Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Gelombang nyeri yang dahsyat menerjang Nara, membuatnya merintih memohon pembebasan. Air mata terus membanjiri pipinya. Tubuhnya menegang, menolak sentuhan yang semula diimpikan, menginginkan pelarian dari rasa tak nyaman yang mencekam. Betapa naifnya ia mengira pertemuan dua jiwa akan semulus aliran sungai.
Namun, di tengah badai rasa sakit itu, tangan Devan menahannya, kuat tetapi terasa lembut, seperti akar pohon yang mencengkeram tanah. Suaranya, lembut seperti dedaunan yang berbisik ditiup angin, mencoba menenangkan badai dalam dirinya.
“Aku akan bergerak pelan, sampai kamu merasa nyaman. Aku tidak ingin menyakitimu,” janjinya, sebuah ikrar yang diukir dengan kelembutan.
Perlahan, Nara membiarkan dirinya tenggelam dalam sentuhan Devan, mempercayakan dirinya pada kehangatan yang ditawarkan. Ciuman-ciuman lembut, seperti embun pagi yang mencium kelopak bunga, menenangkan jiwanya yang gundah. Nyeri yang tadinya mengguncang tubuh, kini perlahan surut seperti air pasang yang kembali ke laut.
Dalam dekapan Devan, di antara sisa-sisa rasa sakit yang memudar, Nara menemukan kedamaian. Ia merasakan bukan hanya sentuhan fisik, melainkan aliran kasih sayang yang menenangkan, menghangatkan jiwa yang baru saja mengalami badai. Kelembutan Devan, seperti pelukan hangat mentari senja, membawa Nara pada puncak kenikmatan yang tak terduga.
**
**
Mentari pagi menyentuh wajah Nara dengan lembut, membangunkannya dari lelap mimpi. Matahari masih malu-malu di balik jendela, tetapi kehangatannya sudah terasa.
Seulas senyum mengembang di bibir Devan, menyambutnya dengan suara serak yang begitu menggoda. “Selamat pagi, Sayang.” Bisikan lembut itu membelai telinga Nara, sebuah mantra yang membuai jiwanya.
“Selamat pagi, Dev,” sahut Nara, suaranya masih parau, bergetar seperti embun pagi.
Wanita itu menggeliat pelan, tubuhnya masih terasa lelah, dibalut sisa-sisa kenangan semalam. Devan memandangnya dengan tatapan penuh kekaguman, seakan melihat keajaiban dunia yang tercipta di hadapannya.
“Bangunlah, Nara. Kamu bisa terlambat,” suara Devan kembali, lembut tetapi mengandung ketegasan. “Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu mandi. Dan aku juga akan siapkan sarapan untuk kita berdua.”
Nara membuka matanya, melihat jarum jam yang menunjuk angka yang tak terduga. “Dev, ini udah siang!” serunya, kejutan memenuhi nadanya.
Ia berusaha bangun, tetapi rasa nyeri yang menusuk membuatnya meringis. Tubuhnya hanya terbalut selimut tipis, mengingatkannya akan kenangan malam yang baru saja berlalu.
“Ah …” Rintihan kecil lolos dari bibirnya, rasa sakit yang masih terasa di inti dirinya.
Devan segera menyadari kesakitan istrinya, kesiapannya untuk membantu terpancar dari sorot matanya yang penuh perhatian.
“Kenapa? Masih sakit, ya?” tanya Devan dengan suara cemas, sentuhannya begitu lembut, seperti bulu angsa yang menyentuh kulit.
Nara mengangguk pelan, air mata mengancam untuk tumpah. “Sakit sekali.”
Devan mengusap lembut rambut Nara, memeluknya dengan penuh kasih sayang. Rasa bersalah menghujam hatinya, menyesali kesakitan yang telah ia timpakan pada istrinya.
“Maafkan aku, Nara,” bisiknya, “Aku pikir rasa sakitnya akan hilang setelah semalam. Sepertinya … milikku terlalu besar dan melukaimu.”
Nara memahami. Ini adalah malam pertama mereka, pertemuan dua jiwa yang baru saja menyatu. Rasa sakit yang menusuk, noda merah di seprai, semuanya menjadi saksi bisu dari keperawanannya yang telah sirna.
Namun, kemarahan tak muncul dalam benaknya, yang ada hanyalah pertanyaan besar yang menggantung di hatinya. Kenapa Devan membohonginya?
“Aku mau mandi, Dev. Aku nggak mau terlambat,” katanya lirih, suaranya masih bergetar.
“Nara.” Devan melepaskan pelukannya, tatapannya penuh dengan kerinduan dan penyesalan. “Kamu marah sama aku, ‘kan? Aku minta maaf.”
Nara menggeleng pelan, mengambil handuk kimono yang sudah disiapkan Devan. Bukan hanya permintaan maaf yang ia butuhkan, tetapi sebuah penjelasan, sebuah kebenaran yang akan menenangkan hatinya yang luka.
Saat berdiri, nyeri kembali menyerang, tetapi Nara menahannya.
Meski begitu, Devan mengerti. Dengan lembut, ia menggendong Nara dan berniat membawanya menuju kamar mandi.
“Aku bisa sendiri, Dev!” protes Nara, tetapi Devan tetap teguh.
“Tapi aku ingin membantumu, Nara. Aku yang menyebabkan rasa sakit ini, dan ini tanggung jawabku,” jawab Devan.
“Kamu bilang pernikahan kita juga tanggung jawabmu. Sampai kau rela membohongiku. Apa sebenarnya tujuanmu?” Pertanyaan Nara menggantung di udara, tajam seperti pisau, menunggu jawaban Devan.
Devan menurunkan Nara dengan hati-hati, sebuah helaan napas berat terdengar dari dadanya. Ia tahu, kekecewaan Nara akan meledak, dan ia siap menghadapinya.
“Jangan bilang … tujuanmu menikahiku adalah untuk membalas dendam pada keluarga Endra!” tuduh Nara, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.
“Nggak, sama sekali nggak ada hubungannya dengan dia,” bantah Devan, suaranya terdengar sungguh-sungguh.
Nara memalingkan wajah, rasa sakit hati dan kekecewaan yang mendalam membuatnya enggan menatap mata Devan. Kepercayaan yang telah ia bangun runtuh seketika.
“Kalau aku bilang … aku menikahimu karena aku merasa nyaman bersamamu, dan aku ingin memilikimu … apakah kamu akan percaya?” Devan bertanya, suaranya terdengar lemah, mengungkapkan keraguannya sendiri.
“Mana mungkin!” jawab Nara, suaranya tegas, menolak penjelasan Devan. “Kita bertemu saat mabuk. Tidak mungkin orang mabuk bisa merasakan kenyamanan dengan orang asing.”
“Itu memang benar, kita bertemu dalam keadaan mabuk.” Devan membalas, suaranya terdengar tegas, menghilangkan keraguan dalam nada bicaranya. “Tapi mabuk bukan berarti menghilangkan kemampuan seseorang untuk menilai karakter. Aku tahu, saat itu juga, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Dan kenyamanan yang kurasakan saat itu, itu nyata. Bukan hanya naf-su sesaat.” Ia menatap Nara dengan tatapan intens, mencoba menembus keraguan di mata istrinya.
“Baru ketemu mau langsung nikah? Dengan cara menjebak? Apa ini masuk akal?”
Pikiran Nara melayang ke pagi setelah pertemuan saat mabuk malam itu. Ia terbangun dengan handuk hotel membalut tubuhnya …. Lalu, siapa yang mengganti pakaiannya? Pertanyaan itu menggantung di benaknya, menambah misteri dan keraguan yang semakin dalam.
***
Nggak mungkin kalau Dio yang ganti, ‘kan Mas Dev?🙃🙃