Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Pengalaman memalukan.
Tristan masih berdiri kaku, tertampar oleh kebenaran yang baru saja Sellina lontarkan. Ia ingin menarik kembali kata-katanya di masa lalu, ingin mengatakan bahwa ia salah, bahwa ia kini melihat Sellina dengan cara yang berbeda. Namun, penolakan Sellina terasa begitu final.
Sementara Tristan tergagap, pikiran Sellina berkelana ke masa lalu.
Dulu, niatnya menggebu-gebu ingin mendapatkan hati Tristan. Ia selalu berusaha menyenangkan hatinya, menjadi wanita yang didambakannya. Ia mati-matian berjuang di awal pernikahan. Memenuhi segala keperluannya, dari mengisi perutnya dengan masakan yang enak, mengatur jadwal kerjanya, hingga mencoba memberikan perhatian-perhatian kecil yang tulus. Namun, semua usahanya diabaikan.
Kini, setelah ia memutuskan untuk berhenti berusaha dan menganggapnya sebagai kontrak belaka, kini setelah hatinya terasa mati dan tidak lagi bergetar saat melihat Tristan—penantian itu seakan ada hasil. Tristan tiba-tiba ingin mengakui status mereka, ingin mendekat.
Ironi ini membuatnya muak.
Laki-laki di hadapannya, yang kini tampak rapuh dan bingung, seakan tidak bisa menggetarkan hatinya lagi seperti saat awal mereka bertemu. Perasaan itu telah lebur menjadi kekecewaan.
Sellina tidak ingin melanjutkan drama ini. Ia tidak butuh pengakuan status yang datang terlambat, terutama jika itu hanya akan menambah rumit hidupnya dengan Reykha.
"Bersikaplah seperti biasanya, Mas," ucapnya dingin, membuang sisa-sisa kelembutan yang dulu ia miliki.
"Aku gak mau menambah masalah nanti sama Mbak Reykha. Dia jelas gak akan suka."
Ia tak menunggu jawaban. Sellina berbalik, melangkah pasti menuju sofa yang dingin. Ia berbaring membelakangi Tristan, dengan jilbab yang masih menutupi kepalanya.
Melihat penolakan yang begitu keras, Tristan merasa dirinya tiba-tiba tercekat.
Tristan tidak tahan dengan ketegangan yang mendera, tanpa berkata apa-apa lagi, ia tiba-tiba keluar dari dalam kamar. Dentuman keras suara pintu memecah keheningan. Tristan memilih melarikan diri, meninggalkan Sellina sendirian.
Dentuman keras suara pintu yang memecah keheningan itu membuat Sellina terlonjak sedikit, meskipun ia tidak berbalik. Ia tetap berbaring membelakangi pintu, menunggu napasnya kembali normal.
****
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi. Mentari menggantung dengan cahaya menyilaukan di balik tirai kamar, memaksakan sinarnya menembus dan membangunkan penghuninya.
Tristan yang tergeletak di ranjang tampak benar-benar berantakan. Pakaiannya, yang kini kusut, memperlihatkan beberapa kancing kemejanya terbuka. Rambutnya berdiri tak karuan, tampak seperti baru saja diterpa angin topan. Bau alkohol samar-samar masih melekat di udara.
Ia perlahan bangun, matanya mengerjap saat cahaya mentari pagi menerpa wajahnya.
Semalam.
Ingatannya mulai berputar, namun terasa seperti rekaman yang rusak. Bayangan Sellina, wajahnya yang kaget, penolakan dingin yang menusuk. Kemudian, ia ingat suara benturan pintu, langkah kakinya yang cepat keluar kamar. Seorang teman, ajakan minum minuman keras di kafe yang remang-remang.
Karena hatinya yang sedang kacau, dipenuhi rasa malu karena ditolak Sellina dan frustrasi karena masalah Reykha, ia ikut saja. Ia minum, dan minum, hingga dunia terasa berputar.
Lalu, sepotong ingatan itu muncul, tajam dan jelas, ia kembali pulang. Dengan berani, ia menghampiri Sellina lagi, dengan tegas mengutarakan perasaannya di tengah mabuknya. Ia bahkan menciumnya—ya, ia yakin ia menciumnya—dan mereka berakhir tidur bersama.
Mata Tristan seketika membelalak lebar. Ia melihat seseorang sedang menindis kakinya. Ia tersenyum, antara lega dan bingung. Jadi, itu benar? Kami benar-benar tidur bersama?
Perlahan, ia membuka selimut. Tangannya bergerak ragu, meraba tangan yang ada di balik selimut sebelum sepenuhnya terbuka. Jantungnya berdebar kencang.
"Tapi kenapa tangannya jadi kasar gini, dan kayak lebih besar?" gumamnya, keheranan. Sentuhan itu tidak sehalus yang ia ingat dari Sellina.
Didorong rasa penasaran dan panik yang mendadak, ia segera membuka selimut seluruhnya.
Pemandangan itu langsung menghapus sisa mabuk di kepalanya. Tristan menjerit nyaring, duduk tegak di atas kasur.
"Aakh! Mang Arman?! Ngapain kau di sini?!" pekiknya panik saat melihat sopir ibunya yang berbadan besar dan berkumis tebal itu justru tidur nyenyak di sebelahnya, kaki Mang Arman menindih kakinya.
Mang Arman, yang terbangun karena teriakan horor tuannya, membuka mata perlahan. Ia tersenyum penuh penyesalan, tawa kecil yang terdengar canggung. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang sama-sama acak-acakan.
"Maaf Tuan," ujar Mang Arman, suaranya serak. "Habis semalam Tuan mabuk berat, dan Tuan tidak mau melepas saya saat saya antar sampai kamar. Tuan terus memeluk saya erat sambil bilang..."
Mang Arman menatap Tristan dengan tatapan bingung. "... 'Kamu adalah kedamaianku, jangan tinggalkan aku lagi.' Jadi, ya sudah. Saya tidur di sini."
Tristan membeku. Momen romantis semalam, ciuman, pengakuan cinta, tidur bersama—semuanya bukan dengan Sellina, melainkan dengan Mang Arman, sopir ibunya.
Tristan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Keadaan finansialnya kacau, rumah tangganya retak, dan malam romantis yang ia impikan ternyata hanyalah mimpi mabuk yang berakhir dengan seorang sopir tidur di ranjangnya.
Tristan segera bangkit, menarik selimut yang menutupi bagian bawah tubuh Mang Arman. Kepalanya masih berdenyut, namun kepanikan akan Sellina mengalahkan rasa sakitnya.
"Lalu mana istriku?" tanya Tristan panik, suaranya tajam dan dipenuhi kekhawatiran. Ia bahkan tidak peduli Mang Arman masih berusaha menjelaskan mengapa ia memeluknya semalam.
Mang Arman, yang kini duduk di ranjang, hanya bisa menggeleng cemas.
Tristan tidak mendengarkan kelanjutannya. Ia segera memperbaiki pakaiannya yang kusut, mengancingkan kemejanya secara asal, dan melompat dari tempat tidur. Ia tidak peduli dengan penampilan atau Mang Arman. Ia langsung keluar kamar, mencari keberadaan Sellina.
Ia keluar ke koridor, kedua tangannya menopang tubuhnya, berpegangan erat di ambang pintu, matanya menyisir seluruh area. Ia berjalan cepat menuju ruang tengah, pikirannya dipenuhi oleh penolakan dingin Sellina dan kenangan mabuknya yang memalukan.
Ia bergegas menuju dapur, mungkin Sellina sedang menyiapkan sarapan, mencoba bersikap normal seperti biasa. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti.
Di meja makan yang elegan, kedua orang tuanya, Wijaya dan Nayla, sedang menikmati sarapan pagi. Suasana yang tenang dan berkelas itu kontras sekali dengan kekacauan batin Tristan.
Ia langsung berbalik hendak pergi, berharap bisa lolos tanpa terdeteksi.
"Brenti, mau kemana kamu?" tanya Wijaya, ayahnya, suaranya berat dan mengintimidasi.
Tristan membeku. Ia tidak punya pilihan. Perlahan, ia berbalik, berjalan pelan menghampiri mereka. Dengan wajah yang masih pucat karena mabuk dan penuh penyesalan, ia mendekat.
Nayla, ibunya, menatap Tristan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapan itu penuh kritik dan kekecewaan.
"Apa ini Tristan," sergah Nayla, meletakkan sendoknya di piring dengan bunyi klik keras. "Kau masih saja mabuk-mabukan, hah? Lihat penampilanmu! Bau alkohol begini!"
Nayla menghela napas dramatis, menyiratkan betapa rendahnya perilaku putranya. "Istrimu berjilbab, Salehah. Tapi kamu masih saja suka minum minuman keras. Gak bisa apa berubah sedikit?"
Wijaya hanya diam, tetapi tatapannya lebih dingin daripada omelan Nayla.
Tristan merasa dihantam dari segala sisi. Ia tidak bisa membela diri tentang minuman keras karena faktanya ia memang mabuk. Ia juga tidak bisa membela diri mengenai Sellina karena ia baru saja menyakitinya. Dan yang paling ia takutkan, tatapan ayahnya seolah berkata. Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu.
"Maaf, Ma, Pa. Semalam ..." Tristan menggantungkan kalimatnya, tidak mungkin ia menjelaskan ia mabuk karena ditolak oleh istri yang ia cintai sekarang, setelah ia mengabaikannya selama bertahun-tahun.
Tristan menelan ludah, berusaha keras merangkai alasan yang paling bisa diterima.
"Aku cuma ketemu teman lama, Pa, Ma, jadi kami minum sedikit," kata Tristan, mencoba terdengar menyesal sekaligus meyakinkan. "Aku janji, gak akan ngulangin lagi."
Ia mengabaikan tatapan skeptis Nayla. Pikirannya kembali terpusat pada Sellina. Dengan cepat, ia celingukan mencari jejak wanita itu di sekitar meja makan atau di ambang pintu dapur.
"Tapi ... dari tadi aku enggak lihat Sellina, Ma, Pa?" tanyanya, nada suaranya terdengar cemas.
Nayla menghela napas panjang, kembali ke mode mengasihani diri sendiri karena putranya.
"Tadi dia bilang katanya sekarang dia kerja di hotel, ya," jawab Nayla santai. "Tadi dia ada urusan kerjaan sama bosnya katanya. Dia pergi pagi-pagi sekali, buru-buru. Bahkan gak sempat sarapan sama kita."
"Apa?!"
Tristan membelalak.
ditunggu kelanjutannya❤❤