Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. DEBAT
Kafe itu mendadak terasa sesak. Suara riuh pelanggan yang tadi memenuhi udara kini seolah lenyap di telinga Elena. Hanya detak jantungnya yang terasa begitu jelas, berdegup kencang seiring sorot mata tajam pria di hadapannya.
Hans Morelli.
Nama itu kembali menyeruak dari masa lalu seperti pisau yang baru saja diasah. Pria itu berdiri tegak, mengenakan jas hitam yang kontras dengan sinar mentari siang yang menembus kaca besar kafe. Matanya yang kelam menatap Elena dengan ketegasan yang sama seperti dulu; tegas, dingin, dan penuh perhitungan.
Tapi kini ada sesuatu yang berbeda. Tatapan itu tidak hanya dingin, melainkan juga marah.
"Kau menculik anakku?" Suara Hans berat, dalam, dan menusuk.
Elena yang masih duduk terpaku hanya mampu menggeleng pelan, matanya menatap Theo yang kini bersembunyi di diri Elena dengan wajah ketakutan.
"Jangan bodoh, Hans," kata Elena akhirnya, suaranya bergetar namun tegas. "Aku bahkan baru saja bertemu anak ini beberapa menit lalu."
Hans mendengus kecil, matanya menyipit. "Beberapa menit? Lalu kenapa dia memanggilmu 'Mama' dan duduk di pangkuanmu seperti itu?"
Nada sarkastik itu membuat darah Elena mendidih. Ia berdiri, menatap balik tanpa gentar.
"Kalau kau tidak terlalu sibuk dengan urusan kantormu, mungkin kau akan tahu kenapa anakmu bisa tersesat di tempat umum seperti ini, sendirian!" tukas Elena.
Beberapa orang mulai melirik. Suara mereka berdua mulai naik tanpa sadar.
Hans menahan rahang, wajahnya menegang. "Jaga bicaramu, Elena. Aku tidak minta ocehan darimu tentang bagaimana aku membesarkan anakku."
Elena menyilangkan tangan di dada, nada bicaranya penuh sindiran. "Tapi jelas kau membutuhkannya. Anak sekecil ini sampai memanggil orang asing 'Mama'. Kau tahu apa artinya itu, Hans? Dia kesepian."
"Cukup!" suara Hans meninggi, tegas, dingin, memotong kalimat Elena begitu saja.
Namun sebelum Elena sempat membalas, suara kecil yang gemetar memecah ketegangan itu.
"Papa, jangan marahi Mama!"
Keduanya serentak menoleh.
Theo kini menatap Hans marah, matanya mulai berkaca-kaca, tangannya menggenggam erat sisi mantel Elena.
"Theo ...," Hans berusaha menurunkan nada suaranya, tapi bocah itu menggeleng keras.
"Jangan marah-marah pada Mama! Mama baik! Mama tidak jahat! Mama jaga Theo," ujar bocah itu.
Elena tersentak pelan. Bocah itu kini sudah memeluknya, kecil namun begitu erat, seolah takut seseorang akan merenggut Elena darinya.
Hans menatap pemandangan itu dengan campuran bingung dan frustrasi. Ia menarik napas panjang, menunduk sedikit agar sejajar dengan Theo.
"Theo, dengarkan Papa. Itu bukan Mama. Papa sudah bilang-"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Theo menjerit kecil. "Tidam! Ini Mama! Ini Mama Theo!"
Tangisnya meledak. Seketika wajah mungil itu merah, dan air matanya menetes membasahi baju Elena. Ia memeluk Elena makin erat, sementara orang-orang di sekitar mulai berbisik-bisik melihat pemandangan itu.
Elena menatap Hans tajam. "Lihat apa yang kau lakukan? Kau membuatnya menangis."
Hans menegakkan tubuhnya, mengusap wajah dengan frustrasi. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
"Sebenarnya?" Elena memelototinya. "Atau kau terlalu dingin untuk mengerti perasaan anakmu sendiri?"
Hans terdiam, rahangnya mengeras. Ia terbiasa menghadapi lawan bisnis yang keras kepala, tapi entah mengapa, menghadapi Elena selalu terasa berbeda. Wanita itu tahu cara menusuk sisi terlemahnya tanpa berteriak, tanpa kekerasan, cukup dengan kata-kata dan tatapan matanya.
"Elena ...," ucap Hans dengan nada lebih tenang, "aku minta maaf jika aku terdengar kasar. Tapi Theo adalah anakku, dan aku-"
"Aku tahu," potong Elena cepat, menunduk sambil menepuk lembut punggung Theo yang masih terisak. "Tapi anakmu ini sedang ketakutan, Hans. Setidaknya jangan buat dia berpikir kalau dunia ini terlalu kejam untuknya."
Hans hanya terdiam. Matanya tertuju pada tangan Elena yang dengan lembut mengusap kepala Theo, pada cara wanita itu menunduk dengan penuh kesabaran, menenangkan bocah kecil itu tanpa satu pun nada marah.
Ia terpaku.
Dulu, saat masih muda, ia selalu berpikir Elena hanya tahu cara berdebat dan mengalahkan lawan. Tapi sekarang, di hadapannya, ia melihat sisi Elena yang sama sekali berbeda, lembut, tenang, dan hangat.
Sisi yang selama ini tak pernah ia bayangkan dari seorang wanita yang dulu ia anggap batu karang di dunia bisnis.
Theo perlahan mulai berhenti menangis, tapi masih menempel erat di tubuh Elena, menatap papanya dengan wajah cemberut.
"Papa jahat," gumam Theo dengan hidung tersumbat. "Papa marah sama Theo dan Mama."
Hans tertegun. Ia menghela napas panjang, lalu berjongkok di depan anaknya.
"Papa minta maaf, Theo." Nada suara Hans lembut, tapi bocah itu justru memalingkan wajah, menyembunyikan pipinya di dada Elena.
Elena yang melihat itu menatap Hans, separuh geli, separuh jengkel. "Lihat? Dia marah padamu."
Hans mengangkat alis. "Dan tampaknya dia lebih percaya padamu daripada pada ayah kandungnya."
Elena menatap balik dengan pandangan tajam yang sedikit mengandung ironi.
"Mungkin karena kau tak pernah memberinya waktu untuk percaya," balas Elena.
Hans ingin membalas, tapi menahan diri. Ia tahu, entah kenapa, kali ini Elena tidak sepenuhnya salah. Ia menatap Theo lagi, bocah kecil itu masih memeluk Elena seolah tak mau dilepaskan.
Keheningan yang janggal menggantung di antara mereka sampai akhirnya seseorang datang menghampiri. Seorang pria berjas abu-abu, lebih muda dari Hans, dengan senyum kikuk yang mencoba mencairkan suasana.
"Hans," panggilnya. "Kau di sini rupanya. Kami butuh tanda tanganmu untuk pertemuan investor jam tiga."
Hans menoleh. "Ronald?"
Ronald Morelli, adik bungsu Hans yang juga tangan kanannya di perusahaan Morelli Corporation, kini berdiri di sampingnya sambil melirik Elena dan Theo secara bergantian.
"Uhm ... aku mengganggu sesuatu, ya?" tanya Ronald bingung akan situasi Hans dan Elena yang tegang.
"Elena Wattson," ucap Hans singkat, nadanya datar. "Kau mungkin sudah dengar tentangnya."
Ronald langsung teringat. Nama itu bukan asing di telinganya, rival bisnis keluarga Morelli sejak lama ketika wanita itu berkerja di perusahaan orang tua dulu.
"Oh. Jadi ini Elena Wattson, atau yang dulu dipanggil Miss. Alvarez. Senang bertemu denganmu," ujar Ronald.
Elena hanya mengangguk, tidak ingin berdebat lebih jauh. Ia terlalu lelah untuk basa-basi dengan keluarga Morelli.
Namun sebelum ada yang bicara lagi, Hans menatap jam tangannya dan menghela napas. Ia berjongkok lagi, menatap Theo dengan serius.
"Theo, Papa harus kerja. Kau ikut Uncle Ronald, ya?" pinta Hans pada anaknya.
Theo menggeleng cepat, memeluk Elena makin erat. "Tidak mau! Theo sama Mama!"
"Elena bukan Mama Theo," Hans mengingatkan dengan nada lembut tapi tetap tegas.
Tapi bukannya mendengarkan, Theo justru menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Papa jahat! Theo tidak mau! Theo mau Mama!" seru sang bocah.
Beberapa pelanggan kembali melirik, bahkan ada yang mulai berbisik-bisik lagi. Ronald memandang kakaknya dengan ekspresi canggung.
"Hans ... mungkin lebih baik jangan dipaksa di sini. Anakmu bisa trauma kalau ...." Ronald melihat Theo yang menempel pada Elena.
Hans menatap adiknya seolah meminta solusi. Theo masih memeluk Elena, dan Elena hanya bisa menatap keduanya dengan wajah kebingungan.
"Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Elena jujur, suaranya pelan tapi terdengar jelas. "Aku bahkan tidak tahu kenapa anakmu bersikeras memanggilku Mama."
Hans mengusap pelipis, frustrasi. "Karena aku pernah bilang padanya kalau suatu hari ia akan mengenali ibunya dari hatinya. Tapi aku tidak menduga dia akan ...." Ia menghentikan kalimatnya, menatap Elena sekilas.
Ronald menepuk bahu kakaknya pelan. "Biar aku bantu. Theo tampaknya merasa nyaman dengan Mrs. Elena. Lagi pula, kau harus ke kantor, kan?"
Hans terdiam sejenak, menatap anaknya, lalu ke Elena yang masih memeluk Theo di pangkuannya. Akhirnya ia mengembuskan napas panjang, menyerah.
"Baiklah. Ronald, bawa mereka pulang ke rumah. Aku tak mau Theo menangis di tempat umum," pinta Hans.
Ronald sempat terkejut. "Apa? Bawa pulang ke rumah?"
Hans menatap tegas. "Kau dengar aku, 'kan?"
Ronald mengangguk pelan, sementara Elena menatap tak percaya.
"Tunggu dulu, Hans. Maksudmu aku ikut ke rumahmu?" tanya Elena.
Hans menatapnya dengan dingin. “Kau lihat sendiri, Elena. Dia tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Aku butuh seseorang yang bisa menenangkannya, dan untuk alasan yang entah kenapa, kau bisa melakukannya."
Elena membulatkan mata, ingin membantah, tapi tatapan Hans sudah beralih pada Theo.
Ia menunduk, mengelus rambut anaknya lembut.
"Theo, Papa harus kerja dulu, ya. Jangan nakal, dengar kata Uncle Ronald dan ...," mata Hans terarah pada Elena "... dengar kata Mama."
Elena hampir tersedak udara sendiri. "Hans!" protesnya cepat.
Tapi Hans hanya menatap dengan ekspresi datar, lalu menunduk untuk mengecup kepala Theo.
"Papa pulang sore ini," katanya lembut. "Jangan menangis lagi, Theo."
Theo tersenyum kecil di antara air mata yang belum kering. "Iya, Papa."
Hans menatap Elena sesaat, tatapan yang sulit diartikan, antara getir dan penasaran, sebelum ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan kafe.
Ronald yang kini kebingungan akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah, sepertinya aku jadi pengemudi hari ini.”
Elena menatapnya tak percaya. "Ini benar-benar gila. Aku tidak seharusnya ikut-"
"Percayalah," potong Ronald sambil tersenyum canggung. "Kakakku lebih keras kepala daripada yang kau kira. Kalau kau tidak ikut, Theo bisa menangis sampai malam."
Theo yang mendengar itu langsung memeluk Elena lagi, seolah takut Elena menghilang.
"Mama ikut pulang, ya?" kata Theo dengan suara pelan namun memohon.
Elena menatap bocah itu lama, lalu akhirnya menyerah. Ia menghela napas, menatap Ronald lelah.
"Baiklah. Tapi hanya untuk hari ini," ucap Elena.
Ronald mengangguk lega. "Good."
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil hitam milik Elena. Ronald yang menyetir dengan hati-hati sesekali melirik lewat kaca spion, memerhatikan Elena di kursi belakang yang memangku Theo dengan sabar.
Bocah itu kini tampak tenang, bahkan sesekali tertawa kecil ketika Elena memainkan jari-jari mungilnya.
Elena sendiri hanya bisa tersenyum samar.
Ia memandangi wajah kecil itu, lembut, polos, dan begitu damai. Jari-jari mungil yang menggenggam gaunnya dengan erat membuat dadanya terasa hangat.
"Mama ...," Theo berbisik setengah mengantuk. "Nanti Mama tidur di rumah Theo, ya?"
Elena tersenyum lembut, mengusap rambutnya. "Kita lihat nanti, Sayang."
Ronald yang mendengar percakapan itu hanya bisa tertawa kecil.
"Kau tahu, Elena? Aku belum pernah lihat Theo tersenyum selebar itu. Biasanya dia diam dan susah didekati," kata Ronald.
Elena menatapnya dari kaca spion, lalu kembali menunduk ke arah Theo. "Mungkin dia hanya butuh seseorang yang mendengarkannya."
Ronald mengangguk pelan. "Atau mungkin ... dia memang menunggu seseorang sepertimu."
Elena tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela, menyembunyikan senyum kecil yang tiba-tiba muncul.
Mobil itu terus melaju di bawah langit sore yang mulai berwarna keemasan.
Theo tertidur di pangkuannya, masih dengan tangan kecil yang menggenggam jemarinya.
Dan untuk pertama kalinya setelah hari yang panjang dan penuh luka, Elena merasa dadanya tidak sesakit itu.
Mungkin begini rasanya menjadi seorang ibu, pikir Elena senang dalam hati.
Merasakan cinta yang datang tanpa syarat, tanpa pamrih, hanya dengan sentuhan tangan kecil dan panggilan lembut, Mama.
masih penasaran sm mlm pertama mereka berdua, othor nih bikin penasaran aja deh 😁
kalau Elena gak mandul, semoga yg mandul Raven dan ternyata Jessy hamil dgn pria lain, pasti aku akan bersorak kegirangan 🤣
selamat atas pernikahan Hans dgn Elena dan selamat untuk Theo akhirnya Elena jadi Mama nya beneran 😍
jangan jadi hama😤.