Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi
*📝** Diary Mentari – Bab 3**
“Dulu aku berpikir, cinta orang tua seperti cahaya lilin di ruang gelap: cukup untuk kami berdua—aku dan Senja. Tapi kemudian datang orang baru, dan aku mulai bertanya… apakah cinta itu bisa dibagi tanpa membuat siapa pun merasa kehilangan?”***
⸻
Tahun 1998. Usia kami makin bertambah, tapi kehidupan seakan tak berubah banyak. Rumah kami masih kecil, berdinding bambu, berlantai tanah. Tapi kini ada yang berbeda. Hari itu, seorang anak laki-laki datang dari Sulawesi. Namanya Raka. Dia adalah anak dari kakak ayahku. Usianya sekitar tiga tahun lebih tua dariku. Ia datang dengan tas kecil berisi pakaian lusuh dan sepasang sandal yang sudah mulai menipis.
“Mulai sekarang, dia tinggal di sini,” kata Ayah singkat.
Aku hanya mengangguk. Jujur, dalam hati aku senang. Aku tak punya kakak laki-laki, dan entah mengapa, kehadirannya seperti membawa angin baru di rumah kami. Tapi aku juga sadar, hidup kami tidak sedang mudah. Dan sekarang, harus dibagi lagi.
⸻
Di Bali, anak laki-laki adalah penerus keluarga. Mereka yang akan tinggal dan merawat orang tua di masa tua. Aku tahu itu sejak kecil. Bahkan saat aku belum tahu arti menikah, aku sudah diberi tahu bahwa suatu hari nanti, aku akan “ikut” suamiku. Dan rumah ini bukan lagi tempatku. Maka ketika Ayah memutuskan mengangkat Raka sebagai anaknya, semua orang tampak setuju. Terutama Kakek dan Nenek. Mereka bahkan terlihat bahagia. Rumah kami jadi lebih ramai.
Raka agak nakal, dan banyak bicara. Tapi walaupun nakal dia sigap membantu. Ia ikut menyapu halaman, memotong kayu bakar, bahkan menemani Ayah ke kebun. Aku tak bisa membantah—kehadirannya memang meringankan beban. Tapi di balik semua itu, aku mulai merasa sesuatu berubah.
⸻
Dapur kami kini harus berbagi lebih banyak. Makanan yang tadinya pas-pasan, harus dibagi lagi. Kacang saur, lauk favoritku—kacang tanah goreng dengan kelapa parut kering yang dibumbui gurih—sekarang harus aku bagi. Dulu, satu wadah kecil bisa aku nikmati dengan Senja, kadang bisa kusembunyikan sedikit untuk malam. Sekarang, itu tak mungkin lagi.
Aku tahu, ini bukan salah Raka. Tapi perasaan tak enak itu tetap muncul. Seperti bayangan yang tak mau pergi dari benakku.
⸻
Malam-malam pun berubah. Dulu, Ayah suka duduk di sampingku, menceritakan kisah masa kecilnya di kebun. Ibu sering bercerita tentang mimpi-mimpinya yang tak kesampaian. Tapi kini, Ayah lebih sering berbicara dengan Raka. Tentang kebun, tentang alat pertanian, tentang tanah warisan. Aku duduk mendengarkan, kadang tertawa kecil, tapi dalam hati seperti ada yang retak.
Ibu juga jadi lebih sering sibuk. Ia harus mencuci lebih banyak, memasak lebih banyak, menyiapkan keperluan lebih banyak. Wajahnya lelah, langkahnya cepat, dan suaranya kadang tak semanis dulu. Aku tahu, bukan karena dia tak sayang lagi. Tapi karena lelah. Dan mungkin, karena waktu kami memang sudah habis terbagi.
⸻
Suatu malam, aku duduk sendiri di dekat tungku. Api menyala kecil, hanya cukup untuk menghangatkan tangan. Nenek datang dan duduk di sampingku.
“Kamu diam saja malam ini,” katanya pelan.
Aku mengangguk.
“Kamu merasa kehilangan, ya?”
Aku tak menjawab. Tapi mataku mulai panas.
“Begini, Tar… Dalam hidup, kadang cinta tak berkurang. Tapi memang terbagi. Sama seperti nasi di piring. Bukan berarti ibu kamu tak cinta. Tapi karena perut semua orang di rumah ini harus kenyang juga.”
Aku memandang nenek. Kalimatnya sederhana, tapi menusuk.
“Yang penting, jangan simpan iri. Karena rasa itu kalau disimpan, bisa membuat hati keras.”
Aku diam. Lalu bertanya pelan, “Kalau aku tidak iri, tapi merasa tidak penting lagi… itu salah, Nek?”
Nenek tersenyum. “Itu manusiawi. Tapi jangan percaya sama rasa itu. Karena kadang, rasa bukan cerminan kebenaran. Hanya perasaan sesaat.”
⸻
Hari-hari berikutnya, aku berusaha menerima. Aku mulai melihat Raka bukan sebagai ‘saingan’, tapi bagian dari keluarga. Meski tak semua hari mudah, aku mencoba. Aku tetap bangun pagi, tetap ke sungai dengan perakpak, tetap menyapu dan mencuci seperti biasa. Hanya saja, kini ada satu tambahan: aku belajar menerima kenyataan baru.
Di buku diary-ku malam itu, aku menulis:
“Cinta orang tuaku mungkin tak lagi utuh untukku sendiri. Tapi mungkin itu memang harus terjadi. Aku harus belajar membagi, seperti nasi di piring, atau lauk favoritku yang kini tak bisa kuhabiskan sendiri. Kalau aku ingin jadi cahaya, aku harus bisa menyinari walau tak lagi jadi pusat.”
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.