"Memang ayah kamu gak ada kemana?" tanya Dira yang masih merasa janggal dengan apa yang dimaksud anak itu.
Divan berpikir. Sepertinya ia mencoba merangkai kata. "Kabul. Cali mama balu," jawab Divan. Kata itu ia dapatkan dari Melvi.
****
Bia gadis yatim piatu yang haus akan cinta. Dia menyerahkan segalanya untuk Dira, pria yang dia cintai sepenuh hati. Dari mulai cintanya sampai kehormatannya. Tapi Dira yang merupakan calon artis meminta putus demi karir, meninggalkannya sendirian dalam keadaan mengandung.
Demi si kecil yang ada di perutnya Bia bertahan. Memulai hidup baru dan berjuang sendirian. Semua membaik berjalannya waktu. Ia dan si kecil Divan menjalani hari demi hari dengan ceria. Bia tak peduli lagi dengan Dira yang wara wiri di televisi dengan pacar barunya.
Tapi rupanya takdir tak tinggal diam dan mempertemukan mereka kembali dalam kerumitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elara-murako, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Aku Harus Mencari Kamu?
"Kenapa harus mencari kamu, inikan masalahku sendiri," tolak Bia. Ia menjawab seolah apa yang ia lalui tidak begitu sulit. Ia hanya ingin terlihat kuat di depan Dira. "Kamu juga pasti sibuk. Gak mungkin aku nyusahin kamu."
Dira menggeleng. "Sesibuk apapun, aku pasti bantu kamu. Lagipula kamu hilang gitu aja. Gak jelas pindah kemana. Bu Suly, Ana dan Sayu saja bingung nyari kamu kemana. Dengar ya, seperti apapun keadaan kamu sekarang, kita masih sahabat. Kita kenal dari TK, gak mungkin kalau sekarang pura-pura gak kenal," nasehat Dira.
Bia hanya melengkungkan bibirnya. "Sahabat? Sahabat macam apa yang lahirin anak kamu?" umpat Bia dalam hati. Rasanya semakin dipaksa ia semakin sulit menghadapi Dira dan menyembunyikan keadaan. Dia harus bisa, demi Divan. Kasihan putra kecilnya itu jika tahu ayahnya pria tidak bertanggung jawab.
"Kamu mau beli roti, kan? Pilih cepat," Bia mengubah topik pembicaraan. Dira mengangguk dan langsung melihat-lihat roti di etalase. Matanya nampak tertarik dengan penampilan serta bau roti di sini.
"Pantesan nenek ingin sekali roti di sini, melihatnya saja aku berasa lapar lagi," komentar Dira.
Mendengar kata nenek di mulut Dira membuat Bia merasakan lagi kerinduan akan kehidupan di masa lalu. Meski bukan neneknya, Nenek Benedith sangat sayang pada Bia. Ia juga yang dulu membantu menguatkan Bia saat orangtua Bia meninggal. Pelukan hangat wanita tua itu benar-benar membuat batin Bia lebih tenang dan kuat.
"Nenek, sehat?" tanya Bia lagi.
Dira mengangguk. Ia membawa nampan di sisi meja juga jepitan roti dan mengisi nampan itu dengan roti yang ia pilih. "Setelah tiga tahun, aku juga baru ketemu nenek kemarin. Ini juga baru pertama kalinya pulang ke Emertown," jawab Dira. Tidak lama ia terdiam akibat ingat sesuatu. Ia berpikir, apa harus ia katakan pada Bia maksudnya datang ke sini. Ah, melihat sikap Bia, Dira kira perempuan itu sudah tidak bermasalah dengan masa lalu.
"Aku berencana bertunangan dengan Cloe dua minggu lagi," ungkap Dira.
Itu tidak membuat Bia kaget. Ia dengar dari berita kemarin. Hanya saja dari semua tempat, kenapa memilih Emertown, kota di mana saksi cinta Bia dan Dira. "Selamat," ucap Bia pendek. Dira menoleh pada Bia. Lagi-lagi ada sentuhan rasa sakit dalam hati melihat wajah gadis itu begitu tenang saat mengucapkannya. "Aku harap kalian akan bahagia," sambung Bia.
"Kau akan datang, kan?" tanya Dira. Bia mengangkat sebelah alisnya. "Hanya saja jika kau tidak datang, rasanya belum kamu beri restu."
Sempat terlihat wajah Bia yang bingung. "Tentu jawabannya tidak, untuk apa ke sana? Melihat seberapa bodohnya kamu hingga datang memberikan selamat dan membagi kebahagiaan pada pria yang merenggut kesucianmu di hari pentingnya dengan wanita lain?" Bia tidak hentinya mendumel.
"Datang, kan?" tanya Dira lagi.
"Aku malu, yang datang pasti orang penting dan artis semua. Aku pelayan sekarang. Kita sudah gak satu level," tolak Bia dengan jawaban yang paling masuk akal.
Dira menggeleng. "Jangan bilang begitu. Aku gak suka. Bagiku kau tetap sahabat yang berharga. Aku gak akan bedain kamu dengan yang lainnya," ralat Dira.
Dira membawa roti yang ia pilih ke meja kasir. Tanpa sengaja ia melihat mesin kopi. "Buatkan itu, ya? Ayo berbincang di sana sebelum aku pulang," pinta Dira. Bia menghembuskan napas dengan berat, ia mengepalkan tangan saking sulitnya menahan emosi.
🌿🌿🌿
Komen sama Likenya kurang deras sodara-sodara. Yuk, dukung author agar novel ini gak tenggelam dengan bantu share. 😍