Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cincin Pengikat, Berita yang Mengguncang, dan Perjalanan Sunyi
Pagi itu, rumah terasa dipenuhi oleh energi baru. Bunda Fatma sudah sibuk dengan ponselnya, mengatur pertemuan dengan event organizer kecil dan menghubungi kerabat dekat. Ayah Bimo terlihat santai dan sangat puas, hasil dari keberhasilan Gus Ammar Fikri mengamankan komitmen.
Aku sendiri, Indira, merasa sedikit bingung. Semua terjadi begitu cepat. Pertunangan yang akan menutup rapat-rapat semua pintu masa laluku. Ammar menuntut langkah ini bukan karena romansa, tapi karena manajemen risiko dan stabilitas.
Setelah sarapan, Pak Sopir yang biasa menjemputku sudah siap di gerbang. Aku masuk ke mobil, merasakan kelegaan karena hari ini aku tidak dijemput oleh Manajer Risikoku secara langsung, namun aura kehadirannya tetap terasa.
Di sepanjang perjalanan menuju kampus, aku meraih ponselku. Aku memutuskan untuk memberi tahu Neli dan Imel secara langsung, sebelum berita itu menyebar dari Bunda Fatma.
WhatsApp Group: Trio Sastra Gila
Indira: Guys, ada pengumuman penting.
Neli: Apa, Ra? Udah ketemu Manajer Risiko lagi? Dia kasih lo PR baru?
Indira: Lebih serius dari PR. Ayah dan Bunda sudah sepakat dengan Gus Ammar. Kami akan bertunangan dalam waktu dekat.
Setelah pesan itu terkirim, butuh waktu beberapa detik sampai respons masuk. Saat notifikasi berbunyi, ponselku bergetar hebat, membuatku nyaris menjatuhkannya.
Imel: HAH???! GILA LO, RA! SECEPAT INI?!
Neli: SERIUS??? Lo baru taaruf seminggu, Ra! Dia benar-benar CEO yang enggak suka nunda-nunda pekerjaan ya! Cepat banget!
Imel: Lo yakin, Ra? Lo enggak merasa dipaksa kan?
Indira: Ini adalah permintaan Ammar. Dia ingin ada komitmen yang jelas, apalagi pernikahan kami masih menunggu aku lulus. Ini untuk menjaga stabilitas taaruf kami.
Neli: Astaga, Ra. Jadi, lo benar-benar akan jadi istri Gus CEO itu! Selamat, Ra! Tapi ini shocking banget! Cepat-cepat kasih tahu kita tanggalnya, ya!
Imel: Aku speechless, Ra. Tapi kalau itu yang terbaik untukmu dan Garis Batas Keyakinanmu, kami dukung. Lo benar-benar dapat pria idaman, dingin-dingin berkarisma!
Aku menyimpan ponselku. Keputusan telah dibuat. Pertunangan ini adalah benteng pertahanan terakhir yang dituntut Ammar dariku.
Setelah kelas selesai, Imel dan Neli menarikku ke kantin, menuntut detail lebih lanjut tentang tanggal pertunangan dan jenis cincin. Aku menceritakan semua keruwetan khitbah mendadak ini, mencoba menjelaskan bahwa ini adalah kontrak komitmen, bukan kisah romantis.
Tepat saat Imel sedang heboh membahas jenis cincin yang akan kupakai, kami melihat beberapa mahasiswa dari BEM Universitas Wijaya Krama yang kemarin ikut acara kolaborasi, duduk di meja seberang. Salah satu dari mereka, seorang mahasiswa yang cukup dekat dengan Revan, berdiri dan berjalan melewati meja kami.
Aku menahan napas. Aku tahu, berita ini harus segera sampai ke telinga Revan agar ia mengerti bahwa Garis Batas yang sekarang ku jaga telah dipasang secara permanen.
"Hei, aku dengar kabar dari kampusmu," kata mahasiswa itu, tiba-tiba berhenti di samping meja kami, menatapku.
"Kabar apa?" tanya Neli, mendahuluiku.
Mahasiswa itu tersenyum simpul, nada bicaranya penuh sindiran. "Kabar bahwa Indira akan segera bertunangan dengan seorang Gus yang kemarin menjemputnya. Pria yang sangat mapan dan berwibawa itu. Benarkah?"
Aku mengangguk pelan, tanpa rasa malu. "Benar. Kami akan segera melaksanakan pertunangan."
Mahasiswa itu menghela napas, seolah merasa kasihan padaku, atau pada seseorang yang dikenalnya. "Selamat, ya. Semoga cincinnya tidak seberat Garis Batas yang harus kamu tanggung." Ia kemudian pergi, tanpa menunggu respons.
Aku tahu, dia adalah utusan. Berita itu akan segera sampai di telinga Revan, bukan sebagai gosip, melainkan sebagai fakta yang ditegaskan langsung olehku.
Aku pulang sore itu dengan mobil jemputan, sendirian. Di dalam mobil, aku tidak lagi merasakan ketegangan, tetapi kehampaan. Aku berhasil. Aku berhasil mengunci Revan. Aku berhasil mendapatkan restu dan komitmen Ammar. Aku berhasil menjadi aset yang stabil.
Namun, keberhasilan ini terasa begitu dingin.
Aku meraih ponselku lagi. Aku mengharapkan satu pesan dari Revan, atau satu telepon, sebagai reaksi terakhirnya. Tidak ada. Revan terblokir total, dan ia mungkin menghormati keputusan itu, atau ia terlalu hancur untuk mencoba.
Saat mobil memasuki halaman rumah, aku melihat Bunda sedang menerima sebuah kotak besar berbungkus kain beludru di ruang tamu.
Bunda menoleh padaku dengan mata berbinar. "Indira! Lihat ini! Gus Ammar mengirimkan ini, katanya sebagai preview cincin pertunangan. Dia memilih sendiri di sela-sela jam rapatnya! Ya Allah, anak ini benar-benar bertanggung jawab!"
Aku menatap kotak itu. Cincin pertunangan. Bukan diberikan secara romantis, melainkan dikirim seperti paket bisnis melalui kurir pribadi.
Aku melangkah masuk ke rumah, menerima nasibku. Cincin itu adalah kunci kebebasanku dari masa lalu, tetapi juga adalah rantai komitmen terdingin yang pernah kurasakan.
Aku tahu, di suatu tempat di kampus seberang sana, Revan Elias Nugraha akan segera menerima berita yang akan mematahkan semangatnya sepenuhnya, memaksanya menerima bahwa Garis Batas Keyakinan telah memilih jalannya sendiri.