ADRIAN PRATAMA. Itu nama guru di sekolah gue yang paling gue benci. Karena apa? Karena dia udah membuka aib yang hampir tiga tahun ini gue tutup mati-matian.
“Dewi Mantili. Mulai sekarang kamu saya panggil Tili.”
Nyebelin banget kan tuh orang😠 Aaarrrrggghhh.. Rasanya pengen gue sumpel mulutnya pake popok bekas. Dan yang lebih nyebelin lagi, ternyata sekarang dia dosen di kampus gue😭
ADITYA BRAMASTA. Cowok ganteng, tetangga depan rumah gue yang bikin gue klepek-klepek lewat wajah ganteng plus suara merdunya.
“Wi.. kita nikah yuk.”
Akhirnya kebahagiaan mampir juga di kehidupan gue. Tapi lagi-lagi gue mendapati kenyataan yang membagongkan. Ternyata guru plus dosen nyebelin itu calon kakak ipar gue😱
Gue mesti gimana gaaeeesss???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu Negara
Nenden yang tengah menata dagangannya di atas meja, sedikit penasaran melihat pintu rumah kontrakan yang ada di depan rumahnya terbuka. Sudah dua bulan kontrakan itu kosong, dan sepertinya akan ada penghuni baru di sana. Setelah selesai menata dagangannya, dia berjalan mendekati kontrakan tersebut.
“Wahyu.. kontrakannya sudah ada yang isi?” tanya Nenden pada pria yang tengah mengepel lantai rumah.
“Iya, bu. Katanya pagi ini mau langsung diisi.”
“Oh syukur atuh kalau sudah isi. Suami istri?”
“Bukan, bu. Laki-laki masih muda, jomblo kayanya,” Wahyu terkekeh setelahnya.
Tak ingin mengganggu pekerjaan Wahyu, Nenden kembali ke tempatnya. Yang penting dirinya sudah mendapatkan informasi yang ingin diketahuinya. Tak lama beberapa tetangganya datang untuk membeli dagangan.
“Mau ada penghuni baru ya, bu?” tanya bu Lia, langganan Nenden.
“Iya. Laki-laki, masih muda katanya.”
“Akhirnya di lingkungan kita ada brondong juga,” celetuk bu Farah sambil terkikik.
“Iya, biar lebih berwarna tempat kita,” sambung Lia.
“Kalau yang di samping bu Farah, masih kosong ya,” ujar Nenden sambil menyiapkan pesanan.
“Iya, bu. Masih kosong. Mudah-mudahan cepat keisi ya. saya suka takut kalau suami dinas malam.”
“Takut apa bu? Kan lingkungan di sini aman. Ngga akan terjadi sesuatu, In Syaa Allah.”
“Bukan takut maling. Lagian dia mau ambil apa di rumah saya. Takut hantu, soalnya saya berapa kali pernah dengar suara-suara aneh dari rumah sebelah.”
“Aah.. perasaan ibu aja kali.”
“Beneran bu. Makanya kalau mas Agus kerja malam, saya sama Nuri langsung masuk kamar, ngga mau keluar lagi, takut.”
Nenden dan Lia hanya manggut-manggut saja. Mereka sebenarnya tidak percaya kalau ada hantu di rumah itu. Bisa saja suara yang didengar adalah suara tikus atau binatang malam lainnya.
“Ibu nanti jualan lotek ngga?” tanya Farah setelah menerima nasi kuning pesanannya.
“In Syaa Allah jualan, bu.”
“Kalau gitu saya pesan ya, dua bungkus. Lagi males masak.”
“Siap bu. Pedas ngga?”
“Yang satu pedas, satu ngga. Ini uangnya sekalian, jadi nanti tinggal ambil.”
Farah memberikan kembali uang kembalian yang diberikan Nenden padanya. Setelah berpamitan dengan Lia, wanita itu kembali ke rumahnya.
“Saya juga pesan bu, tiga bungkus. Satu pedas, dua sedang. Ini uangnya sekalian, sekalian bayar yang ini.”
Lia menyerahkan uang lima puluh ribuan di tangannya. Nenden memberikan kembalian sebesar lima ribu rupiah pada wanita itu. Dan berikutnya Lia kembali ke rumahnya. Tak lama berselang, sebuah Honda Vario warna hitam berhenti di depan rumah Nenden. Aditya turun dari tunggangannya kemudian menaruh helm di atas stang. Pemuda itu berjalan menghampiri Nenden.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh nak Aditya.”
Aditya meraih tangan Nenden lalu mencium punggung tangannya.
“Mau ketemu Dewi?”
“Iya, tante. Tapi saya mau sarapan dulu. Pesan nasi uduknya ya, tan.”
“Jangan panggil tante, panggil ibu aja.”
“Iya, bu.”
“Komplit ngga?”
“Komplit bu, spesial pake telor.”
Nenden tersenyum mendengarnya. Dengan cepat dia menyiapkan nasi uduk untuk Aditya lalu memberikan padanya.
“Makannya di teras aja. Sebentar ibu panggilkan Dewi dulu.”
Aditya berjalan menuju teras dan mendudukkan diri di salah satu kursi. Tak berapa lama Nenden keluar bersama dengan Dewi. Gadis itu terkejut sekaligus senang melihat Aditya sudah datang sepagi ini. Dia ikut duduk di samping Aditya.
“Kok jam segini udah datang. Kan janjiannya jam sepuluh.”
“Pertama, aku mau sarapan nasi uduk buatan ibumu. Kedua, aku mau lihat kontrakanku.”
“Emang kontrakan kamu di mana?”
“Itu,” Aditya menunjuk rumah petak yang berada tepat di depan rumah Dewi. Kebetulan sekali Wahyu baru saja selesai membersihkan rumah tersebut.
“Hah?? Serius kamu ngontrak di sana?” mata Dewi membulat.
“Serius. Biar aku bisa terus dekat kamu dan calon ibu mertua,” Aditya melirik pada Nenden yang tengah melayani pembeli.
Dewi masih belum percaya dengan yang dikatakan Aditya, sampai akhirnya telinganya menangkap pembicaraan Wahyu dan ibunya.
“Bu.. punten, titip kunci buat yang ngontrak di sana.”
Wahyu memberikan kunci di tangannya. Melihat itu Aditya menaruh piringnya yang sudah kosong di meja kemudian bergegas mendekati pria tersebut.
“Sini, kang. Saya yang ngontrak di sana,” ucapan Aditya cukup mengejutkan Nenden.
“Aditya bukan?”
“Iya, saya Aditya.”
“Ini kang. Rumahnya sudah saya bersihkan, kamar mandinya juga. Kalau ada kerusakan kaya bocor, bilang aja ke saya.”
“Sip. Makasih, kang.”
Wahyu hanya mengangkat ibu jarinya kemudian segera meninggalkan tempat tersebut. Aditya memasukkan kunci ke saku celananya.
“Nak Adit yang ngontrak di sana?” tanya Nenden.
“Iya, bu. Mulai hari ini kita tetanggaan. Mohon bimbingannya ya bu.”
“Bimbingan, kaya mau naik haji aja.”
“Hehehe.. oh iya, bu. Berapa nasi uduknya?”
“Ngga usah bayar. Anggap aja itu makanan selamat datang.”
“Wah makasih, bu. Nasi uduknya enak, mantul,” Aditya mengangkat kedua jempolnya.
Dewi yang sedari tadi masih berada di kursinya, mulai bangun lalu menghampiri keduanya.
“Oh iya, bu. Saya boleh ngga, ajak Dewi beli perlengkapan rumah?”
“Boleh. Neng, coba ajak Adit ke tokoh koh Abeng. Di sana kan harganya murah.”
“Iya, bu. Bisa minta diskon juga kan,” Dewi menampilkan senyum manisnya yang sukses membuat Aditya semakin klepek-klepek.
“Rayu aja kang Harinya. Koh Abeng kan gimana kang Hari.”
“Oh kang aiueo, ya.”
“Ish kamu tuh,” Nenden menepuk pelan lengan anaknya.
“Aiueo gimana?” tanya Adit bingung.
“Kang Hari tuh sumbing bibirnya. Jadi kadang aku ngga ngerti dia ngomong apa. Yang kedengeran di kupingku cuma aiueo aja hihihi…”
Aditya tak bisa menahan tawanya mendengar penjelasan Dewi. Nenden hanya menggelengkan kepalanya saja. Tapi memang kadang dirinya masih sulit mengerti dengan apa yang dikatakan karyawan kepercayaan koh Abeng itu.
“Kalau mau ke sana, mending sekarang aja. Sebentar lagi kan buka, mumpung masih pagi. Kalau penglaris biasanya suka dikasih diskon.”
“Nah bener tuh. Aku ganti baju dulu, ya.”
Dewi bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengganti pakaiannya. Tak berapa gadis itu keluar dengan tas selempang di bahunya. Aditya pun langsung menyiapkan motornya. Sambil mengenakan helmnya, Dewi berjalan menuju motor Aditya.
“Pergi dulu, bu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
🌸🌸🌸
Toko kelontong milik koh Abeng masih terlihat sepi. Maklum saja, toko itu baru saja buka sepuluh menit yang lalu. Dua orang pegawainya masih menata beberapa barang dagangan di depan toko. Dewi segera mengajak Aditya untuk masuk ke dalamnya. Kondisi toko penuh sesak dengan barang dagangan. Hanya menyisakan ruang yang tidak begitu besar untuk askes jalan.
Karena sudah mengenal Dewi, dua pegawai yang sedang membereskan dagangan, membiarkan saja gadis itu masuk dan melihat-lihat isi toko. Dia segera menuju bagian ujung toko, di mana terdapat tumpukan kasur di sana.
“Mau beli yang ukuran berapa?” tanya Dewi.
“Ehm.. klo yang single kekecilan ya. Yang di atasnya dikit ada ngga?”
“Bentar kutanya. Kang….”
Dewi memanggil salah satu pegawai yang berada di depan. Pria bertubuh kurus itu segera datang begitu mendengar panggilan Dewi.
“Iya, teh?”
“Kasur yang di atas single ada ngga?”
“Ada. Teteh maunya ukuran berapa? Ada 120x200, 145x200, yang queen sama king size juga ada.”
“Mau yang mana?” Dewi melihat pada Aditya.
Untuk sesaat Aditya masih melihat-lihat tumpukan kasur di dekatnya. Kemudian tangannya menunjuk pada kasur yang berada di urutan ketiga dari atas.
“Yang ini ukuran berapa?”
“Itu 120x200.”
“Yang ini aja, deh.”
“Mau yang tebalnya berapa senti?”
“Emang beda-beda ya kang?” tanya Dewi.
“Iya, ada yang tebalnya 15 senti sampai 40. Harganya juga beda-beda.”
“Kalau yang ini tebalnya berapa?”
“Itu 20 senti, harganya sejuta seratus lima puluh.”
“Mahal amat, lempengin aja kang jadi sejuta.”
“Jangan ke saya teh, hehehe..”
“Eh Ewi afa kafar?”
Seorang pria berusia tiga puluh tahunan dengan tubuh tidak terlalu tinggi dan badan sedikit gemuk datang menghampiri. Aditya mengamati dengan seksama pria yang baru saja sampai di dekatnya. Dia mengira pasti pria ini yang bernama Hari.
“Alhamdulillah baik kang.”
“Au ari afa?”
“Kasur kang. Tapi sama barang lain. Diskon ya kang, kita mau ngeborong nih,” rayu Dewi.
“Ingai lah.. ilih-ilih ulu ana.”
“Sip kang.”
Hari menitipkan Dewi dan Aditya pada pegawainya, sedangkan dirinya kembali ke tempatnya bertugas tadi. Dia masih mengecek barang-barang yang masuk dan keluar. Sedang koh Abeng sendiri belum datang ke toko.
“Jadi teh, kasurnya yang ini?”
“Jadi. Guling sama bantalnya ada kang?”
“Ada.”
“Minta masing-masing satu.”
“Dua aja, De.”
“Eh dua pasang kang.”
Pegawai itu menganggukkan kepalanya. Dia segera menyiapkan barang yang dipinta Dewi. Kemudian kedua orang itu berputar-putar mencari barang lain yang dibutuhkan untuk kontrakan Aditya. Kini mereka melihat lemari pakaian.
“Mau beli lemari kayu apa excel?”
“Excel aja.”
“Maunya yang gimana? Yang laci aja apa yang ada buat gantungan juga?”
“Bagusnya gimana?”
“Bagusan yang ada gantungannya kubilang. Jadi buat kemeja bisa digantung.”
“Terserah kamu deh. Kan kamu ibu negaranya, aku manut aja.”
“Ish.. apaan sih.”
Dewi melihat-lihat lemari yang terpajang, kemudian pilihannya jatuh pada lemari excel dua pintu, di mana yang satunya bisa digunakan untuk menggantung pakaian. Selanjutnya dia mencari perabotan yang lain. Berturut-turut dia menunjuk dan mengambil apa yang dibutuhkan.
Ember dua buah, gayung, capstok, piring melamin dan mangkoknya sebanyak tiga buah, gelas setengah lusin, sendok dan garpu, pisau, panci untuk memasak mie, magic com mini, juga setrikaan. Tak lupa dia membeli alat kebersihan seperti sapu, kain pel bergagang, tempat sampah dan sikat WC. Aditya hanya terpaku melihatnya. Ternyata cukup banyak juga yang harus dibelinya. Mudah-mudahan saja uang sisa pembayaran kontrakan cukup untuk membeli itu semua.
“Butuh apalagi? Mau beli kompor ngga?”
“Boleh, kompor gas portbable ada ngga?”
“Ada kayanya.”
Pegawai yang sedari tadi membantu Dewi mengumpulkan barang-barang yang dibelinya dengan cepat mengambilkan barang yang dimaksud. Dan menyatukannya dengan barang yang lain.
“Kalau dispenser ada ngga?” tanya Aditya.
“Ada, a. mau yang normal sama panas, atau sama air dingin juga? Yang ada chilernya juga ada,” terang sang pegawai.
“Yang biasa aja.”
“Siap.”
Semua barang yang dibutuhkan sudah terkumpul, dan kini hanya tinggal menghitungnya saja. Hari segera membuat nota dan menghitung semua belanjaan Aditya. Dewi dan Aditya memperhatikan deretan angka yang tertera di kalkulator.
“Diskong, kang,” Dewi mengingatkan.
“Ia.. enan..”
“Euana ua uta utuh aus ima uluh iga ifu.”
“Belum diskon kan? Lempengin aja jadi 2 juta,” goda Dewi.
“Isa ioro oh afeng.”
Dewi dan Aditya tertawa mendengarnya, walau mereka tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan pria itu. Namun intinya tidak bisa jika hanya membayar seharga itu.
“Uah ayar ua uta utuh aus,” Hari menjelaskan juga dengan jari tangannya untuk angka dua dan tujuh.
“Ok, kang. Bisa dianter ke rumah kan? Ke kontrakan haji Soleh.”
“Isa.. isa.. aus ifu ongirna.”
“Diskon napa, mihil amat. Lima puluh ya.”
“ison ulu.”
“Ngga apa-apa atuh, kang. Kan penglaris.”
“Utuh ima.”
“Deal!”
Aditya mengeluarkan dompetnya kemudian membayar semua belanjaannya secara tunai. Tak lupa pula dengan ongkirnya. Hari segera memerintahkan pegawai yang satunya untuk menyiapkan mobil pick up untuk mengantarkan pesanan. Aditya dan Dewi meninggalkan toko lebih dulu. Mereka harus sudah berada di kontrakan sebelum barang kiriman tiba.
🌸🌸🌸
Hampir satu jam lamanya Aditya mengatur barang-barang di kontrakannya. Dewi pun tak segan untuk membantu. Dia ikut menata di mana barang-barang harusnya diletakkan. Tentu saja Aditya senang dibuatnya.
“Kalau kompor mau taro di mana? Mau di belakang dekat kamar mandi?” tanya Dewi.
“Di depan aja, De.”
“Ambil meja yang di sana, buat tempat kompornya.”
“Siap sayang.”
Aditya segera melesat menuju bagian belakang kontrakannya. Diambilnya meja kecil yang terdapat di dekat kamar mandi. Satu-satunya barang yang ada di kontrakan ini. Dia lalu meletakkan di tempat yang ditunjuk oleh sang pujaan hati. Dewi mengeluarkan kompor dari kotaknya kemudian meletakkan di atas meja tersebut.
“Udah beres kan? Tinggal beresin baju kamu ke lemari.”
“Soal itu biar aku aja. Makasih ya, De. Kok aku berasa kita tuh kaya pengantin baru.”
“Dih ngarep.”
“Emangnya kamu ngga mau kita jadi pasutri?”
BLUSH
Warna pipi Dewi sepertinya sudah seperti tomat kematangan yang hampir busuk. Pemuda di depannya ini berhasil membuatnya geer tingkat tinggi. Melihat Dewi yang tersipu malu, Aditya malah makin senang menggodanya.
“Aku mau bilang ah ke ibu, kalau kamu mau aku labelin.”
“Label apa? Label harga? Emangnya aku barang.”
“Label halal dong. Bukan label dari MUI, tapi dari KUA.”
Dewi memalingkan wajahnya ke arah lain saat mendengarnya. Sebisa mungkin jangan sampai Aditya melihat wajahnya yang kembali merona. Namun terlambat, pemuda itu sudah lebih dulu melihatnya.
“Sekarang tinggal beli perlengkapan lain, Dit,” Dewi mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Beli apa?”
“Banyak. Galon, gas hi cook, perlengkapan mandi, nyuci, sama stok makanan, beras terutama jadi biar irit. Kamu tinggal beli lauk aja kalau makan. Beli gas hi cooknya tiga kaleng aja. Nanti tinggal isi ulang, murah cuma lima ribu.”
“Atur ajalah sama kamu. Kan udah kubilang kamu ibu negaranya. Aku manut aja.”
“Ngga gratis ya,” goda Dewi.
“Emang kamu mau aku kasih nafkah berapa? Atau gini deh, nanti gaji aku, kamu yang atur aja ya.”
“Ish.. apaan sih. Udah ah, ngga cape apa gombal mulu.”
“Kalau gombalin kamu ngga ada capenya, nagih iya.”
“Ngaku ya kalau emang kang gombal. Udah berapa cewek yang jadi korbannya?”
“Cuma kamu. Soalnya kalau dekat kamu, tiba-tiba aja kemampuan menggombalku on.”
“Dasar playboy cap kaki gajah.”
“Eh jangan salah, aku tipe setia loh.”
“Setiap tikungan ada, gitu maksudnya?”
“Iya.. setiap tikungan hatiku selalu ada kamu.”
Dewi bergegas keluar dari kontrakan Aditya karena tak tahan dengan semua rayuan maut pemuda itu. Bisa-bisa wajahnya berubah menjadi kepiting rebus karena tak henti terkena bombardiran gombalan receh Aditya.
🌸🌸🌸
**Udah mau disuruh pegang uang gaji aja nih.
Yang pada nanya Dewi ngga ngenalin motor yg dibawa Adit, karena Dewi ngga pernah nilik² plat no-nya. Dewi dibonceng Adrian tidak dalam keadaan sukarela😂
Kangen sama Roxas? Sabar, nanti juga si Leker nongol, ok😉**
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
dari bab awal dak comed...
krn mengulang baca dan gak ada bosen nya yang ada malah bikin kangen😍😍
lagu "bring me to life" teringat karya mu thor🙈