Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah sakit
Devan langsung mengantar Gauri balik ke rumah sakit begitu keluar dari toko roti. Dia masih terbawa emosi pada Vano. Untung Gauri sudah tidak ketakutan lagi.
Lorong rumah sakit sore itu lengang, tapi udara terasa sesak oleh suara-suara kecil yang berbisik di belakang punggung Devan.
"Eh, itu cucunya pemilik rumah sakit ini kan?
"Kok sama gadis itu?
"Ya ampun, anak itu lagi. Ribut lagi nggak nanti? Mendingan ditaruh di RSJ sekalian,
ngapain ..."
Devan berhenti.
Tidak menoleh. Tidak bicara. Hanya berhenti. Dan efeknya instan, semua bisikan mati mendadak. Beberapa suster pura-pura membaca chart. Dua perawat berdeham gugup. Seseorang bahkan mundur selangkah tanpa sadar.
Devan hanya mengangkat kepalanya sedikit. Tatapan dingin, jelas-jelas memberi pesan,
Aku dengar semuanya. Awas.
Lalu ia kembali melangkah sambil memegang tangan Gauri yang masih menempel di jari-jarinya, seolah gadis itu adalah poros yang menahan amarahnya agar tidak meledak.
Gauri, tidak paham apa yang terjadi, hanya melangkah dengan ayunan tangan kecil, memeluk roti-roti yang baru dibungkus.
Sesampainya di lantai perawatan khusus, seorang suster yang biasa mengurus Gauri menghampiri.
"Eh, pak Devan? Oh, ternyata Gauri ada sama anda. Pak Devan kenal dia?" nadanya cerah sekali, terlalu cerah untuk sesuatu yang tulus.
Devan hanya menatap. Suster itu menelan ludah.
"Oh, iya. Silakan. Dokter Agam masih operasi. Kamarnya sudah siap."
Mereka berjalan menuju kamar rawat Gauri, kamar yang selalu sama. Gorden biru, aroma antiseptik tipis, boneka cokelat kecil yang dibelikan Agam di atas nakas, dan dinding yang menurut Gauri terlalu putih, kayak kapas.
Begitu pintu ditutup, suara dunia luar seperti meredam. Gauri langsung menarik ujung baju Devan, mengangkat kantong roti ke atas seperti trofi.
"Kakak … buka ini?" Mata bulatnya berbinar, pipinya yang sedikit kemerahan masih terlihat lucu setelah menangis, dan tantrum di kebun sekolah tadi.
Devan mengangguk kecil.
"Duduk dulu."
Gauri patuh. Ia duduk bersila di atas lantai sebelum Devan mengangkatnya ke sofa kecil di dekat jendela, karena lantai terlalu dingin. Gadis itu menerima roti pertama dengan kedua tangan, seperti menerima hadiah ulang tahun. Dan ketika gigi kecilnya menggigit bagian atas yang empuk, matanya langsung menutup.
"Enak …" gumamnya sambil mengayun kaki.
Devan bersandar di meja kecil, menyilangkan lengan, memperhatikan. Ada bagian di dalam dirinya yang seharusnya tidak bereaksi berlebihan pada pemandangan sesederhana itu. Tapi entah kenapa … dada Devan terasa hangat setiap kali melihat Gauri makan dengan lahap.
Terlalu polos.Terlalu jujur. Terlalu tidak terlindungi. Dan dia baru saja dihina orang. Di depan Devan. Pikirannya memanas lagi, tetapi suara pelan Gauri menariknya kembali.
"Kakak …"
"Hm?"
"Nama kakak siapa?"
"Devan."
Gauri menyorongkan roti setengah dimakan ke arah bibir Devan.
"Kak Devan mau coba?" Ia tersenyum lebar, bangga seperti sedang menawarkan makanan buatan sendiri.
Devan menghela napas.
"Kakak nggak lapar."
Gauri langsung menunduk, bahunya merosot. Devan menahan tawa kecil, reaksi gadis itu begitu spontan.
"Ya udah, kasih sedikit." setelah jeda, Devan mencondongkan tubuh dan menggigit ujung roti itu. Gauri menatapnya tidak berkedip.
"Enak?"
"Enak," jawab Devan jujur.
Gauri menepuk-nepuk lututnya bahagia. Setelah habis satu roti dan setengah lainnya masuk ke kantong 'dibungkus untuk nanti', Gauri mulai menguap kecil. Mata bulatnya mengecil, tubuhnya bergoyang pelan ke kanan dan kiri.
Devan sudah tahu tanda itu.
"Ngantuk?"
Gauri mengangguk sambil mengucek mata, lalu merangkak ke arah tempat tidur dengan tangan terulur, mencari pegangan.
Mencari Devan.
Pria itu tidak menyuruhnya cepat. Ia hanya mengikuti dari belakang, memegangi punggung Gauri agar tidak jatuh. Gauri naik ke kasur, duduk, lalu memegang pergelangan tangan Devan.
"Kak Devan sini."
Devan membuka selimut, membantu gadis itu masuk. Gauri langsung berbaring miring, masih memegang jari-jari Devan seperti pegangan hidup.
"Kakak… jangan pergi…" suaranya mengecil, seperti anak kecil takut ditinggal.
"Kakak di sini," jawab Devan. Ia duduk di kursi samping ranjang.
Namun Gauri menarik tangan Devan lagi, lebih erat.
"Jangan di kursi. Sini."
Devan terdiam.
Ia menatap wajah Gauri, pucat karena obat, manis karena senyum, dan lelah setelah hari yang kacau. Gadis itu benar-benar belum mau ditinggal.
"Kalau kakak pergi … Gauri nanti nangis lagi," desisnya pelan.
Devan akhirnya menghela napas, menyerah. Ia duduk di pinggir ranjang. Gauri langsung meletakkan tangan Devan di bawah pipinya, seperti bantal tambahan. Bahkan saat napasnya mulai melambat, jemarinya tidak lepas.
"Gauri," gumam Devan,
"Kalau kamu terus begini, aku ..."
Ia berhenti. Tidak jadi melanjutkan. Karena Gauri sudah tertidur. Benar-benar tertidur, dengan napas halus yang naik turun di punggung tangan Devan.
Keheningan memenuhi ruangan.
Untuk beberapa menit, Devan hanya duduk diam. Menatap gadis itu. Menahan napas. Sisi lembut dirinya muncul ketika ia menyibakkan sedikit rambut yang menutupi mata Gauri.
Setelah sekitar dua puluh menit, suara pintu terbuka.
Agam masuk dengan seragam operasi, masker masih menggantung di bawah dagu. Tubuhnya jelas kelelahan, tapi matanya langsung membesar melihat pemandangan di depannya.
Gauri terlelap memeluk tangan Devan. Devan diam, duduk di pinggir kasur, tidak bergerak.
"Devan …" Agam berjalan mendekat.
Devan berdiri perlahan agar tidak membangunkan Gauri.
"Kau sudah kembali?" sambung Agam, suaranya melemah.
"Mhm."
"Ada masalah?"
Devan menatap Agam lama.
Ada banyak yang ingin ia katakan tentang bagaimana orang-orang memperlakukan Gauri. Tentang Vano. Tentang semua bisikan. Tentang rasa panas di dadanya setiap kali seseorang meremehkan gadis itu.
Tapi ia hanya menjawab singkat.
"Dia makan roti yang dia ambil dari tong sampah. Waktu aku lihat, sudah banyak yang dia makan. Aku membuangnya, dia sempat tantrum. Tapi tidak lama pas aku bilang akan bawa dia ke toko roti.
Agam kaget.
"Ro-roti, dari tempat sampah?"
Devan mengangguk pelan.
"Sebaiknya kau periksa kondisi tubuhnya nanti."
Agam mengangguk. Wajahnya terlihat semakin letih. Ia menatap Gauri yang terlelap dalam tidurnya, lalu mendesah berat.
"Terimakasih, sudah menjaganya."
Devan mengangguk dan bicara lagi.
"Kau harus perhatian semua staf rumah sakit ini. Ada yang pura-pura baik di depanmu pada dia. Di belakang mereka mengatainya gila.
Agam menegang. Rahangnya mengeras, bola matanya menggelap.
"Siapa?" suaranya rendah, hampir seperti geraman.
Devan menggeleng.
"Bukan soal siapa. Tapi banyak. Kau tahu sendiri… Gauri bukan pasien biasa. Mereka pikir dia beban. Menyulitkan."
Tangan Agam mengepal. Ia tidak menyangka Devan yang baru pertama kali mengantar Gauri ke sini justru jauh lebih peka darinya.
"Aku akan menertibkan mereka nanti." katanya.
Devan mengangguk. Ia lalu melepaskan pergelangan Gauri pelan, menatap gadis yang pulas itu lama sebelum pamit pergi dari sana.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Mandi paginya Gauri gimana tadi - mandi sendiri atau Devan yang memandikan 😄.
Di restoran hotel untuk sarapan - teman-teman alumni menyapa Devan dan Gauri.
Ada dua orang teman alumni yang sinis, tatapannya menilai, merendahkan Gauri yang menempel pada Devan.
Merupakan suatu hiburan bagi Gino - segala apa yang Gauri dan Devan lakukan. Sangat lucu terlihat dimatanya - seorang Devan akhirnya ketempelan perempuan. Gino selalu mengabadikan momen demi momen kebarsamaan Gauri dan Devan.
Gauri merasa masih kecil, mau naik perahu berbentuk gajah. Devan stok sabarnya masih full menghadapi keinginan Gauri 😄
Gauri sudah tidur. Devan mandi untuk meluruhkan ketegangan yang melanda, bahkan canggung juga panik dalam menghadapi Gauri yang Devan sama sekali tidak menduga.
Gauri mimpi buruk.
Benar-benar jadi Gauri sitter ini Devan - menjaga Gauri aman, memandikan, pakaiin baju - bra pula, memberi makan, dan menemani Gauri tidur.
Tahu begitu bawa suster perawatnya Gauri, Devan. Gak menyangka akan terjadi hal seperti itu - mandiin anak gadis yang berkelakuan anak-anak karena trauma akibat kecelakaan yang pernah dialami.
Benar-benar menguji iman dan kesabaran Devan - bra juga mesti Devan yang pakai-in 😄.
Diana ini maksud hati ingin cari perhatian Devan. Tak sesuai harapannya, tanggapan Devan tetap datar.
Diana - tak usah punya pikiran aneh-aneh tentang Gauri dan Devan yang berada di dalam satu kamar hotel.
Janganlah segala sesuatu itu d lihat dgn mata,, pakailah hatimu..., biar ad rasa simpati disana. Si nini2 itu,, kenal dekat sama Gauri sj...,, enggak. Sok2 an menilai...,, ga ad orang yang pingin sakit,, baik itu sakit d jiwa atw d fisik.
Lha,, d situ yg katanya orang dewasa...,, menilai orang lain seperti itu,, jangan2 d situ yg sakit jiwanya.
Diana tidak suka melihat kedekatan devan dan gauri, gauri terus nempel sm devan membuat diana iri dan cemburu...
Devan merasa nyaman semenjak kehadiran gauri tidak membuatnya terganggu sama skl, justru perasaan devan sll ingin menjaga dan melindungi gauri....
Semenjak kehadiran gauri hidup devan jadi berwarna ,tingkah laku gauri sangat lucu dan gemesin biasanya devan anti perempuan susah didekati sm perempuan memiliki trauma.....
tanpa sadar gauri lah yg membantu devan menyembuhkan traumanya....