SEAN DAN SAFIRA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga puluh dua
happy reading genkssss!!!
maap ya kalo ada eror eror, aku ngebut banget ngetiknya, biar kalian bisa baca dan biar aku konsisten nukis cerita ini sehari sekali hahaha
****
Di dalam kamar, Sean tidak benar-benar bisa menenangkan emosinya. Ia tidak bisa berpikir, lebih dari itu ia tidak bisa sama sekali terpejam meski sejak tadi ia berusaha untuk tertidur. Yang Sean ingin saat ini adalah mengistirahatkan kepalanya. Rasanya pening sekali mengingat kejadian tadi.
Ia terpejam, lalu membuka matanya lagi. Ia menerawang ke arah langit-langit kamar dengan tangan terlipat di balik kepala. Pikirannya kini justru telah dikuasi oleh bayang-bayang Safira. Tidak pernah Sean sebrengsek ini sebelumnya. Apa yang ia katakan pada Safira tadi memang luar biasa kurang ajar.
Tapi sejujurnya, Sean tidak tahu lagi cara apa yang harus ia lakukan untuk menghilangkan rasa itu. Di sana, di tempat yang berbeda, ada seseorang yang sedang menjaga hatinya untuk dia. Sean tidak mungkin melepaskan perempuan itu cuma hanya untuk mengetahui perasaan apa yang ia miliki pada Safira.
"Sialan!" Sean menyentak bangkit dari baringannya, mengacak-acak rambutnya demi mengusit bayangan Safira di kepala.
Ya Tuhan, Sean tidak pernah seperti ini sebelumnya, bahkan pada Bella sekali pun. Ia ingin menepis semua bayangan itu dari benaknya, ingin melupakan, seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi. Tapi ia tidak bisa.
Rasanya Sean ingin terjaga saja sampai pagi, karena setiap matanya terpejam, wajah Safira terus berputar-putar di sana. Apa lagi jika diingat dengan tamparan dan wajah marah perempuan itu.
Ah! Sialan!
Sean malah merasakan debaran jantungnya kian berdetak kencang.
Brengsek!
Tidak pernah ia merasa seputus asa ini.
Tidak pernah ia merasa sangat kurang ajar pada perempuan.
Ditariknya sejumput rambut yang bisa ia ambil, lalu berteriak frustrasi di dalam kamar itu. Bodo amat lah kalau Safira mendengarnya. Ia merasa benar-benar gila.
Lain halnya dengan Sean.
Di kamar yang tanpa penerangannya itu, Safira terduduk meringkuk dengan meletakan dagunya pada lutut. Perasaan tidak enak itu masih mencokol di dadanya. Setelah di perlakukan seperti itu, setelah menciumnya dua kali, dan setelah menyentuh dadanya, Sean malah mengatakan kalimat sialan itu padanya.
Dari awal Safira memang tidak peduli Sean ingin memiliki perempuan lain, tapi semakin intens kedekatan mereka, semakin sering momen kebersamaan mereka. Safira menyadari kesalahannya. Seharusnya ia bisa membatasi diri untuk tidak terhanyut dengan permainan Sean. Harusnya ia sadar kalau lelaki itu hanya mencoba menggodanya.
Memang sialan!
Safira benci Sean!
Tapi sepertinya ia lebih membenci dirinya sendiri yang sudah terlalu terbawa perasaan.
****
Esok paginya, Safira benar-benar mengikuti apa kemauan Sean. Menjadi orang asing, anggap saja tidak kenal. Bukan begitu maunya lelaki itu?
Ia membuat Sarapan sendiri, membuat susu untuknya sendiri. Abaikan saja laki-laki yang baru turun dari lantai atas itu. Ia tidak peduli, yang penting perutnya kenyang, dan bisa mempersiapkan presentasi di depan pimpinan Pradipta Group.
Eh tunggu?
Berarti di depan lelaki itu bukan?
Ah sialan! Kenapa juga mereka nanti harus bertemu, bikin kesal saja. Mood Safira mendadak turun hanya karena mengingat proposal kerja sama dengan perusahaan milik Sean.
"Lo mau bareng gak, Fir."
Nah, lelaki keparat itu yang bertanya lebih dulu. Tidak ingatkah dia sudah mengatakan apa tadi malam?
"Fir, lo gak bikinin kopi?"
Diamkan saja, anggap tidak ada.
"Safira!" baru saja Sean ingin menyentak tangan Safira sebelum kemudian ia sadar kalau sentuhan mereka akan membuatnya tidak waras. Buru-buru Sean menghentikan itu. "Fir, lo denger gak sih?"
Menoleh dongkol, bibir Safira terangkat tinggi. "Kamu ngomong sama saya?"
"Ya iyalah, kan cuma ada lo sama gue."
Ia lalu berdecih sombong. "Siapa ya? Saya gak kenal."
Astaga, Sean baru ingat tentang perkataannya malam tadi. Bodohnya ia karena sudah berkata seperti itu, dan lebih bodohnya lagi ia juga yang melanggarnya.
"Tolong ya, untuk pura-pura gak kenal saya. Perlu diingatkan kalo status kita— sebagai suami dan istri itu hanya berlaku untuk di depan kedua orang tua kita aja." ujarnya seraya melengos dan berlalu begitu saja dari hadapan Sean.
Sementara itu, lelaki yang kepalanya sudah mengebul itu, menggerutu kesal sambil sesekali melemparkan umpatan kasar.
Sial! Sial! Sial!
Kenapa sih, ia tidak berpikir dulu saat ingin mengatakan sesuatu. Sama seperti saat ia mengajukan perjanjian pernikahan pada Safira.
"Keparat sialan! Bangke! Bangsul!"
****
Safira mendelik kesal saat proses presentasinya harus dibantah oleh Sean.
Ya Sean, lelaki itu kini sedang duduk di ujung sana, jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Singkat kata, lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu menolak proposalnya kali ini. Dasar sinting!
"Tapi pembangunan dengan jangka waktu selama itu, bukan kah memerlukan banyak pengeluaran. Saya rasa proposal saya cukup masuk akal kali ini."
Sean mengedik santai seraya terus menyoroti Safira sinis. "Saya tetap menolaknya, saya butuh waktu yang cepat agar sebelum akhir tahun Resort itu sudah bisa beroperasi."
"Ya sudah, kita bisa menambah SDM nya, itu tidak masalah, tapi balik lagi, pengeluaran ini akan bertambah banyak." jelas Safira yang mulai geram.
Ia tahu Sean menolak proposalnya hanya karena masalah mereka semalam, atau karena tadi pagi ia tidak menyiapkan kopi untuk lelaki itu.
"Saya tetap ingin SDM seperti yang anda usulkan, tapi dengan jangka waktu yang lebih cepat."
Oh gila! Sean benar-benar sengaja ingin membuatnya marah.
"Sebenarnya mau kamu apa sih, Sean?" Tidak bisa sabar lagi, Safira tidak peduli pada beberapa pasang mata yang menatap ke arah mereka.
Sean yang merasa perdebatan ini semakin seru segera menanggapi. "Jangan sebut nama saya sembarangan. Gak inget apa yang udah kamu lakuin tadi pagi?" Bibir Sean menyeringai saat mengatakannya.
"Jadi kamu sengaja ngelakuin ini karena masalah kita tadi pagi?"
Oh oke, seluruh peserta rapat mendadak mengerti apa yang sedang terjadi di depan mereka.
"Sebelum kamu mengatakan soal kita, harusnya kamu lebih dulu tahu apa tugas kamu, Fir!" Sean menegakan tubuhnya, semakin menatang Safira.
Sementara, di ujung sana, Safira sudah menggeram siap melontarkan lahar panasnya. "Harusnya kalimat itu kamu tunjukan untuk diri kamu sendiri, Sean!"
"Jangan sebut nama aku!"
"Kenapa?" tantang Safira tanpa takut. "Kenapa aku gak boleh sebut nama kamu? Karena kamu tahu kalo apa yang kamu ucapin tadi malam itu salah?"
Dimas, Manajer Pemasaran yang sedang duduk tidak jauh dari Sean mengetuk meja dengan keras, namun tidak berhasil memutus tatapan tajam kedua pasangan suami istri itu. "Wow .. woo ... tunggu-tunggu, coba deh masalah rumah tangga jangan di bawa-bawa ke kantor." celetuknya, dan berhasil membuat pasangan itu menoleh ke arahnya dengan tajam.
"Jangan ikut campur!" sahut keduanya cepat, dan seketika membuat Dimas bergidik takut.
"Oke-oke." Ia mengangkat tangannya menyerah "lanjutin deh, perusahan punya kalian berdua ini kok, jadi bebas kalo mau berantem."
Sean kembali pada Safira. "Gini ya, Fir," ia berdiri sembari menggebrak meja dengan kencang. Demi apa pun, Sean ingin sekali menarik Safira ke tuangannya dan memenjarakan perempuan itu di bawah tubuhnya.
Shit!
Safira kalau sedang emosi kenapa terlihat lebih seksi.
"Meski pun aku tahu ucapan aku yang semalam itu udah sangat kelewatan, tapi sikap kamu tadi pagi juga gak bisa dibenarkan!"
Safira tidak terima. Enak saja Sean mengatakan kalau sikapnya tadi pagi tidak benar. Jelas-jelas ucapan dia semalam yang menyulut perubahan pada sikap Safira. "Kamu tuh emang gak sadar diri ya? Egois, maunya menang sendiri. Jelas-jelas kamu yang salah, tapi mengalihkan itu semua seolah aku yang salah—"
"Mbak, tenang." Raga yang berada di sebelah Safira mencoba menenangkan perempuan itu. Karena jujur, Raga sama sekali tidak menyangka kalau Safira ternyata bisa meledak-ledak seperti itu. "Kita perbaikin aja proposalnya."
Safira menoleh, matanya terlihat memerah menahan kesal. "Gak bisa, Ga. Sean itu egois, dia harus dikasih tahu kesalahannya dia itu apa!"
"Memang apa kesalahan aku? Di sini yang salah itu kamu." Sean menunjuk-nunjuk Safira. Emosi lelaki itu juga tidak kalah besar dari sang istri.
"Tuh kan! Lihat kan, Ga! Dia tuh sombong, sok berkuasa!" cibir Safira dengan mata memicik kesal. "Emangnya kamu siapa bisa atur-atur aku?"
Lihatkan, perdebatan mereka melenceng jauh dari rapat pagi ini, harusnya mereka berdua berdebat mengenai proyek Bali Resort, bukannya masalah rumah tangga mereka.
"Aku suami kamu!" Sean mengingatkan takut-takut perempuan itu lupa siapa dirinya.
Tapi Safira tidak tersentuh sama sekali, ia malah terlihat mengeluarkan decihan tidak sukanya. "Suami? Yakin kamu suami aku? Udah lakuin tugas kamu sebagai suami belom?"
Skak mat. Sean bergeming dengan wajah pias. Brengsek, kenapa kalimat Safira tepat sasaran sekali.
"Jangan ngaku-ngaku jadi suami aku kalo kamu aja gak pernah ngejalanin tugas kamu sebagai suami! Perlu aku bongkar semuanya?" ancam Safira.
Seketika Sean menegang kaku. Pandangannya yang tadi menyorot lurus ke arah Safira, kini berpaling menatap seluruh peserta rapat. Mereka semua juga sedang memandang ke arah dirinya, seolah menunggu drama apa lagi yang akan mereka tonton pagi ini.
"Shit!" Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu melonggarkan ikatan dasinya yang serasa menyiksa lehernya. "K—kamu ... kamu apa-apaan sih, Fir?"
"Kenapa? Takut?" decih Safira menyeringai.
Saat ia akan melontarkan kata-kata pedasnya lagi, detik itu juga Raga berdiri dan meraih lengannya. "Mbak ... udah. Kita pergi dari sini dulu. Gak enak dilihatin."
Seketika itu juga Safira sadar apa yang akan ia keluarkan. Ya Tuhan, kalau Raga tidak mencegahnya, mungkin Safira sudah berhasil membongkar semua perjanjian pernikahan mereka ke seluruh orang-orang yang ada di sini.
Menarik napasnya pelan, Safira menoleh ke arah Raga. "Balik ke kantor aja, Ga. Aku pusing banget." pintanya sembari membereskan berkas-berkas proposal mereka. "Sorry ya, Ga, proposalnya malah jadi kacau gini."
"Gak apa-apa, Mbak. Nanti kita perbaikin aja sesuai sama yang Mas Sean mau."
Safira mengangguk, ia masih bisa mendengar bisik-bisik suara di sekelilingnya. Safira menyesal tidak bisa menahan emosinya tadi. "Saya rasa presentasi proposal kami cukup sampai di sini. Kekurangan yang bapak Sean maksud akan saya perbaiki pada pertemuan selanjutnya. Saya mohon undur diri."
Setelah berpamitan pada seluruh peserta rapat, Safira berjalan ke arah Sean, dan berhenti di depannya. Lelaki itu menatap Safira takut-takut.
"Apa?" tanyanya ketus.
Safira mendengus geli. "Aku pulang." ujarnya, kemudian melangkah menuju pintu keluar. Namun, sebelum benar-benar keluar, tubuh Safira berbalik dan kembali menatap ke arah Sean. "Ngomong-ngomong, selera dasi kamu kok norak sih."
Dan Sean yang masih berada di posisinya mendadak tercekat. Ia bisa melihat seringai di wajah Safira saat mengatakan itu.
Kamprettttt!!!
Sean benar-benar telah kehilangan harga dirinya.
****
terima kasih yaaa
jangan lupa like, komen, share, dan vote
enjoyy genksss
selalu sehat kalian
udah dihapus ya thor?
dimana kalau mau baca kisah mereka lagi...🥺
tp masih ada yg belum diubah itu thor.
hmmm fir fir.. mending kamu biarin jona sm diana. Klo sama medusa, Ga berasa canggung apa ya jdi satu keluarga sm mantan tmn tidur suami? 🙄
lagian knp jd ngurusin dia
otak dipke dong
Ga ada alesan bantuin atau apapun itu. Ingat sdh berumah tangga.
Lemah bgt jd cow, gmn mau ngelindungin anak istri
Bukan kyk sean yg plin plan
Dia begitu krn obsesinya sendiri.