Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Antara Nyawa dan Restu Bapak"
Kirana menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar. Pegangan tangannya pada daun pintu mengerat. Kalimat candaan yang sedari tadi ia lontarkan mendadak lenyap, digantikan oleh rasa sesak yang tiba-tiba menyerang dadanya.
Ia berbalik pelan, menatap punggung Bastian yang hendak melangkah pergi. "Tuan..." panggilnya dengan nada yang berbeda—getir dan penuh harap.
Bastian berhenti. Ia bisa merasakan perubahan suasana dari nada suara Kirana. Ia memutar tubuhnya dan mendapati gadis itu sedang menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Tapi... Tuan benar kan akan membiayai pengobatan kanker adik saya, Luki?" tanya Kirana lirih. Suaranya bergetar, menghilangkan semua sosok gadis ceria yang tadi sempat berdebat dengannya. "Tuan janji kan, kalau saya mau ikut sandiwara nikah ini dan jadi ibu buat Freya, Luki bakal dapet pengobatan terbaik? Dia satu-satunya yang saya punya, Tuan..."
Bastian tertegun. Ia melihat kerapuhan yang luar biasa di balik wajah polos Kirana. Segala kemewahan yang ia berikan kemarin—baju mahal, perhiasan, dan perawatan salon—ternyata tidak ada artinya dibandingkan dengan nyawa adiknya yang sedang dipertaruhkan.
Bastian melangkah mendekat, kali ini tanpa aura otoriter yang biasanya ia tunjukkan. Ia berdiri tepat di depan Kirana, menatap lurus ke dalam mata cokelat gadis itu.
"Kirana, dengarkan saya," ucap Bastian dengan suara rendah namun sangat tegas. "Saya adalah orang yang selalu menepati janji. Semua biaya rumah sakit, dokter spesialis, sampai pemulihan Luki sudah saya atur. Siang ini, asisten saya juga sudah mengurus perpindahan Luki ke rumah sakit terbaik di Jakarta agar lebih dekat dengan kita."
Kirana menutup mulutnya dengan tangan, air matanya luruh juga. "Benarkah, Tuan?"
"Saya tidak pernah bercanda soal nyawa orang, apalagi keluarga calon istri saya—meskipun awalnya ini hanya kontrak," Bastian terdiam sejenak, lalu tangannya terangkat ragu sebelum akhirnya menepuk pelan puncak kepala Kirana. "Jadi, berhentilah menangis. Wajahmu jadi makin terlihat seperti anak kecil kalau sedang sesenggukan begini."
Kirana menghapus air matanya dengan kasar menggunakan ujung lengan dasternya, membuat Bastian meringis pelan melihat perilaku tidak estetis itu.
"Makasih, Tuan... Makasih banyak. Saya janji bakal jadi Ibu yang baik buat Freya, saya bakal nurut semua kata Tuan, asal Luki sembuh," isak Kirana.
"Ya sudah, sekarang bersiaplah. Kita harus sampai di desa sebelum sore. Saya tidak mau Bapakmu mengira saya membawa lari anaknya tanpa niat baik," ucap Bastian sambil berbalik, berusaha menyembunyikan rasa iba yang mulai tumbuh di hatinya.
Kirana masuk ke kamar dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena nasib adiknya kini terjamin. Namun di sisi lain, ia sadar bahwa mulai hari ini, hidupnya bukan lagi milik dirinya sendiri. Ia telah menjual kebebasannya pada seorang pria yang ia panggil 'Kelinci Otoriter', demi sebuah harapan bernama kesembuhan.
"Tunggu aja ya, Dek. Kakak bakal bawa pulang 'Mas Kelinci' ini buat minta restu Bapak. Semoga Bapak nggak langsung serangan jantung liat calon mantunya yang lebih mirip model majalah daripada orang beneran," gumam Kirana sambil mulai membuka lemari pakaiannya yang kini berisi baju-baju mahal bermerek.
Satu jam kemudian, Kirana keluar dari kamar dengan penampilan yang membuat Mbak Lilis yang sedang menyapu di ruang tamu nyaris menjatuhkan sapunya. Kirana mengenakan blouse putih berbahan sutra yang dipadukan dengan rok plisket berwarna pastel. Rambutnya ia biarkan tergerai rapi, sangat kontras dengan sosok "Kirana si Gadis Daster" yang biasanya.
Bastian sudah menunggu di teras, bersandar pada mobil SUV mewahnya sambil sesekali melirik jam tangan. Saat melihat Kirana, ia tertegun sejenak. Ada binar kebanggaan sekaligus rasa bersalah yang beradu di matanya; bangga karena Kirana tampak begitu memukau, namun bersalah karena ia tahu gadis ini berdandan bukan demi cinta, melainkan demi kesembuhan adiknya.
"Ayo berangkat," ajak Bastian singkat setelah berhasil menguasai ekspresinya.
Perjalanan menuju desa memakan waktu sekitar tiga jam. Sepanjang jalan, Kirana hanya diam menatap jendela, jemarinya tak henti memilin ujung bajunya. Suasana yang biasanya penuh perdebatan kini terasa berat.
"Sudah sampai?" tanya Bastian saat mobil mulai memasuki jalanan aspal yang sempit dan berlubang, dikelilingi oleh hamparan sawah hijau.
"Iya, Tuan. Itu... rumah cat biru yang ada pohon mangganya," tunjuk Kirana pelan.
Begitu mobil mewah itu berhenti, beberapa tetangga mulai keluar dari rumah, berbisik-bisik melihat kendaraan yang harganya mungkin setara dengan seluruh tanah di desa itu. Kirana turun dengan jantung yang berdegup kencang, diikuti oleh Bastian yang membawa beberapa bingkisan mahal di tangannya.
"Bapak! Kirana pulang!" seru Kirana pelan saat memasuki teras rumah.
Seorang pria paruh baya dengan sarung dan kaos oblong yang sudah memudar warnanya keluar dari dalam rumah. Wajahnya yang keras dan penuh kerutan karena panas matahari tampak terkejut. Matanya beralih dari Kirana menuju sosok pria tinggi, tampan, dan sangat necis yang berdiri di belakang putrinya.
"Kirana? Siapa ini?" tanya Bapak dengan nada curiga yang sangat kental.
Kirana menelan ludah, ia melirik Bastian yang tampak tenang meski peluh mulai membasahi pelipisnya karena cuaca desa yang cukup panas.
"E-eh... ini Bapak, ini Tuan Bas—maksud saya, ini Mas Bastian," ucap Kirana terbata-bata.
Bastian melangkah maju, lalu tanpa disangka-sangka, ia menundukkan kepalanya dan menyalami tangan Bapak dengan sangat sopan. "Selamat sore, Pak. Nama saya Bastian. Saya datang ke sini dengan niat baik untuk melamar Kirana menjadi istri saya."
Hening. Angin sawah berhembus pelan, namun suasana di teras itu mendadak mencekam. Bapak melepaskan tangannya dari jabatan Bastian, matanya menyipit menatap Bastian dari atas ke bawah.
"Melamar? Baru kerja di kota berapa bulan sudah bawa pulang laki-laki begini? Kamu nggak lagi main-main kan, Ran?" suara Bapak meninggi, membuat Kirana hampir menangis karena takut. "Dan kamu, anak muda. Apa kamu tahu kalau anak saya ini masih bau kencur? Apa tujuanmu sebenarnya?!"
Bastian menarik napas panjang, ia menatap Bapak dengan tatapan yang paling tulus yang pernah Kirana lihat. "Saya tahu, Pak. Tapi saya butuh Kirana, dan saya berjanji akan menjamin seluruh hidupnya, juga kesembuhan Luki. Saya tidak datang untuk membeli anak Bapak, saya datang untuk meminta restu agar bisa menjaganya dengan sah."
Bapak terdiam lama, lalu matanya beralih pada Kirana yang menunduk dalam.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.