"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Kita Bisa Lalui Ini!
"Aku ingat kenapa aku ninggalin kamu waktu itu."
Matanya langsung melebar. "Oh, ya? Jadi kamu ingat?"
Aku geleng-geleng pelan, dan dia miringkan kepala, jelas bingung.
"Hemm ... Pas aku ninggalin kamu waktu itu, aku lagi konsul sama Dokter Agnes dan menjalani beberapa tes. Kayaknya kamu enggak tahu, ya?" Aku hapus air mataku dengan punggung tangan. "Dan hari ini aku baru tahu hasilnya … aku enggak bisa punya anak. Maksud aku ... mungkin bisa, tapi harus lewat program Fertilitas. Dan ternyata aku udah tahu sebelum ninggalin kamu. Cuma ... aku benaran lupa."
"Serius? Kamu yakin?" Dia tatap wajahku dalam-dalam, dan aku bisa lihat rasa sakit di matanya.
Aku mengangguk pelan. " Yakin."
"Emang enggak bisa cari cara lain, ya?"
Aku tatap dia lurus. "Kata Dokter, ya tadi itu cara lainnya. Dia lihat hasil yang sama kayak Dr. Agnes. Dan itu alasan aku ninggalin kamu, Ernest. Karena aku ngerasa enggak akan bisa kasih kamu keturunan. Aku terima kalau sekarang kamu mau ninggalin aku. Aku enggak bisa kasih hal yang kamu inginkan."
Dia diam.
"Jadi sekarang ... kamu mau ninggalin aku lagi?"
"Aku cuma pingin kamu punya kehidupan yang kamu mimpikan. Kehidupan yang pantas kamu dapetin."
"Hidup yang aku mau tuh kamu, Lavinia. Cuma kamu!!"
Aku mengeluh, terus menutup wajahku dengan bantal. Aku ingin banget berteriak, tapi aku tahan. "Tapi aku tahu kamu pingin punya keluarga besar. Kamu udah sering bilang gitu dari dulu."
"Kamu tadi bilang masih ada opsi pakai fertilitas, kan? Masih ada harapan."
"Kamu tahu enggak, itu mahalnya kayak gimana? Dan kemungkinan berhasilnya kecil banget. Banyak pasangan yang akhirnya bubar karena itu ... Aku lihat sendiri di orang tuaku, Ernest. Setelah mereka punya Rarra, hubungan mereka enggak pernah kembali kayak dulu. Aku enggak mau ngalamin itu sama kamu."
Dia bangkit dari ranjang. "Maksud kamu apa?"
Nada suaranya membuatku merinding.
"Aku enggak mau ikut program itu. Tapi aku juga enggak mau kalau suatu hari nanti kamu nyesel karena milih aku. Pertama, aku udah ambil impian kamu buat jadi pemain sepak bola, terus ambil mimpi kamu buat kuliah desain juga—"
"Ya ampun, balik ke situ lagi!!" amuknya. "Aku udah bilang, aku bahagia sama hidup aku sekarang!"
Aku bangkit juga, berdiri di seberang ranjang. "Tapi tetap aja aku ngerasa udah ambil semuanya dari kamu."
Dia mengatupkan rahang, melihat ke samping. "Kapan, sih kamu bisa ngerti? Aku cuma mau kamu." Bahunya jatuh lemas, dia geleng-geleng kepala. "Aku cuma mau kamuuu!"
”Sekarang kamu bisa bilang gitu, tapi tunggu aja sampai kamu lihat Joshua sama semua keponakan kamu besar!" teriakku. Semua emosi yang pernah aku pendam selama setahun terakhir tiba-tiba keluar begitu saja. Sekarang aku mengerti kenapa Lavinia yang dulu memutuskan untuk pergi. "Mending sekarang kamu benci aku, Ernest ... daripada kamu dendam sama aku sepuluh tahun lagi!"
Kalimat itu ... terdengar familiar sekali.
"Apa? Bukannya kamu bilang kita bakal berjuang sama-sama? Kamu bilang kamu siap jalanin ini. Tapi baru dikasih cobaan sedikit kamu udah nyerah?" Wajahnya memerah.
"Aku udah lihat sendiri, Ernest. Itu enggak gampang, oke? Pasangan yang berjuang buat punya anak itu berat banget. Kita bakal habisin uang buat coba dan coba lagi, terus ujung-ujungnya nyerah juga, enggak dapat apa-apa. Hubungan kita pasti udah hancur saat itu. Mau adopsi? Sama aja, ribet dan susah."
"Ya udah, kita berjuang! Kita pertahanin ini!" teriaknya sampai menggema.
Air mataku tumpah. "Gimana kamu bisa pastiin kalau cinta kita cukup kuat buat hadapin semua ini?"
"Karena ini aja udah cukup." Suaranya mengecil, dia memutar balik ke arahku. "Hidup aku tanpa kamu tuh ... bukan hidup! Dan sekarang aku udah punya kamu lagi, aku enggak akan lepasin kamu!"
”Tapi kamu bakal kehilangan impian kamu ...."
"Impian aku ya, kamu. Dan kalau emang kita benaran pingin punya anak, kita pasti nemuin jalannya. Aku yakin kita bisa hadapin ini sama-sama. Apa pun itu. Kamu bilang kita itu partnership, kan? Jadi kalau kamu jatuh, aku yang tahan. Kalau aku jatuh, kamu yang jagain. Tapi satu hal ... kabur itu bukan pilihan."
"Aku enggak kabur. Aku udah bilang, kan?"
Dia peluk aku erat. "Tapi tadi kedengarannya kayak kamu pingin lari dari ini semua."
"Aku cuma ngerasa gagal. Aku ninggalin kamu, aku hilang ingatan, dan sekarang aku enggak bisa kasih kamu anak." Aku menangis di dadanya, capek banget, sampai rasanya kosong. "Aku takut kalau suatu hari nanti kamu mikir hidup kamu bakal lebih bahagia kalau sama orang lain."
Dia usap rambutku, merangkulku makin erat. Aku enggak bisa menahan semua perasaan yang selama tiga bulan terakhir sudah menumpuk. Aku pun menangis sejadi-jadinya.
"Sekarang waktunya tidur," katanya pelan sambil membantuku kembali ke tempat tidur. Dia peluk aku erat. "Ini tantangan baru. Kita jalanin satu langkah demi satu langkah. Sekarang ... kita istirahat dulu."
Dia peluk aku, tangannya mengusap-usap punggung dan pinggulku. Lama-lama, isak tangisku pun berhenti ... mataku terpejam.