Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 29~ Memaksakan kehendak
Keadaan keraton sudah seperti akan diadakannya hajatan besar, padahal hanya akan kedatangan keluarga dari ningrat lain saja.
Bahkan esok, jadwal kunjungan untuk keraton ditutup sejenak selama 3 hari, demi kelancaran.
Amih Mayang sudah menggiring anak didiknya ke tempat acara, dimana mereka melakukan gladi resik bersama kelompok musik tarawangsa dan kelompok gamelan. Kang Enjang, sang suami selalu setia membawa gendang, sebab urusan gendang akan dipercayakan padanya khusus untuk kelompok sanggar tari Mayang.
Sekar masih mengeratkan selendang miliknya disana, latihan sampai ia lupa rasa lelah itu sendiri.
Bahkan ia menyeka keringat yang telah banjir diantara pelipis dan garis wajah. Memperhatikan amih Mayang, melakukan gerak tari berkali-kali, berusaha mempersembahkan yang terbaik untuk acara esok.
Jangan pikir gelagatnya sejak tadi tak diperhatikan, sebab....
Seorang ambu sudah datang menghampiri gerombolan sanggar Mayang dan menyajikan seteko air minum bersama kudapan kecil.
Dari matanya, ia dapat melihat mereka terhenti menari dan mulai menyerbu makanan serta minum dengan senang.
Mata Amar menyipit karena tersenyum melihatnya, bahagianya Sekar itu sederhana.
"Bunda sepertinya curiga, baik padamu ataupun padaku." Itu Reksa yang ternyata memperhatikan juga Sekar dan menghampiri Amar, "tebak kemana arahnya jika sampai bunda benar-benar tau, aku tidak takut. Sebab aku bisa mengakui kalau aku ingin menjadikan Sekar sebagai selirku. Siap-siap kamu akan kehilangannya dan menganggapnya kaka ipar..." senyum tipisnya itu kontras menunjukan kemenangan.
Amar mendengus sumbang, ia menoleh meski tak menurunkan kedua tangan yang sejak tadi bersidekap di dada, "kau berbicara seolah-olah Sekar mau kau jadikan selir, kang. Kau mengejar dia mati-matian sampai meniru gayaku mendekatinya....jujur saja, kau mengirimkan sesuatu ke rumahnya tadi, kan? Tunggu sampai Sekar tau dan murka, mengembalikan semua pemberianmu, sebab merasa jika kau sedang berusaha membeli keluarganya." Ada helaan nafas di jeda yang Amar ambil.
"Kau tau kang. Itu bukan cinta namanya....tapi terobsesi, kau melupakan bagaimana seorang Sekar ingin mencintai dan dicintai seseorang, apakah setelah kau mengaku Raden anom, Sekar langsung berbalik mendekat? Tidak. Dia tidak gila harta, atau tahta. Bukan begitu cara menyentuhnya." Amar menggeleng sembari melirik Bahureksa.
"Kalau kakang sudah siap jujur dan mengakui pada ayahanda dan ibunda. Maka kakang sudah kalah start denganku, karena aku bahkan sudah siap kehilangan gelarku disini. Aku sudah siap bertarung merubah tatanan aristokrat, bahkan jauh sebelum mengenalnya. Kini, alasanku semakin kuat untuk menentukan jodohku sendiri, aku akan menjadikannya istri sah satu-satunya. Hanya menunggu sampai semua keadaannya memungkinkan, dan aku mendapatkan hatinya."
Adu tatap tajam itu ditunjukan oleh Reksa dan Amar, "jangan macam-macam Amar. Rencanamu itu hanya akan membawa kehancuran. Terlebih kau akan menghancurkan Sekar..."
Amar terdiam, tatapnya beralih ke arah Sekar yang saat ini tengah tertawa bersama Sari dan Ros. Ada perasaan beban yang mendadak jatuh dan menekan pundak sebadan-badan. Ia bukan tak tau itu.
"Kau tau, cinta memang anugrah, tapi jangan bodoh... untuk gadis seperti Sekar sepertinya dicintai oleh ningrat adalah malapetaka." Lanjut Reksa turut mengalihkan pandangannya pada Sekar disana.
"Tapi kau hanya akan membu nuh mimpinya, prinsipnya, neraka yang tak ia inginkan, menjadi seorang selir, jelas-jelas ia akan menolaknya, tak ada wanita yang mau jadi nomor dua selain dari setelah ibunya..." ujar Amar, katakan, jika ia tak ada bedanya dengan Reksa yang memaksakan kehendak terhadap Sekar.
Reksa mendecih, "setidaknya nerakaku lebih baik dari nerakamu. Apa yang ia inginkan akan aku wujudkan, ekonomi keluarganya akan kutanggung, ia tidak perlu lagi mengemis rupiah dari pendopo ke pendopo. Ia bisa bersekolah dan bebas meraih pendidikan seperti inginnya, aku tidak akan melarangnya."
"Aku bisa menawarkan itu setelah kuselesaikan urusanku terlebih dahulu dengan aturan keningratan. Aku tidak bodoh kakang, aku tidak akan membawa Sekar untuk menentang aturan ibunda, namun setelah hal itu selesai baru aku akan membawa Sekar bertemu dengan ibunda dan ayahanda."
"Maksudnya kau akan menyembunyikan alasanmu menentang jodoh dari bunda?" Reksa berdecih kembali.
"Kau kira ibunda bo doh?! Tidak akan mencari tau? Dan sebelum itu terjadi, aku akan terlebih dahulu meminang Sekar." Jawab Reksa tak mau kalah.
"Aku akan menyatakan perasaanku pada Sekar dalam waktu dekat." Balas Amar tak terbantahkan.
Sekar tengah mengipasi wajahnya, melihat kaki-kaki yang sedikit kotor dan lecet karena latihan. Angin sore di kasepuhan yang menerpa membuat helaian rambutnya bergerak menyapu pipi dan leher sejuk, meredakan dan membawa jejak keringat di kala rehat begini, sebelum ia pergi mengantre untuk mandi.
Tatapnya menengadah, lembayung jingga bersama gumpalan-gumpalan awan yang masih menyisakan warna putih dan biru disana begitu semarak, ada bayangan sepatu Widuri di sana, ada bayangan baju baru untuk Laksmi dan Jayadi. Songkok baru untuk bapak, dan karembong atau kain penutup kepala untuk mak, Sekar tersenyum manis.
Kulitnya dapat merasakan hembusan angin yang mendadak wushh! Bersama aroma bunga dan maskulin yang kini menyentuh penciuman.
Sekar memaksa kelopak matanya terbuka, sudah ia duga jika pemilik aroma ini----ia mulai terbiasa dengannya. Wajah dengan rahang tegas itu tengah tersenyum menatapnya dari jarak dekat, yeah! Tepat di sampingnya.
Tidak berusaha menjauh seperti sebelum-sebelumnya, Sekar justru kembali tak peduli dan memilih memejamkan matanya sambil merasai angin sore, "den bagus kalo mau ngajak diskusi lagi, saya lagi ngga mau. Pusing otak saya kalo harus baca yang seperti itu." Lirih bibir tipis semerah semangka itu.
Amar mendengus dan menggeleng, "sayang sekali. Padahal saya rasa kamu partner yang tepat untuk diskusi masalah skripsi, karya sastra, novel, prinsip hidup, dan mungkin partner yang cocok untuk diskusi masalah keluarga."
Sekar menoleh dan melihatnya malas, ya ampun! Wajah malas diantara letihnya Sekar itu membuat Amar benar-benar sudah terSekar-sekar.
"Saya tak tertarik untuk diskusi masalah keluarga dengan den bagus Amar." lirih Sekar menjawab, mungkin pikir Sekar bahasan keluarga itu bapak---mak, kanjeng sultan dan istri serta selir-selirnya, lalu saudara, adik, Kaka.
Amar menyunggingkan senyumnya gemas, apalagi saat Sekar mengucapkan *den bagus Amar*, bibirnya itu begitu manis dan menggemaskan.
"Mau saya ajak tur keliling kompleks museum kasepuhan secara eksklusif ngga? Iya eksklusif, sebab keraton ditutup untuk acara esok. Jadi kamu bisa puas mengeksplore ditambah tur guidenya itu asli keluarga keraton, ganteng pula."
Sekar tertawa renyah, saking renyah dan gurihnya Amar ikut tertawa, "memangnya boleh?"
Amar mengangguk dan berdiri, ia mengulurkan tangannya, "wilujeng sumping di kasepuhan....punten untuk tidak menyampah dan menyentuh barang-barang dengan sembarangan, apalagi merusak cagar budaya."
Kembali Sekar tertawa renyah, "tapi saya cuci kaki dulu..pake sendal dulu." Ujarnya diangguki Amar, "nanti disana ada pancuran. Bisa cuci kaki disana."
Sekar sudah berjalan sendiri, tidak menyambut uluran tangan Amar, tau batasan Sekar ----tau batasan.
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏