" bisiknya nyaris tak bersuara, seperti doa yang hanya diperuntukkan untuk Tuhan dan anaknya.
Hatinya terguncang. Ia sudah kehilangan istrinya bertahun-tahun lalu—kehilangan yang tidak pernah sembuh sepenuhnya. Luka itu masih mengendap di dadanya seperti bekas luka yang selalu mengingatkan bahwa hidup bisa mengambil segalanya kapan saja. Dan melihat Ava dalam keadaan seperti ini… ketakutan yang sama kembali menggigitnya dengan lebih kejam.
Pintu kamar terdengar terbuka, membuat Luis menoleh. Keluarga Alder masuk—Margaret, Agam, dan Esther. Langkah mereka terdengar tergesa sekaligus penuh ketakutan. Luis bangkit perlahan dari kursinya, buru-buru mengusap pipinya agar tidak terlihat terlalu kacau.
"Apa dia sudah siuman?" tanya Margaret, suaranya serak.
Luis menggeleng pelan. Tanpa banyak bicara, ia memberi ruang agar Margaret dan Esther bisa mendekat ke ranjang.
“Kak Ava…” suara Esther pecah saat ia melihat kondisi kakaknya. Matanya langsung berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan isak.
Agam berdiri di belakang putrinya dan istrinya—wajahnya serius, tapi matanya menunjukkan rasa kehilangan yang sama. Luis menatap keluarga itu sebentar sebelum akhirnya mundur dan melangkah keluar kamar bersama Agam.
Lorong rumah sakit terasa dingin. Cahaya lampu neon memantul di ubin yang begitu bersih hingga seolah tidak ada ruang untuk kesedihan. Orang-orang berlalu-lalang—dokter, perawat, dan keluarga pasien—suara langkah mereka menyatu dengan suara mesin-mesin medis dari kejauhan. Kontras dengan kesunyian yang menyelimuti hati mereka berdua.
“Kau akan memakamkan Martin sekarang?” tanya Luis pelan.
Agam menghela napas, suaranya rendah dan berat. “Keluargaku sepakat menunggu Ava siuman… karena bagaimanapun dia adalah calon istri putraku.”
Luis menunduk, merasakan rasa pedih yang tak bisa ia gambarkan. “Sekali lagi aku turut berduka cita, Agam.”
“Terima kasih, Luis” jawab Agam dengan getaran kecil.
Belum sempat keduanya melanjutkan percakapan, pintu IGD terbuka keras dari dalam. Esther muncul dengan napas terengah, matanya membesar.
“Papa, panggilkan dokter! Kak Ava sudah sadar!”
Agam langsung bangkit dan berlari kecil menuju perawat, sementara Luis langsung masuk kembali ke kamar dengan jantung berdebar—takut, lega, tak tahu harus merasa apa.
“Ava, sayang…” suara Margaret terdengar pelan namun bergetar ketika Luis melangkah masuk.
Ava membuka matanya perlahan. Pandangan pertamanya buram, seperti dunia perlu beberapa detik untuk kembali menjadi nyata. Lalu fokusnya jatuh pada Margaret yang berada di sisinya—wajah yang biasanya rapi kini tampak hancur: mata sembab, rambut acak, dan ekspresi penuh ketakutan yang tidak berusaha ia sembunyikan.
“Martin…” suara Ava parau. “Bagaimana… Martin?”
Ruangan itu seketika membeku. Margaret menunduk, menarik napas panjang untuk menahan luapan emosinya. Luis melihat jemari wanita itu bergetar di tepi ranjang.
“Ava… Martin sudah—”
Margaret belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika dokter dan dua perawat muncul, diikuti Agam. Mereka langsung memeriksa kondisi Ava: tekanan darah, pupil mata, detak jantung. Luis meminggir, memberi ruang, tapi hatinya seperti dipukul dari segala sisi.
Sementara itu, di rooftop rumah sakit, angin pagi berembus lebih keras. Arash berdiri sendirian di dekat pagar pembatas, jaketnya sedikit berkibar tertiup angin. Pagi itu cerah, tapi tidak ada satu pun sinar matahari yang mampu menembus kegelapan yang menyesakkan dadanya.
Air mata mengalir perlahan di pipinya—bukan deras, hanya satu-satu, namun terasa seperti serpihan kaca yang meluncur turun. Rahangnya mengeras, menahan emosi yang meledak-ledak di dalam.
Matanya menatap halaman rumah sakit di bawah sana. Mobil lalu-lalang, orang-orang berjalan terburu—semua seakan melanjutkan hidup sementara hidupnya sendiri baru saja runtuh semalam.
Bayangan semalam menembus kepalanya tanpa ampun—Ava yang dengan santai meraih kunci mobil dari tangan Martin, lalu melangkah menuju kursi kemudi. Arash memperhatikan momen itu dari kejauhan, tak pernah menyangka bahwa beberapa jam kemudian ia akan menerima kabar bahwa kakaknya tak pernah kembali.
Arash menunduk, napasnya berat.
Ia dan Martin memang sering berselisih; dua karakter keras yang selalu bertabrakan. Namun di balik semua adu mulut dan ejekan, rasa sayangnya pada kakaknya tak pernah pudar. Hanya saja… ia terlalu kaku untuk mengakuinya.
Kini, penyesalan itu menekan dadanya hingga sesak. Kedua tangannya mengepal begitu kuat sampai urat di lengannya menegang. Rahangnya mengeras, dan matanya meredup penuh amarah yang ia tahan.
Kalau saja bukan dia yang mengambil kunci itu…
Kalau saja bukan dia yang mengemudi…
Mungkin kak Martin masih ada di sini.
Pikiran itu berputar tanpa henti, menusuk lebih dalam setiap kali ia mengingat senyum kakaknya—senyum yang kini hanya tersisa dalam kenangan.
Dering ponselnya memotong keheningan. Nama Lian muncul di layar. Arash menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan cepat agar suaranya tidak terbaca gemetar.
“Ada apa?” tanyanya datar.
“Kau dimana? Aku sudah di rumah sakit,” suara Lian terdengar khawatir.
“Tunggu di situ. Aku akan turun.”
“Turun? Turun ke—”
Arash memutus panggilan sebelum Lian selesai bicara. Ia tidak punya tenaga untuk percakapan panjang. Dengan langkah tegap namun berat, Arash meninggalkan rooftop. Pintu besi tertutup di belakangnya dengan bunyi berdenting kecil.
Di lobby rumah sakit, Lian berdiri dengan ekspresi yang langsung berubah penuh getir saat melihat Arash mendekat.
“Arash…” Lian segera bangkit dan memeluk sahabatnya erat-erat. “Aku turut berduka atas meninggalnya Kak Martin…”
Arash memejamkan mata sejenak, membalas pelukan itu dengan kekuatan yang hampir putus di tengah jalan.
“Terima kasih, Lian…” suaranya pecah tipis—nyaris tak terdengar.
Arash melepaskan pelukan Lian perlahan, seolah menyimpan sisa kehangatan itu sebagai tameng tipis bagi emosinya yang hampir runtuh. Nafasnya terdengar berat. “Ayo,” ucapnya singkat. Ia tidak menatap Lian, hanya berjalan—bahunya tegang, langkahnya kaku—seakan setiap gerakan adalah upaya menahan sesuatu yang ingin pecah dari dalam dadanya.
Lian mengikutinya dari belakang. Suara sepatu yang beradu dengan lantai licin membentuk gema pelan.
“Aku dengar… katanya kak Martin kecelakaan bersama kekasihnya,” ujar Lian hati-hati. “Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Aku tidak tahu.” Jawaban itu dingin, datar. Seperti pintu baja yang tertutup rapat.
Lian mengernyit, tak percaya. “Bagaimana bisa kau tidak tahu? Kau kan—”
Kalimat itu terputus ketika Arash berhenti mendadak. Ia menoleh, menatap Lian dari jarak sangat dekat. Mata itu—merah, letih, marah, dan retak—menusuk seperti pecahan kaca. Lian segera terdiam. Tenggorokannya terasa kering. Dalam sekejap ia mengangkat kedua tangannya, mendorong bahu Arash pelan, meminta laki-laki itu kembali berjalan tanpa perlu mengatakan apa pun lagi.
Mereka pun melanjutkan langkah hingga tiba di depan sebuah ruangan.
Di luar, suasana terasa pekat dengan kecemasan. Keluarga Alder berkumpul di sepanjang lorong—Margaret bersandar pada punggung kursi, wajahnya letih; Esther menggenggam ujung bajunya sendiri, gelisah; Agam berdiri paling depan, bahunya jatuh seperti menanggung sesuatu yang tak tertanggungkan.
Lampu-lampu neon di lorong memantul di ubin mengilap, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali seseorang berpindah tempat. Suara sepatu perawat yang mondar-mandir bergema, serta aroma obat antiseptik yang kuat memenuhi udara.
“Lian, lama tidak bertemu. Bagaimana kamarmu?” sapa Agam dengan suara yang sengaja ia lembutkan, mungkin untuk menyembunyikan lelah di matanya.
“Baik, Paman,” balas Lian sambil menunduk hormat. “Lian turut berduka cita, Paman... Bibi.”
Margaret hanya mengangguk pelan, tidak mampu berbicara banyak. Suaranya seperti hilang bersama malam panjang yang baru mereka lalui.
“Terima kasih, Lian,” gumam Agam. “Ayah dan ibumu mana? Kenapa kau sendiri?”
“Mereka… nanti siang akan datang untuk melayat,” jawab Lian.
Percakapan itu terhenti saat pintu terbuka. Dokter muda dan dua perawat keluar. Luis berdiri paling cepat, mendekat dengan langkah tergesa yang hampir terjatuh.
“Bagaimana kondisi anak saya?” Suaranya serak.
“Pasien sudah membaik,” jelas dokter dengan nada menenangkan. “Ia hanya perlu banyak istirahat untuk pemulihan lebih cepat.” Senyumnya tipis tetapi tulus.
Luis mengangguk berkali-kali, seperti seseorang yang baru saja diberi sedikit udara setelah tenggelam terlalu lama.
“Luis.” Agam menatap lelaki itu dengan raut wajah serius namun hangat. “Kabar tentang Martin… aku serahkan padamu untuk memberitahu Ava.”
Jeda panjang terasa di sana. Luis memejamkan mata sejenak, seolah mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ia punya. “Baiklah,” ucapnya lirih. “Aku akan memberitahunya sekarang.”
Ia masuk ke dalam ruangan, langkahnya melambat—sebuah langkah seorang ayah yang harus memecahkan hati putrinya sendiri demi sebuah kejujuran.
Setelah Luis menghilang di balik pintu, Agam menghela napas panjang. Margaret menyentuh lengannya, meminta ketenangan, meski dirinya sendiri sulit tetap tegar.
“Papa dan Mama akan mengurus kepulangan kakak kalian,” ucap Agam pada kedua anaknya. Meski suaranya mantap, getar kecil masih terdengar di ujung setiap kata. “Esther… pulang dengan kak Arash, ya.”
Esther mengangguk kecil. Ada banyak takut, sedih, dan kelelahan yang tertahan dalam gesturnya. Tapi ia menuruti. Setidaknya ada Lian—dan itu cukup untuk membuatnya merasa lebih aman saat berada satu mobil dengan Arash yang emosinya kini tak menentu.
Lian menepuk punggung Esther pelan, memberi tanda bahwa ia akan ada di sana untuk menengahi, jika dua saudara itu kembali saling bersinggungan akibat kedukaan yang menekan mereka dari segala arah.
Di depan mereka semua, Arash hanya berdiri diam. Rahangnya mengeras. Pandangannya menatap lantai seolah di sanalah dunia runtuh. Suara-suara samar rumah sakit—monitor jantung, roda brankar, langkah perawat—semua terdengar jauh, seperti ia terkurung dalam kepalanya sendiri.
Lian memandangnya sebentar, lalu meraih lengannya dengan satu sentuhan ringan. “Ayo,” ucapnya.
Dan Arash, tanpa kata, mengikuti. Seolah hanya pergerakan itu yang menahannya agar tidak hancur berantakan.
.
.
.
.
.
.
.
📌 Jangan lupa like nya yaa, ❣️