NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26: Surat Tanpa Nama

Malam merangkak pelan seperti bayangan waktu yang enggan berlalu. Di sudut kamar kecil Pondok Tahfidz Ummu Nafizah, Aisyah terduduk mematung dengan surat kusam di tangannya—tanpa pengirim, tanpa jejak, namun penuh pesan mengguncang. Angin malam menyelinap dari celah jendela, membawa bisik-bisik yang terdengar seperti doa... atau kutukan.

Khaerul memandangi Aisyah yang sejak beberapa jam lalu tak bergeming, seolah tengah membaca ulang setiap kata dalam surat itu bukan dengan mata, tapi dengan jiwanya.

"Ini bukan sekadar surat biasa," ucap Aisyah lirih, akhirnya bersuara. "Ini... seperti panggilan dari masa lalu yang belum selesai."

Ia menyerahkan surat itu pada Khaerul. Pria itu membacanya pelan:

"Jika kau ingin mengetahui kebenaran tentang darah dan dosa, datanglah ke tempat saksi terakhir masih berdiri: Gua Batu di balik Pantai Lasonrai. Jangan bawa siapa pun. Dan datang sebelum bulan sempurna mendaki langit."

Tak ada nama. Tak ada tanda tangan. Tapi goresan tinta itu menggigilkan hati, seperti ditulis dengan tinta kesedihan dan darah yang tak sempat kering.

"Aku yakin, ini masih ada hubungannya dengan catatan Mahfudz," bisik Khaerul. "Dan mungkin... ini akan membawa kita pada jawaban yang belum sempat terungkap."

Aisyah memejamkan mata. Bayangan masa lalu kembali menyeruak—tentang jejak dua nama dalam mushaf, konflik darah dan nasab, fitnah dari Pak Samad, serta kitab tua yang pernah ditemukan di gua pantai. Semuanya seperti bersatu, membentuk benang merah yang menggiring mereka kembali ke titik awal.

Namun sebelum mereka memutuskan untuk menyusuri pesan itu, sebuah kejadian mengganggu malam.

Sebuah Tanda Baru

Di ruang tengah pondok, para santri berkumpul dalam lingkaran dzikir. Tiba-tiba, salah satu dari mereka—Zaki, anak yatim yang dikenal paling tenang—menangis tanpa sebab. Tangannya menggenggam selembar kertas yang ia temukan di bawah pintu asrama putra.

Tulisan di kertas itu sama. Gaya hurufnya, tekanan tintanya. Dan lagi-lagi, tanpa nama.

> "Mereka yang mengkhianati darah akan dibungkam oleh malam. Tinggalkan pondok ini, atau kalian akan menyaksikan kehancuran kedua."

Khaerul mengepalkan tangan. Ini bukan sekadar peringatan. Ini ancaman.

"### Surat pertama adalah undangan. Yang ini... peringatan gelap," gumamnya.

Pertemuan Tertutup

Malam itu juga, Aisyah dan Khaerul mengumpulkan para ustadz senior pondok. Di ruang rahasia bawah tanah yang dulunya digunakan untuk menyimpan kitab, mereka membuka diskusi tertutup.

"Kitab Mahfudz, surat tanpa nama, hingga penculikan santri yang belum tuntas—semuanya saling terkait," ujar Aisyah. "Dan aku yakin, jawabannya tersembunyi di gua pantai."

Salah satu ustadz, Ustadz Abdul Malik, yang sudah sepuh, angkat suara dengan suara bergetar.

"Puluhan tahun lalu, guru kami pernah menyembunyikan kitab rahasia di gua itu. Kitab tentang jalur nasab para ulama di pesisir barat Sulawesi. Tapi sejak terjadi pertikaian antar keluarga ulama, gua itu ditutup. Katanya... terlalu banyak yang ingin membungkam kebenaran."

Semua terdiam. Satu kalimat Aisyah kemudian mengguncang ruang itu:

"### Aku akan ke sana. Meski harus sendirian."

Menuju Gua Batu

Dengan langkah penuh keyakinan, Aisyah akhirnya menjejakkan kaki di jalan setapak menuju Pantai Lasonrai. Langit malam ditaburi bintang, dan bulan separuh membayang malu di balik awan. Suasana sunyi seolah memberi restu.

Gua Batu berdiri kokoh seperti mulut waktu yang menanti untuk berbicara. Saat Aisyah masuk, suara ombak bergema di dalam seperti dzikir alam yang tak pernah henti.

Di sudut gua, ia menemukan sebuah rak tua—lapuk namun masih berdiri. Dan di atasnya... kitab itu.

Tapi sebelum tangannya menyentuh, sebuah suara terdengar dari balik bayangan:

"Kau benar-benar datang, cucu Halimah."

Tubuh Aisyah kaku. Sosok itu melangkah keluar dari kegelapan. Seorang pria tua berwajah keras, namun dengan mata yang menyimpan duka.

"Aku Hasan. Saksi terakhir dari tragedi darah itu."

Hasan berdiri di depan rak tua, tubuhnya membungkuk, rambutnya memutih, namun sorot matanya masih menyimpan bara masa lalu. Gema suaranya berpadu dengan desir ombak dan bisikan gua yang bergema seperti doa yang belum tuntas.

“Darah kalian—Halimah, Nuraini, dan juga Mahfudz—semua bercampur dalam pertarungan lama yang tak pernah selesai,” ucap Hasan, suaranya seperti digerus waktu. “Aku ada di sana, ketika keputusan kelam itu dibuat.”

Aisyah menatap lelaki tua itu dengan napas tercekat.

“Apa maksudmu… keputusan apa?” tanyanya.

Hasan menunduk, tangannya menggenggam kitab berkulit hitam yang kini tampak lebih menyeramkan daripada yang pernah dibayangkan.

“Mahfudz, kakek kalian, pernah membuat dua silsilah berbeda. Satu tertulis resmi untuk warisan... dan satu lagi untuk menyembunyikan kebenaran. Halimah, ibumu, bukan anak dari Mahfudz. Ia anak dari sahabat Mahfudz—Ustadz Samir—yang terbunuh oleh fitnah Pak Samad di masa lalu."

Aisyah menggigil. “Jadi… Pak Samad…”

“Dia bagian dari mereka yang ingin memutus garis keturunan Ustadz Samir. Ia pernah menjadi murid Mahfudz, tapi ia merasa layak menjadi pewaris spiritual dan aset pondok yang kini kau bangun kembali.”

Aisyah merasa lututnya lemas.

“Lalu… kenapa aku? Kenapa surat itu dikirim padaku?”

Hasan menarik napas panjang, lalu menatap Aisyah dengan tatapan penuh haru.

“Karena kau... satu-satunya yang tidak dibutakan oleh kebencian. Dan karena dalam darahmu, mengalir dua warisan: kekuatan Halimah, dan keberanian Nuraini. Hanya kau yang bisa membuka kitab ini tanpa diliputi dendam.”

Ia menyerahkan kitab itu ke tangan Aisyah. Saat jemarinya menyentuh sampulnya, angin dari dalam gua berhembus keras seakan menguji tekadnya.

 

Kitab Terlarang

Kitab itu berisi tulisan-tulisan tangan Mahfudz yang nyaris rapuh. Di halaman pertama, tertera sebuah kalimat dalam bahasa Arab yang dalam:

> “Siapa yang mengkhianati amanah ilmu, akan dibungkam oleh sejarah. Siapa yang menjaga ilmunya, akan dilindungi oleh langit.”

Aisyah menahan napas. Di halaman berikutnya, terbentang bagan nasab ulama Bugis dari abad ke-18, dan nama-nama yang selama ini terhapus dari silsilah resmi pondok.

“Ini... bukti yang bisa mengembalikan nama baik Ustadz Samir,” bisik Aisyah.

Hasan mengangguk. “Dan juga bisa menghancurkan orang-orang yang menumpang kekuasaan atas nama pondok.”

Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari balik gua. Khaerul muncul tergesa, wajahnya tegang.

“Santri kita... satu lagi hilang. Dan seseorang membakar bagian dapur pondok tadi malam. Aisyah, kita harus kembali.”

Hasan memandang Aisyah penuh harap. “Jangan bawa kitab ini sekarang. Salinlah isi pentingnya. Sebab jika mereka tahu kitab ini hidup... mereka akan datang dengan cara paling gelap.”

 

Kembali ke Pondok: Gelombang Fitnah dan Tekanan

Sesampainya di Pondok Tahfidz Ummu Nafizah, Aisyah dan Khaerul disambut suasana mencekam. Beberapa wali santri mendatangi gerbang dengan raut curiga. Isu mulai menyebar: “Aisyah terlibat ilmu hitam... pondok ini sarang aliran menyimpang... santri hilang karena dibawa untuk ritual...”

Fitnah itu menyerang dari segala sisi.

Namun Aisyah, meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya pasca melahirkan, berdiri di hadapan mereka dengan jilbab putih dan mushaf di tangannya.

“Jika karena kebenaran aku difitnah, maka biarlah langit yang menjadi saksi,” katanya dengan suara tenang namun tajam.

Salah satu orang tua santri yang tersulut emosi maju. “Kami butuh kejelasan! Anak kami hilang, dan kalian malah diam!”

Khaerul maju. “Kami sedang dalam pencarian. Tapi jika kalian percaya pada fitnah, maka kalian sudah menjatuhkan anak-anak kalian sendiri.”

Ketegangan merambat, namun suara takbir santri terdengar dari dalam pondok.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Santri yang hilang—Zaki—tiba-tiba muncul dari arah sungai. Tubuhnya basah, matanya sembab.

“Maafkan aku... aku diculik... tapi mereka melepas aku setelah mendengar aku menghafal ayat Al-Mulk,” katanya sambil terisak.

Suasana menjadi hening. Beberapa wali santri menunduk malu. Tapi Aisyah tidak merasa lega. Karena di dalam hatinya, ia tahu... ini baru permulaan gelombang besar.

 

Malam Sunyi dan Doa

Malam itu, Aisyah kembali membuka salinan isi kitab Mahfudz. Ia menuliskannya ulang dengan tinta hitam di lembar-lembar baru. Di sela tangis dan zikirnya, ia berdoa:

"Ya Rabb... kuatkan aku. Jika jalan ini adalah amanah-Mu, maka jangan biarkan aku runtuh oleh dunia."

Di luar kamar, Khaerul menatap langit. Di kejauhan, seseorang tengah mengamati pondok dari balik pohon. Mata itu bukan mata asing.

Pak Samad... belum selesai.

Dan surat tanpa nama itu... baru satu dari banyak pesan yang akan terus datang.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!